Melihat Lebih Dekat Petani Lada di Perbatasan Malaysia

Harga lada yang tinggi yakni Rp 130 ribu per kilo gram diakui cukup menggiurkan warga Kampung Asuansang, Kalimantan Barat.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 30 Apr 2017, 18:22 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2017, 18:22 WIB
Petani Lada
Petani Lada di Pontianak, Kalimantan Barat perbatasan dengan Malaysia, Sabtu (29/4/2017). (Liputan6.com/Delvira CHaerani Hutabarat)

Liputan6.com, Sambas - Siang itu, debu yang beterbangan di jalanan Dusun Asuansang, pedalaman Kalimantan Barat, membuat Alex dan teman-temannya girang bukan kepalang.

Tidak seperti anak lain yang menghindari debu, Alex (8) justru senang membuntuti mobil yang melewati depan rumahnya. Adanya debu berarti ada tamu dari jauh mengunjungi kampung yang berada 6 kilometer dari perbatasan Indonesia-Malaysia itu.

"Kakak dari mana? Kakak dari mana?," tanya Alex antusias di Dusun Asuansang, Temujuk, Sambas, Jumat 28 April 2017.

Jalanan tanah di dusun yang berpenghuni 70 Kepala Keluarga itu jarang dilalui mobil. Hari ini, belasan mobil off road mampir ke dusun Alex.

Untuk menuju Dusun Asuansang, Desa sungai pening, Temajuk, Kabupaten Sambas membutuhkan waktu sekitar 8 jam dari ibu kota Kalimantan Barat, Pontianak.

Jangan banyangkan mulusnya aspal jalan Thamrin-Sudirman di Jakarta, medan yang harus dilalui untuk tiba di Asuansang sangat memicu adrenalin. Membelah hutan, lembah, menaiki sampan lantaran belum adanya jembatan, ditambah tanah yang masih berdebu kala panas dan licin ketika hujan, membuat Dusun itu hampir tersiolasi dari dunia luar.

Semula Alex tidak menyadari ada tamu dari kota yang mengunjungi kampungnya. Kota yang dimaksud Alex adalah Pontianak. Dalam perjalanan pulang sekolah sekitar satu jam berjalan kaki dari sekolahnya SDN 11 Ansuansang, Alex melihat debu menutupi jalanan yang berarti ada mobil yang belum lama lewat.

"Kami berlari, nah benar ada banyak (orang) dari kota," ucapnya ceria

Untuk menuju satu-satunya sekolah di kampung itu, Alex dan teman-temannya harus menempuh jalan kaki selama dua jam. Itu pun kalau tidak hujan, bila hujan dan jalanan licin maka waktu tempuh mencapai 3 jam.

Sedikit tersipu, Alex menutupi kakinya yang tidak beralas sepatu. "Bu Guru minta lepas sepatu, supaya (kelas) tidak kotor," cerita Alex.

Alex latas bergabung ke pos Zeni TNI AD yang tengah menyambut rombongan Kementerian PU Pera yang tengah melakukan pengecekan jalur perbatasan. Ikut bergoyang, Alex juga menikmati tarian selamat datang khas Dayak yang disuguhkan untuk para tamu.

Di samping Alex, berdiri Irena (47). Dia adalah ibu dari Alex. Seperti warga lain, Irena ikut berkumpul untuk menyambut tamu.

"Senang kalau ramai, sekarang karena jalan lebih lebar jadi lebih mudah orang ke sini," ucap Irena.

 

Petani Lada di Pontianak, Kalimantan Barat perbatasan dengan Malaysia, Sabtu (29/4/2017). (Liputan6.com/Delvira CHaerani Hutabarat)

Senang Pelebaran Jalan

Irena yang sehari-hari bekerja sebagai petani lada itu mengaku senang dengan adanya pelebaran jalan dan pembuatan gorong-gorong oleh Pemerintah. "Cuma kalau hujan masih susah (jalan)," keluh dia.

Untuk menjual hasil kebunnya, Irena harus menaiki motor selama 3 jam, ditambah naik sampan menuju Kote terdekat, Kota Paloh. "Belum ada jembatan (Ke Paloh)," ujar dia.

Berbeda dengan Irena, Celia (54) mengaku menjadi petani lada bukan lah pekerjaannya. "Saya bantu suami saja kadang," ucap ibu rumah tangga itu.

Harga lada yang tinggi yakni Rp 130 ribu per kilo gram diakuinya cukup menggiurkan warga Kampung Asuansang, Kalimantan Barat yang sebagian besar bersuku Dayak Selatan itu.

Dari tambahan penghasilannya, Celia dapat membeli bensin dan solar agar dapat menyalakan listrik dan televisi. "Buat listrik 50 ribu sehari. Masih jarang yang punya televisi, tapi saya punya," kata Celia bangga.

Adanya Jalan tembus rupanya tak cukup. Masyarakat perbatasan membutuhkan jalan yang tidak licin, tak perlu beraspal. Kerikil pun jadi.

Dengan adanya jalan yang baik, maka akan membuka roda perekonomian, akses pendidikan, kesehatan yang lebih cepat. "Ke Rumah Sakit di Sambas sekitar 5 jam naik motor," ucap Celia.

Masih buruknya infrastruktur juga mempengaruhi harga kebutuhan pokok di Dusun itu. "Satu karung beras isi 18-20 kilo harga Rp 150 ribu," ucap Celia.

Bagaimana dengan komunikasi dengan dunia luar? Sinyal untuk berkirim pesan pun tak ada, apalagi untuk berselancar internet. Butuh berjalan kaki sekitar dua jam untuk mendapat sinyal. "Agak naik ke gunung juga dapat sinyal," kata Celia tertawa.

Sementara itu, Direktur Pembangunan Jalan Ditjen Bina Marga, A Ghani Ghazali menyebut, khusus jalanan perbatasan (Kalimantan Barat) yang ada pemukiman, maka akan beraspal atau minimal menjadi agregat atau kerikil. "Paling tidak 2019, jalan bisa dilalui ya tidak licin, jalan agregat (krikil)," ujar dia.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya