Alumni 212 dan Mahar Politik Pilkada

Meski bukan partai politik, alumni 212 masuk dalam pusaran Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Mahar politik pun tak terhindarkan.

oleh Raden Trimutia HattaIka Defianti diperbarui 15 Jan 2018, 00:02 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2018, 00:02 WIB
Ilustrasi Politik Uang 2
Ilustrasi Politik Uang (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Aksi 212 dilakukan dalam masa Pilkada DKI 2017. Meski menyuarakan penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, aksi massa dengan jumlah besar itu menguntungkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang kini menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.

Tak puas di DKI Jakarta, Presidium Alumni 212 membentuk Garda 212 sebagai salah satu fasilitator para alumni yang ingin ikut Pilkada 2018 atau Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.

Ketua Umum Garda 212, Ansufri Idrus Sambo mengatakan, pihaknya akan membentuk suatu sistem dalam perekrutan alumni untuk berkecimpung ke politik. Apalagi Garda 212 memiliki kedekatan dengan tiga partai pendukung, yaitu Partai Gerindra, PKS, dan PAN.

"Insyaallah sebagian dari kami punya jalur kuat dengan petinggi Partai Gerindra, PKS, PAN, dan PBB. Kami libatkan kapasitas, integritas, dan elektabilitas kalau sudah memungkinkan nama-nama itu kami ajukan," kata Sambo di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu 13 Januari 2018.

Dia menjelaskan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto memiliki tiga syarat bagi alumni 212 yang ingin berpolitik. Persyaratan pertama, yaitu setiap calon harus memiliki dana untuk maju kontestasi.

"Pak Prabowo tanya uangnya cukup enggak untuk bertarung, kalau cukup itu bisa. Emang high cost sangat mahal, orang maju pasti harus punya dana itu faktanya," ujar dia.

Selanjutnya, kata dia, mengenai elektabilitas yang cukup untuk memenangi perayaan demokrasi itu. Untuk itu, Garda 212 akan melakukan survei terlebih dahulu sebelum menyampaikan peluang kemenangan kepada para partai pendukung.

Sambo menambahkan, syarat terakhir adalah kesiapan untuk membantu pemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019. Karena hal itu, dia juga menegaskan, tak ada mahar dalam pelaksanaan ini.

"Saya kira Rp 40 milliar (soal La Nyalla) itu sedikit, kata Pak Prabowo mengapa saya pingin dana cukup ditunjukkan di depan, karena saya enggak mau nanti capek lagi nyari uangnya, itu alasan yang saya dengar jelas," jelas Sambo.

Pernyataan Sambo ini terkait aksi mantan Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti yang membeberkan permintaan uang politik dari Gerindra agar bisa mencalonkan diri di Pilkada Jawa Timur 2018.  

Nyanyian La Nyalla

Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Langkah La Nyalla Mattalitti untuk menjadi calon gubernur Jawa Timur sendiri kandas sebelum berlaga. Padahal, mantan Ketua Umum PSSI ini jauh-jauh hari sudah menyatakan siap bertarung di laga pemilihan lima tahunan tersebut. Terlebih, dia telah mengantongi restu dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Kegagalan ini membekas dalam diri La Nyalla. Ia pun menumpahkan semua kekecewaannya dalam konferensi pers, Kamis, 11 Januari 2018. Dalam kesempatan itu, dia mengeluarkan pernyataan mengejutkan.

La Nyalla membeberkan segala upaya yang sudah dilakukan dan memberi tahu uang yang telah dikeluarkan demi bisa ikut Pilkada Jatim.

Buka-bukaan La Nyalla terkait adanya mahar politik diawali dengan pengungkapan soal adanya permintaan uang miliaran rupiah dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Nilainya fantastis, hingga puluhan miliar.

"Di Hambalang saya dipanggil ketemu sama 08 (Prabowo), disampaikan saya ingin maju (Pilkada Jatim) kemudian saya minta izin. Prabowo sempat ngomong, 'Kamu sanggup Rp 200 miliar?' Rp 500 miliar saya siapkan, kata saya, karena di belakang saya banyak didukung pengusaha-pengusaha muslim," ujar La Nyalla di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis, 11 Januari 2018.

Awalnya, La Nyalla menganggap Prabowo memintanya uang miliaran rupiah untuk dapat menjadi cagub Jatim hanyalah bercanda.

Akan tetapi, ia kaget saat Prabowo menagihnya uang sebesar Rp 40 miliar untuk biaya saksi dalam Pilkada Jatim 2018. "Saya pikir main-main ternyata ditagih betul Rp 40 miliar. Alasannya untuk membayar uang saksi," kata La Nyalla.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah tudingan La Nyalla terkait adanya permintaan uang sebesar Rp 40 milliar oleh Prabowo Subianto. Fadli mengaku tidak pernah mendengar ataupun menemukan bukti akan pernyataan itu.

Dia meyakini Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla sebagai kebutuhan logistiknya selama Pilkada Jatim 2018.

"Kalau misalnya itu terkait dipertanyakan kesiapan untuk menyediakan dana untuk pemilik yang digunakan untuk dirinya sendiri, itu sangat mungkin," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Januari 2018.

Dia menjelaskan, logistik sangat dibutuhkan saat pertarungan, apalagi kebutuhan pilkada sangat besar. Seperti halnya untuk pemenangan baik digunakan untuk pertemuan, perjalanan, konsumsi, untuk saksi dengan jumlah tempat pemungutan suara yang sangat besar, hingga untuk gerakan relawan.

"Jadi saya kira wajar, bukan untuk kepentingan pribadi, kepentingan partai, tapi kepentingan yang bersangkutan," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR RI itu.

Selain La Nyalla, permintaan uang kepada bakal calon kepala daerah sebagai jalan untuk mendapat rekomendasi partai politik maju Pilkada 2018 juga diduga terjadi di Kota Cirebon. Hal itu diungkapkan salah satu bakal calon Wali Kota Cirebon Siswandi yang gagal mendaftar di KPU.

Siswandi yang sedianya diusung Partai Gerindra, PAN, dan PKS tak diterima KPU lantaran tidak mendapat rekomendasi dari PKS. Siswandi mengungkapkan ada pembicaraan yang berujung kepada nilai uang. Pembicaraan tersebut saat sore pada hari kedua pendaftaran bakal calon di KPU.

"Awalnya hanya ratusan juta makin malam semakin besar jumlahnya sampai miliaran. Katanya setelah itu rekom turun," kata Siswandi, Sabtu 13 Janurai 2018.

Perwira tinggi polri yang pernah bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN) itu mengaku nominal mahar tersebut diminta oleh salah satu pengurus PKS di Kota Cirebon. Siswandi pun menyerahkan semua pembicaraan tersebut kepada kuasa hukumnya. Namun demikian, dia mengaku kaget atas sikap PKS yang diduga tidak menurunkan rekomendasi lantaran tidak ada uang mahar.

Dia mengungkapkan, sore hari sebelum menyatakan abstain, PKS menyebutkan rekomendasi Siswandi-Euis sudah bisa dipastikan 90 persen dari PKS. "Sore, saat saya masih di kereta menuju Cirebon tim saya yang disuruh ke kantor PKS angkanya yang jelas sampai miliaran," kata purnawirawan Polri berpangkat Brigjen ini.

Sementara, kata dia, Partai Gerindra dan PAN tidak pernah meminta mahar. "Sampai detik saya di KPU menunggu PKS datang bawa rekom saya tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun," beber dia.

 

Aksi 212 di Daerah Lain?

Gelar Reuni Akbar 212, Jutaan Muslim Banjiri Kawasan Monas
Suasana saat Monas dipenuhi massa yang menggelar aksi Reuni 212, Jakarta, Sabtu (2/12). Aksi ini juga mempertemukan kembali umat Islam dari berbagai daerah yang pernah ikut dalam aksi 212 tahun lalu. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Ketua Umum Garda 212 Ansufri Idrus Sambo menyatakan, aksi massa 212 kemungkinan akan dilakukan di daerah lain yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tahun ini.

Namun, aksi itu bisa dilakukan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil keputusan pencalonan pasangan peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018.

"Pada 12 Februari 2018 kita lihat siapa calon-calon, dari situ kita ambil sikap. Mana yang benar-benar persis seperti Jakarta," kata Sambo di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (13/1/2018).

Soal pola aksinya, Sambo menyatakan, sekedar aksi biasa. Sebab, setiap daerah berbeda permasalahannya. Dia mencontohkan Ibu Kota DKI dan Provinsi Jawa Timur, pasti akan berbeda permasalahannya.

"Aksi dalam arti, kami tidak bisa datang ke daerah mana. Orang sana yang melakukan aksi, kalau kami hanya berikan masukan," jelas Sambo.

Dia menjelaskan, sebenarnya daerah yang bermasalah dengan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) hanyalah DKI Jakarta. Sedangkan untuk daerah lain, belum terdapat sinyal permasalahan yang sama.

"Bener-bener SARA banget cuma Jakarta, itu pun gara-gara rezimnya ngotot banget. Kalau enggak ngotot enggak ada masalah kemarin itu," ujar dia.

 

Saksikan video di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya