Mencermati Kondisi Toleransi Beragama di 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, situasi toleransi antara umat beragama di Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 28 Jan 2025, 15:04 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2025, 15:04 WIB
Momen Presiden Prabowo Subianto Hadiri Perayaan Natal Nasional 2024
Dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo Subianto mengajak umat untuk sama-sama saling bertoleransi dalam beragama. (Liputan6.com/Herman Zakharia)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, situasi toleransi antara umat beragama di Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya. Dia mengatakan, indikator keberhasilan toleransi, menurutnya dapat dilihat pada dua level yakni, mikro dan wacana publik.

"Kalau mengenai indikator kita harus lihat. Mau di level yang tadi, di level yang sangat mikro, interaksi langsung atau di level wacana publik," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).

Di level mikro, Rissalwan membeberkan indikatornya dapat ditemukan dalam interaksi langsung antar individu, di mana orang saling menghargai praktik agama masing-masing.

Dia mencontohkan, toleransi sudah terbentuk ketika individu dapat bercanda tentang agama mereka sendiri maupun agama orang lain, tanpa ada rasa merendahkan.

"Jadi kalau kita sudah bisa bercanda sesuatu membuat lelucon pertama untuk agama kita sendiri. Kemudian kita membuat juga untuk agamanya dan dia tertawa juga. Itu saya kira indikator di mana secara mikro toleransi sudah terbangun," ucap dia.

Sedangkan, kata dia di level publik, indikator utamanya adalah minimnya perdebatan terkait isu keagamaan di ruang media sosial serta berkurangnya hoaks yang memprovokasi perpecahan.

Menurut dia, toleransi tercermin ketika isu-isu sensitif semacam itu tidak lagi menjadi topik yang diperdebatkan di ruang publik, atau jika dibahas, tingkat penyebaran hoaks menurun signifikan.

"Level wacana publik yang tinggi, saya kira indikatornya ketika kita bicara tentang perbedaan suku, perbedaan agama tidak menjadi bahan perbincangan," ujar dia.

Dalam 100 hari kerja Pemerintahan Prabowo Subianto, Rissalwan menilai banyak tren positif yang patut diapresiasi. Misalnya dalam penanganan isu keberagaman.

Dia menerangkan, pemerintahan saat ini dinilai tidak memanfaatkan isu-isu perbedaan atau konflik sebagai bagian dari strategi politik, sehingga menciptakan suasana toleransi yang terlihat lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

 

Era Jokowi

Jokowi dan Prabowo di Depan Istana IKN
Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto berbincang bersama Presiden Jokowi di depan Istana Garuda Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, Senin (12/8/2024). Momen ini terjadi sesaat menjelang rapat kabinet perdana di IKN. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)... Selengkapnya

Sementara pada era Presiden Jokowi, toleransi cenderung tampak relatif, bukan karena ada masalah nyata di level masyarakat, melainkan karena pendekatan kebijakan yang disebut dia sebagai 'konflik manajemen'.

Pendekatan ini, menurutnya, secara sengaja mempertemukan kelompok-kelompok tertentu, termasuk netizen, yang berujung pada perdebatan di dunia maya.

Sebaliknya, ia melihat pendekatan ini berubah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Langkah-langkah yang diambil Prabowo selama 100 hari kerjanya.

"Pemerintahan saat ini tidak memanfaatkan isu perbedaan atau konflik manajemen seperti yang terjadi di era Pak Jokowi. Saat ini pendekatan tersebut tidak lagi digunakan, dan toleransi semakin meningkat," ujar dia.

Lebih lanjut, dia mengatakan, peran pemerintah dalam menjaga kebebasan beragama saat ini juga sudah cukup baik, tidak hanya dalam aspek simbolis seperti keberadaan Jembatan Toleransi antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta, yang menjadi simbol harmoni lintas agama. Tetapi juga, kata dia dalam menghindari isu-isu yang dapat memperkuat perbedaan antar umat beragama.

Dia menambahkan bahwa pemerintah saat ini tampak berupaya menjaga stabilitas tanpa membesar-besarkan perbedaan, sebagaimana yang terjadi pada periode sebelumnya. Sebagai contoh, isu yang kerap digoreng di masa lalu, seperti perdebatan seputar pengucapan selamat Natal dalam Islam, kini tidak lagi mencuat secara signifikan.

Menurutnya, pendekatan ini menunjukkan upaya pemerintah yang lebih kondusif dalam menciptakan harmoni sosial. Dia berharap tren ini terus berlanjut.

"Jadi mudah-mudahan nanti ini juga menjelang Ramadan dan kemudian Lebaran Idul Fitri juga demikian. Tidak dijadikan bahan untuk dipertentangkan. Karena saya menduga memang itu ada tujuan politik di masa yang lalu," ujar dia.

 

Tantangan Baru

Prabowo Pimpin Sidang Kabinet Perdana di Istana Jakarta
Presiden Prabowo Subianto didampingi Wapres Gibran Rakabuming Raka memimpin sidang perdana Kabinet Merah Putih di Istana, Jakarta, Rabu (23/10/2024). (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)... Selengkapnya

Meski demikian, ia menyadari bahwa tantangan baru tetap ada, terutama dalam menghadapi penyebaran hoaks di media sosial yang sengaja dibangun untuk memperburuk hubungan antar umat beragama.

Dia mencontohkan pengalaman pribadinya baru-baru ini di Papua, di mana ia menyaksikan adanya jokes lintas agama yang, meskipun dapat dianggap kontroversial, menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi antara beragama.

Menurut dia, masalah muncul ketika diskusi tentang toleransi yang awalnya informal kemudian normalisasi dan dibuka ke ruang publik, khususnya melalui media sosial, yang sering kali mengarah pada ketegangan.

Ditambah dengan hoaks yang semakin marak. Dia menilai hal ini menjadi tantangan besar dalam membangun pemahaman dan toleransi yang lebih baik di masyarakat.

"Saya kira itu yang menjadi tantangan adalah ketika diskusi tentang toleransi ini justru normalisasi dan kemudian dibuka seluas-luasnya. Apalagi di ruang publik melalui medsos begitu, itu menjadi sensitif dan ditambah dengan hoaks. Itu tantangannya," ujar dia.

Tantangan ini lebih terasa di perkotaan, di mana penggunaan media sosial lebih masif dibandingkan dengan di pedesaan.

Dia menjelaskan interaksi lintas agama lebih cair di pedesaan karena masyarakat lebih berfokus pada kebersamaan dan hubungan langsung.

Sebaliknya, di perkotaan, media sosial lebih mudah diakses, isu toleransi sering kali menjadi lebih sensitif dan mudah memicu perdebatan.

"Tentunya iya (ada perbedaan) Itu tadi karena faktor penggunaan media sosial yang relatif lebih tinggi di perkotaan. Tentunya di perkotaan menjadi lebih sensitif terhadap isu toleransi. Di pedesaan saya melihat itu tidak terjadi," ujar dia.

 

Pengalaman di Papua

Dia mencontohkan pengalamannya di Papua, di mana masyarakat setempat sangat terbuka terhadap perbedaan, baik dalam hal agama maupun budaya.

"Misalnya ketika kita datang, saya ingat tahun lalu saya datang di bulan puasa. Dia tanya, Bapak berpuasa kah? Mohon maaf, di sini kami tidak ada puasa, tidak ada azan. Dia menjelaskan itu. Terus waktu dia bilang, Bapak sembayang kah? Terus kalau sembayang kita juga tidak ada tempat. Tapi tempat kami di sini yang bersih. Barat sebelah sana Bapak," ujar dia.

Dia mengatakan, situasi seperti ini menunjukkan bahwa di pedesaan, toleransi beragama dan antarbudaya lebih mudah diterima dan dipahami, tanpa ada perasaan terasingkan antara kelompok yang berbeda.

"Jadi menurut saya orang-orang di pedesaan itu ruang toleransinya sangat tinggi," ujar dia.

Dia menekankan pemerintah memegang peran vital dalam menjaga situasi tetap kondusif. Karena itu, dia menyarankan pemerintah untuk menghentikan penggunaan menghentikan penggunaan buzzer atau influencer untuk kepentingan politik atau sosial.

 

Masyarakat Diharap Tak Terpengaruh

Menurutnya, influencer sering kali dibayar mahal untuk menarik perhatian dan menciptakan keramaian, namun hal ini tidak selalu menghasilkan dampak positif.

"Hentikan menggunakan Buzzer. Hentikan menggunakan influencer. Uang yang sekian banyak itu lebih baik kita gunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial yang real," ujar dia.

Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan tidak terlalu terpengaruh oleh narasi negatif yang sering muncul di media sosial.

Dia menaruh harapan besar kepada pemerintahan Prabowo dalam menjaga toleransi beragama. Menurut dia, pemerintah telah menunjukkan upaya, tetapi keberlanjutan ini bergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah untuk terus menempatkan toleransi dan kebersamaan sebagai prioritas utama.

"Kita adalah satu bangsa. Kita bukan agama A, agama B, agama C. Kita adalah Indonesia. Jadi tinggal sekarang kemauan dari pemerintah untuk terus menjaga toleransi, perdamaian, kebersamaan sebagai satu bangsa," tandas dia.

Infografis Sederet Klaim Satu Bulan Lebih Kinerja Kabinet Prabowo-Gibran
Infografis Sederet Klaim Satu Bulan Lebih Kinerja Kabinet Prabowo-Gibran. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya