Aturan Cukai Anyar Bisa Tekan Peredaran Rokok Ilegal

Pro dan kontra serta-merta mengikuti setelah Pak Ryamizard Ryacudu mengumumkan program Bela Negara.

oleh Liputan6 pada 07 Nov 2016, 06:02 WIB
Diperbarui 07 Nov 2016, 19:14 WIB
Gapri 7 Nov 2016
Pro dan kontra serta-merta mengikuti setelah Pak Ryamizard Ryacudu mengumumkan program Bela Negara.

Liputan6.com, Jakarta Pro dan kontra serta-merta mengikuti setelah Pak Ryamizard Ryacudu mengumumkan program Bela Negara, Mojok sendiri merilis setidaknya tiga tulisan tentang itu: tulisan Andre, Cak Rusdi, dan Mas Yandri. Baiknya Anda baca dulu ketiga tulisan tersebut sebelum melanjutkan membaca pandangan saya berikut ini. Saya pribadi tidak akan menitikberatkan pembahasan pada Bela Negara, saya justru akan berbicara soal rokok.

Memang apa sih hubungannya Bela Negara dengan rokok?

Itulah hebatnya kreativitas teman-teman aktivis antirokok yang patut disambut dengan standing ovation tujuh hari delapan malam. Mereka rupanya tak mau ketinggalan memanfaatkan isu Bela Negara untuk kampanye mereka. Sudahlah kreatif, kekinian pula. Seperti poster yang belakangan mulai berseliweran di wall facebook saya, dan barangkali juga di wall Anda semua. Akan tetapi, ada yang perlu dikoreksi di balik kreativitas mereka yang luar biasa tersebut.

Begini, yang saya tahu, perusahaan Sampoerna dan Bentoel memang sudah dibeli sahamnya oleh perusahaan asing. Tapi untuk Wismilak, Djarum, dan Gudang Garam? Saya kemudian mencoba memasukkan kata kunci “saham mayoritas Djarum” ke mesin pencari untuk menyisir info. Hasilnya seperti dugaan saya: Djarum masih perusahaan keluarga, pemiliknya masih R. Budi Hartono & Michael Hartono. Sementara Gudang Garam juga demikian, meskipun sahamnya sudah masuk listing bursa efek; begitupun Wismilak.

Hasil pencarian untuk Djarum, artikel-artikel yang muncul justru Grup Djarum menguasai 51% saham BCA, bank ketiga terbesar di Indonesia. Lalu gabungan BCA-Djarum juga menguasai 50,24% saham Viva.co.id. Dengan portofolio sebagus itu, sampai bos BEI berharap Djarum mau menjual sahamnya di bursa. Tapi sepertinya petinggi BEI masih harus terus bermimpi sampai sekarang, sebab nyatanya belum ada berita yang mengatakan Djarum berpindah kepemilikan.

Saya makin penasaran kenapa teman-teman aktivis antirokok bisa mengatakan Djarum sudah dikuasai Japan Tobacco International. Atau katakanlah Djarum menjual sahamnya tak melalui bursa, bisa jadi kan? Tapi masa sih perpindahan kepemilikan atas mesin uang semenguntungkan itu ndak ada beritanya sama sekali?

Satu-satunya yang mengatakan saham Djarum dibeli cuma Wikipedia berbahasa Indonesia. Di sana tertulis saham Djarum dibeli sepenuhnya oleh Gallaher Group tahun 2005. Saya cek ke Wikipedia berbahasa Inggris ndak ada informasi itu, baik di halaman Gallaher maupun Djarum. Gallaher sendiri dibeli oleh Japan Tobacco 2007 lalu. Saya elus-elus jenggot: barangkali ini yang yang membuat teman-teman aktivis antirokok menyimpulkan Djarum dikuasai oleh Japan Tobacco. Ya. Ya.

Tak puas, saya lalu mencoba konfirmasi ke teman-teman yang memahami proses business perusahaan rokok. Jawabannya cukup meyakinkan: Djarum memang bekerjasama dengan Gallaher untuk memasarkan produknya di Eropa, sehingga ketika Gallaher dibeli Japan Tobacco, kerjasama Djarum otomatis diteruskan dengan Japan Tobacco.

Ingat, ini hanya hak distribusi.

Lalu dari mana ceritanya teman-teman aktivis anti-rokok bisa mengatakan Djarum sudah dikuasai Japan Tobacco International?

Kemungkinannya ada dua:

1) Teman-teman aktivis anti-rokok sebenarnya ndak benar-benar paham apa yang mereka sendiri bicarakan atau,

2) Mereka paham, tapi tetap gemar menghalalkan segala cara untuk berkampanye, termasuk menyebarkan informasi yang ndak benar.

Itu baru dari Djarum, lho. Belum Gudang Garam, belum Wismilak. Lagian begini, perusahaan rokok itu bukan cuma Djarum, Gudang Garam, Bentoel, Wismilak, dan Sampoerna saja. Di luar merek itu, ada ribuan perusahaan rokok berskala kecil dan menengah. Pernah dengar merek Anom, Mayang, Mlindjo, Delima, Gajam, Srihesti, Pak Tani, Forum, Senior, Kerbau, Tali Jagat, Kembang Turi, Suket Teki, Kecubung, Bumbung Mas, Mitra Lima, dan lain-lain?

Merokok juga takk ada hubungannya dengan nasionalisme lho, Bung! Tapi upaya mematikan industri dalam negeri itu yang mungkin ada hubungannya dengan nasionalisme. Dan hubungan itu ndak baik-baik saja.

Kalau tetap mau eyel-eyelan bahwa merokok itu anti-nasionalisme, baiklah: Bung Karno itu perokok, merek rokoknya State Express 555 bikinan Inggris. Siapakah di antara generasi delapan bit seperti kita yang berani bilang Bung Besar ndak nasionalis? Siapa yang berani bertanya negara mana yang dia bela? Atau Pak Harto, kurang nasionalis apa coba blio dengan Butir-Butir Pancasila, P4, dan GBHN-nya itu? Toh blio merokok juga.

Ayolah, saya percaya teman-teman aktivis antirokok bisa lebih baik dari ini. Kalau bikin kampanye mbok yang lebih ciamik. Situ semua pasti ndak mau kan disama-samain dengan Jonru? Mukanya sih revolusioner mirip Trotsky, tapi kelakuannya makan ati.

Ya robb…

* * *

Post Scriptum: Saya tidak sedang membela industri rokok, saya juga bukan seorang nasionalis. Saya cuma tidak ingin saja teman-teman aktivis anti-rokok terperosok lebih dalam di kubangan dosa akibat menyebarkan kebohongan. Saya sayang kalian. Kalau memang ndak tahu, ndak apa-apa, orang tidak tahu kan tidak dosa. Dan kalau setelah ini situ semua tetap bilang Djarum dikuasai Japan Tobacco, naudzubillah min dzalik. Bohong itu dosa lho, Mbak, Mas. Kalau sudah terlanjur, segeralah bertaubat.

Karena sesungguhnya Tuhan maha mengampuni dosa orang-orang yang mau bertaubat.

Penulis  : Ahmad Taufiq

Sumber : http://mojok.co/2015/10/ayolah-aktivis-antirokok-kalian-pasti-bisa-lebih-baik-lagi/

 

(Adv)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya