Liputan6.com, Jakarta - Saiful Mujani Research And Consulting (SMRC) menggelar survei terkait respons rakyat Indonesia terhadap hak angket oleh DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasilnya, mayoritas masyarakat menolak adanya penggunaan hak angket tersebut.
Direktur Program SMRC Sirojudin Abbas menyampaikan, dalam survei dengan sejumlah pertanyaan, seluruhnya menunjukkan bentuk penolakan terhadap hak angket.
Advertisement
Dengan pertanyaan soal tingkat kepercayaan masyarakat terhadap wewenang DPR dan KPK, responden lebih condong percaya kepada lembaga antirasuah itu, ketimbang institusi wakil rakyat.
"Sebanyak 64,4 persen masyarakat lebih percaya KPK dan hanya 6,1 persen yang percaya terhadap wewenang yang dijalankan DPR," tutur Sirojudin di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Dari situ, masyarakat kemudian ditanya terkait pengetahuan mereka seputar kasus korupsi e-KTP. Sebanyak 62,8 persen responden mengaku tahu perihal masalah tersebut dan hanya 37,2 tidak tahu. Artinya, kasus tersebut dinilai sudah banyak menyita perhatian masyarakat.
"Kami tanyakan apakah yakin atau tidak bahwa anggota DPR terlibat? 53,8 persen responden yakin itu dan 9,1 persen tidak yakin. Mayoritas jelas bahwa anggota DPR dan pejabat pemerintahan dinilai benar terlibat kasus korupsi tersebut," jelas dia.
Lebih lanjut, mayoritas responden juga tidak membenarkan penggunaan hak angket DPR terhadap KPK. Sebanyak 65,0 persen menolak hak anget tersebut dan 29,5 persen dapat membenarkan hak angket berikut pansus yang dibentuk.
"Rakyat Indonesia lebih percaya KPK daripada DPR dalam melaksanakan amanah konstitusional. Publik umumnya yakin hak angket dibuat sebagai langkah DPR melindungi anggotanya yang diduga terkait korupsi e-KTP," ujar Sirojudin.
Hal itu berdasarkan persentase responden penolak hak angket sebanyak 65,0 persen, yang di antaranya sebanyak 51,6 persen menyatakan setuju bahwa ada upaya melindungi anggota DPR.
"43,8 persen tidak menjawab. Memang akhirnya mayoritas yakin penggunaan hak angket tidaklah benar dan jelas DPR sebetulnya sedang melawan kehendak warganya yaitu pemilih yang menyatakan tidak dibenarkan adanya pansus itu," Sirojudin menandaskan.
Survei SMRC dilakukan Mei 2017. Lembaga itu menggunakan seluruh warga negara yang telah miliki hak pilih atau lebih dari 17 tahun ke atas atau sudah menikah.
Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan 1.500 responden. Mereka diambil dari pencatatan data populasi tiap desa atau kelurahan yang dikerucutkan sebanyak 5 RT hingga tinggal 2 KK saja.
Respons Rate atau responden yang berhasil diwawancarai ada sebesar 90 persen. Artinya sebanyak 1.350 berhasil dianalisis secara valid. Margin of error dari survei tersebut 2,7 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: