Suap OTT Bupati Klaten, Ini Permintaan KPK ke Kemendagri

Laode mengatakan, dugaan suap yang menyeret Bupati Klaten ini merupakan kasus pertama yang ditangani KPK.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 31 Des 2016, 18:54 WIB
Diterbitkan 31 Des 2016, 18:54 WIB
20161231 Ini Uang 2 Miliar Hasil Operasi Tangkap Tangan Bupati Klaten
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang OTT Bupati Klaten di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (31/12). Barang bukti uang sejumlah 2 milyar digunakan untuk suap pengaturan jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Rompi orange menjadi hadiah akhir tahun 2016 untuk Bupati Klaten, Jawa Tengah Sri Hartini (SHT) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). SHT bersama tujuh orang diamankan dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim satgas KPK pada Jumat 30 Desember 2016.

Delapan orang itu ditangkap terkait kasus dugaan suap mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Klaten. Hartini sebagai penerima suap dan Suramlan (SUL) selaku pemberi suap telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara enam lainnya masih diperiksa sebagai saksi.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, tertangkapnya Hartini ini merupakan yang ke-17 lembaga antirasuah tersebut melakukan OTT selama 2016. Empat di antaranya melibatkan kepala daerah.

"Pertama, Bupati Subang pada April 2016, Banyuasin September 2016, Wali Kota Cimahi Desember 2016, dan terakhir Bupati Klaten," ujar Laode dalam jumpa pers di Kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (31/12/2016).

Laode mengatakan, dugaan suap yang menyeret Hartini ini merupakan kasus pertama yang ditangani KPK. Memang bukan menjadi rahasia lagi, banyak orang banyak orang menggunakan uang pelicin untuk bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS), begitu pula untuk mendapatkan jabatan tertentu.

"Makanya kami menganggap ini prioritas yang harus diperhatikan dengan baik," tutur dia.

Karena itu, KPK meminta kepada pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), termasuk Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memperhatikan secara serius pengangkatan perangkat daerah berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2016. Menilik kasus Sri Hartini, pengangkatan perangkat daerah rentan terhadap aksi suap.

"Karena banyak sekali formasi-formasi baru, dan KPK menengarai mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Klaten, tapi juga seluruh Indonesia," kata Laode.

Laode berharap, penempatan atau pengangkatan jabatan di pemerintahan dapat dilakukan melalui sistem assesment yang transparan. Dengan begitu, kualitas kinerja pejabat tersebut tentu akan baik karena sesuai dengan kemampuannya.

"Jangan asal tunjuk atau (berdasarkan) berapa jumlah setoran dari orang yang ingin menempati jabatan. Karena kalau semua orang untuk jabatan tertentu harus membayar, bisa dibayangkan kualitas pekerjaan orang itu," ucap dia.

Untuk memberantas kejahatan semacam ini, KPK akan bekerjasama dengan tim Saber Pungli. Dia yakin, praktik semacam ini sudah banyak terjadi di beberapa daerah. Dia pun meminta agar masyarakat mau bekerjasama memberantas kasus suap menyuap di Indonesia.

"Kami berharap apabila masyarakat melihat dan mengetahui adanya hal-hal yang berhubungan membayar pejabat untuk dapat posisi tertentu, tolong (sampaikan) ke pengaduan masyarakat di KPK atau Saber Pungli," ucap Laode.

Sebelumnya, delapan orang diamankan dalam OTT terkait dugaan suap mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Klaten, Jawa Tengah pada Jumat 30 Desember 2016. Mereka adalah SHT (Bupati Klaten), SUL (PNS), NP (PNS), BT (PNS), SLT (PNS), PW (honorer), SKN (swasta), dan SNS (swasta).

Namun hanya SHT dan SUL yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara enam lainnya masih diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap ini.

Atas perbuatannya, Hartini dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Sedangkan Suramlan selaku pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya