Pesan Guru Besar Antropologi Hukum FHUI untuk Hakim Sidang Ahok

Tapi dilihat dari sisi antropologi dan sosiologi, kasus Ahok tidak bisa hanya dilihat dari penuntutan semata.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 11 Des 2016, 04:01 WIB
Diterbitkan 11 Des 2016, 04:01 WIB
20161201-Tak Ditahan, Ahok Tinggalkan Kejagung-Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan keterangan di depan Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (1/12). Ahok berterima kasih karena para wartawan telah mengawal kasus yang menimpa dirinya hingga saat ini. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Antropologi dan Sosiologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Iriantoikut mengomentari kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Hakim yang akan menyidangkan perkara Ahok nantinya, ia mengharapkan, tidak hanya melihat hukum sebagai teks semata.

Selain itu, lanjut Sulis, Hakim juga harus memperhitungkan filosofi, antropologi, dan sosiologi dalam perkara Gubernur nonaktif Gubernur DKI Jakarta Ahok.

Dia menerangkan, secara filosofis tentu hukum kembali ke konstitusi. Tapi dilihat dari sisi antropologi dan sosiologi, kasus ini tidak bisa hanya dilihat dari penuntutan penistaan agama saja. Tapi apa rentetan peristiwa yang menyebabkan kasus Ahok itu muncul.

"Tidak hanya kasus di Pulau Seribu saja. Apa yang terjadi sebelumnya sampai akhirnya muncul kasus itu. Kiprah dia sebagai gubernur, bupati, dan anggota DPR dalam memberantas kasus korupsi itu juga harus dilihat. Perhitungan semacam itu harus dilakukan oleh para penegak hukum," kata Sulis dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 10 Desember 2016.

Ahok dijerat dengan 2 pasal yakni Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP. Pasal 156 berbunyi, Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sedangkan, Pasal 156a disebutkan, Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya