Imparsial: TNI Tangani Terorisme, UU Peradilan Militer Harus Direvisi

Akuntabilitas TNI dalam penanganan terorisme harus tetap dijamin.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mei 2018, 20:45 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 20:45 WIB
Direktur Imparsial Al Araf
Direktur Imparsial Al Araf (kanan) memberikan keterangan seputar 12 tahun kasus Munir di Jakarta, Selasa (6/9). Imparsial mendesak Presiden Jokowi segera menindaklanjuti hasil temuan penyelidikan TPF kasus Munir. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme punya efek berantai. Sebagai konsekuensinya, kata dia, UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer harus revisi.

Al Araf menjelaskan, peraturan pelaksana pelibatan TNI dalam penanganan terorisme akan dijabarkan dalam Perpres. Di sana, menurut dia, harus tercantum akuntabilitas militer dalam penanganan terorisme.

"Militer ketika terlibat dalam penanganan terorisme tersebut kemudian terjadi pelanggaran dia juga bisa diadili di peradilan umum," kata Al Araf di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018).

Sementara, yuridiksi UU Peradilan Militer yang berlaku sekarang, kata Al Araf, bisa menghapus tindak pidana umum. Karenanya, Al Araf melihat UU tersebut harus direvisi agar anggota TNI yang melakukan pelanggaran saat penanganan teroris dapat diadili di peradilan umum.

"Konsekuensinya adalah karena prinsip penanganan teroisme harus akuntable, maka ketika UU Terorisme dibuat dan ada aturan pelibatan TNI dan kemudian akan membuat Perpres maka saat ini secara bersama pemerintah dan DPR harus segera mengajukan draft revisi UU nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer," kata Al Araf.

Selain itu, Al Araf menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Perpres tersebut. Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus melalui keputusan politik presiden secara tertulis.

Teknisnya, dia menambahkan, militer harus diturunkan dalam ekskalasi ancaman yang genting. Hal itu dilakukan ketika kepolisian tidak lagi bisa menangani, serta apabila sudah ditetapkan darurat militer.

"Dia harus dihitung eskalasi ancamannya. Militer terlibat dalam membantu kepolisian dalam konteks kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme lagi, dan aksi ancaman meningkat sehingga membutuhkan perbantuan," kata dia.

 


Polisi dalam Keadaan Normal

Sementara, agen utama dalam konteks penegakan hukum dalam kondisi normal, tetap dipegang kepolisian. Militer baru bisa memegang kendali dalam darurat militer.

"Tetapi dalam situasi kondisi gawat militer, maka militer berada leading sector di depan. Dan situasi tertib sipil, dan situasi status darurat sipil aparat penegak hukum lah yang bekerja mengatasi terorisme," jelas Al Araf.

Reporter : Ahda Bayhaqi 

Saksikan video pilihan di bawah ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya