Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai penentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden di dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), sudah tidak relevan. Alasannya, Margarito menduga keduanya bisa penuh dengan kepentingan bisnis.
"Apa yang kita perbincangkan soal parliamentary threshold dan presidential threshold semuanya ada kepentingan bisnis dari para politisi di DPR, karena berpolitik suka atau tidak suka adalah bisnis," ujar Margarito dalam sebuah acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/5/2017).
Menurut Margarito, ambang batas parlemen dan presiden sudah sangat tidak relevan untuk diterapkan di Pemilu 2019 yang akan digelar serentak.
Advertisement
"Mengenai presidential threshold menurut saya tidak perlu pasang. Karena kita bukan satu pemilihan yang terpisah lagi," ucap dia.
Margarito menegaskan, apabila DPR tetap memaksakan presidential threshold dengan menggunakan hasil perolehan suara pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, maka itu adalah sebuah kemunduran dalam proses berdemokrasi.
Bagi dia, peta politik haruslah bergerak dan dinamis. Penerapan ambang batas itu pun dinilai Margarito merugikan partai kecil dan partai peserta baru di Pemilu 2019 mendatang.
"Kalau peta pemilu sebelumnya sudah ketinggalan, itu sudah berubah besar dan ini bisa menghilangkan parpol baru padahal bisa saja kekuatan baru. Jadi konsekuensi model serentak ini tidak perlu presidential threshold," tandas Margarito.