Kolom Penghayat Kepercayaan Masuk KTP, Ini Respons PKB

Maman mengatakan, ada anak-anak dari penghayat kepercayaan yang tidak bisa mengenyam pendidikan.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 11 Nov 2017, 06:55 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2017, 06:55 WIB
Ada 12 Juta Penghayat Kepercayaan di Indonesia
Ada 12 Juta Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Maman Imanulhaq menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghayat kepercayaan dapat memasukkan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP. Menurutnya, itu sama artinya dengan mengembalikan hak warga negara.

Ia menjelaskan, bernegara itu konstitusi, dan konstitusi yang utama adalah penegakan hak asasi manusia di mana salah satunya adalah hak beragama.

"Jadi ini bukan pemberian negara, tapi negara memang harus menghormati hak orang beragama dan berkeyakinan," ujar Maman ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (10/11/2017).

Selain itu, menurut Maman, dengan adanya putusan MK ini maka menjelaskan kembali bagaimana Indonesia dengan Pancasila harus menghargai orang yang punya keyakinan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan penghayat yang jumlahnya di Indonesia sekitar 185 kelompok penghayat memang adalah kelompok yang harus dihargai dan dihormati," ucap dia.

Maman mengatakan, putusan MK ini harus menjadi momen atau sejarah penghentian pelecehan dan diskriminasi yang selama ini diderita oleh kelompok penghayat kepercayaan.

"Hak-hak sipil dan politik mereka betul-betul tercerabut gara-gara ada pengosongan kolom agama. Jadi ada yang tidak punya akte kelahiran, KTP. Mereka tidak bisa menikah dengan formal, mereka juga tidak bisa mengakses perbankan," papar dia.

Bahkan, kata Maman, ada anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Oleh karena itu, ia sangat mengapresiasi putusan MK mengenai penghayat kepercayaan.

2 Catatan

Meski begitu, anggota Komisi VIII DPR ini menyebut ada dua hal yang harus digarisbawahi dengan adanya putusan MK ini.

"Pertama, sampai sejauh mana keputusan MK ini direspons oleh kementerian terkait terutama Dirjen Kependudukan. Karena selama ini sistem yang menghalangi mereka mendapatkan hak-hal sipol itu adalah sistem yang ada di Dirjen Kependudukan," kata dia.

Kolom resmi penghayat kepercayaan itu sudah mulai harus ada, dan mereka boleh mengisi dengan kalimat penghayat.

"Kedua adalah soal pembinaan. Jadi jangan sampai karena dibolehkannya kolom agama ditulis penghayat, tiba-tiba ada orang menjadikan itu sebagai jalan masuk untuk keluar agama resmi dalam tanda kutip," tutur dia.

Dia mengatakan, pembinaan ini menyangkut komunikasi di Dirjen Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan juga Bimas Kemenag.

Putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Permohonan itu diajukan oleh Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan agar penghayat kepercayaan dapat memasukkan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP pada 28 September 2016.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Dalam putusannya, Arief menyebut kata agama pada Pasal 61 dan 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk kepercayaan.

Pasal 61 ayat 1 menyebutkan bahwa KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama pengakuan kepala keluarga dan anggota keluarga NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, status perlawanan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orangtua.

Sementara itu, untuk Pasal 61 ayat 2 itu menyatakan keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

"Itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujar Arief.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya