Mendagri Minta DPR Taati Putusan MK Batalkan Pasal UU MD3

Mendagri Tjahjo menyebut anggota DPR dapat memahami apa yang telah diputuskan MK terkait UU MD3.

oleh Ika Defianti diperbarui 29 Jun 2018, 10:17 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2018, 10:17 WIB
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
Mendagri Tjahjo Kumolo mengunting E-KTP di gudang penyimpanan barang inventarisasi Kemendagri di Jalan Raya Parung, Kab Bogor (30/5). Tjahjo melihat kondisi gudang pasca-insiden tercecernya E-KTP di jalan raya Selabenda Bogor. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo ikut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa kewenangan DPR dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2028 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3.

Seperti halnya, mengenai kewenangan DPR untuk memanggil paksa seseorang, penghinaan terhadap parlemen dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam pemeriksaan anggota dewan yang terlibat pidana.

"Sudah diputuskan hukum, iya kita sebagai negara hukum, ikut dan taat apa yang telah diputuskan MK yang final dan mengikat," kata Tjahjo di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (29/6/2018).

Tak hanya itu, Politisi PDI Perjuangan ini juga menyebut anggota dewan dapat memahami apa yang telah diputuskan oleh lembaga pimpinan Anwar Usman tersebut.

"Saya kira teman-teman juga paham itu," jelas Tjahjo.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, DPRD atau UU MD3.

"Sebagaimana diuraikan, Mahkamah berkesimpulan mengabulkan permohonan para pemohon, untuk sebagian," kata Ketua Hakim Majelis Anwar Usman di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Kamis 28 Juni 2018.

 

Bertentangan dengan UUD 1945

Menhub dan Mendagri Gelar Rakor Angkutan Lebaran
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat memimpin mengikuti rapat koordinasi di Kemenhub, Jakarta, Selasa (30/1). Rapat membahas Persiapan Penyelenggaraan Angkutan Lebaran Terpadu Tahun 2018. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Terkait Pasal 73, MK berpendapat hal itu telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Pasal 73 ayat 3 ayat 4 ayat 5 dan ayat 6, UU No 2 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas UU No 17 tahun 2014 tentang MPR DPR DPD DPRD, lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 No. 29, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187, dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Anwar Usman.

Mengenai Pasal 122, disebutkan MKD dapat bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan (menghina) kehormatan DPR dan anggota DPR. Lewat gugatan pemohon yang mencemaskan degradasi kebebasan bersuara, maka dengan itu, MK memutus untuk menolak karena juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

"Pasal 122 huruf l UU no 2 tahun 2018 tentang kedua atas UU no 17 th 2014 tentang MPR DPR DPD DPRD, lembaran negara RI tahun 2018 no 29, tambahan lembaran negara RI no 6187 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," baca Hakim Anwar.

Terakhir, mengenai Pasal 245 terkait pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana. MK tidak memutus untuk menolak hal itu seluruhnya.

Melainkan, hanya membenahi frasa 'Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden'.

MK melihat hal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan (saksi) kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak pidana.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya