Liputan6.com, Jakarta - Pada Rabu 26 Juni 2019, ratusan orang berdatangan dan menggelar aksi di sekitar gedung Mahkamah Konstitusi (MK), jelang pembacaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019.
Demo kemarin berjalan lancar. Namun, para demonstran berjanji akan kembali hari ini, tatkala putusan MK dibacakan. Targetnya 1 juta orang akan datang.Â
Tak ada salahnya menyampaikan pendapat. Namun, trauma kerusuhan pada aksi 21-22 Mei 2019 masih lekat membayang. Itu kenapa polisi waspada dan 47.000 aparat gabungan diturunkan. Alasannya, keramaian tersebut rawan disusupi. Bisa-bisa ada teroris yang menyusup.Â
Advertisement
Area di depan gedung MK pun disterilkan. Tak boleh ada aksi yang digelar di sana. Massa hanya diizinkan berdemo di sekitar Patung Kuda dan di Jalan Merdeka Barat, sekitar Monas.Â
Apapun putusan yang diambil MK, diharapkan, gesekan dalam masyarakat bisa diredam setelahnya. Salah satu caranya adalah dengan mempertemukan dua pihak yang bertarung dalam Pilpres 2019: kubu Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.Â
Upaya rekonsiliasi sebenarnya sudah digagas sejak jauh-jauh hari, diwarnai tawar-menawar, tentu saja. Ada banyak spekulasi soal jabatan apa saja yang dijadikan kompensasi, namun, hingga kini, belum jelas di mana tarik ulurnya.Â
Optimisme soal rekonsiliasi ditunjukkan kubu petahana. Ketua Harian Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Moeldoko mengatakan, upaya merukunkan kembali Jokowi dengan Prabowo, pasca-Pilpres 2019, semakin terlihat titik terangnya.
"Saya pikir wujudnya semakin kelihatan. Sekarang kan bentuknya masih bisa dikenali. Nanti bisa dilihat lah," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (26/6/2019).
Kepala Staf Kepresidenan ini menilai, rekonsiliasi Jokowi-Prabowo sangat penting karena masyarakat Indonesia ingin agar kondisi dalam negeri berjalan damai. Tak hanya itu, masyarakat juga menginginkan persoalan Pemilu 2019 diselesaikan dengan cara terhormat dan bermartabat, bukan dengan tindakan anarkistis.
"Cara-cara jalanan adalah cara-cara yang tidak diinginkan oleh masyarakat karena mengganggu ketertiban umum, mengganggu kepentingan masyarakat dan mengganggu berbagai aktivitas. Pada akhirnya secara akumulatif menjadi tidak produktif bangsa ini," jelasnya.
Moeldoko berharap seluruh pihak bersabar menunggu kedua tokoh politik itu bertemu. Menurut dia, bentuk rekonsiliasi baru benar-benar terlihat setelah putusan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Kontitusi (MK).
Meski demikian, ia mengakui, ada yang tak senang jika Jokowi dan Prabowo. Mereka lah yang kemudian turun ke jalan. Moeldoko menduga, pihak ketiga itu punya agenda dan kepentingan lain.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan, rekonsiliasi mutlak dibutuhkan agar semua pihak bisa bersatu dan kompak.
"Kalau kita kompak sebagai sebuah bangsa, maka pembangunan akan efektif dan produktif. Ujungnya rakyat yang merasakan hasilnya. Soal siapa yang diurus, tentu dalam politik banyak yang diberi tugas oleh Pak Jokowi dan tidak semua boleh dipublikasikan," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (26/6/2019).
Karding mengatakan, tentu saja ada tawaran-tawaran, sebagai bagian dari bargaining politik dalam rekonsiliasi dengan kubu Prabowo.
Apa saja itu? Menurutnya, bisa berupa posisi di pemerintahan atau juga di parlemen.
Dia juga mengatakan, masuknya partai pengusung Prabowo-Sandiaga dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf, seperti Gerindra, sangat tergantung pada kesepakatan Jokowi dan partai itu sendiri, dan diskusi Jokowi dengan partai pendukung.
Sementara itu, Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Andre Rosiade mengatakan, saat ini pihaknya fokus di Mahkamah Konstitusi (MK) dan belum terpikir melakukan pertemuan dengan Jokowi ataupun rekonsiliasi.
"Jadi kita masih fokus di MK, belum ada rencana bertemu dengan Pak Jokowi, belum. Nanti lah pada saat yang tepat setelah MK selesai, demi kepentingan bangsa dan negara, insyaallah Pak Jokowi-Prabowo akan bertemu," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (26/6/2019).
Dia pun mengatakan, belum ada utusan dari pihak Jokowi untuk membicarakan rekonsiliasi. Selain itu, tidak ada tawaran dan deal dari pihak petahana. Masing-masing pihak tengah fokus di MK.
Andre menambahkan, pertemuan antara Prabowo dan Jokowi akan digelar di saat yang tepat dan waktu yang pas. "Pak Jokowi, TKN menghadapi MK, kami juga menghadapi MK. Nanti, setelah MK baru kita bertemu untuk kepentingan bangsa dan negara," kata dia.
Pada prinsipnya, kata Andre, antara Jokowi dan Prabowo tidak ada masalah.
"Ini kan hanya kompetisi biasa ya. Kalau memang pihak sebelah membutuhkan rekonsiliasi, ya tidak ada masalah, yang jelas Pak Prabowo komit demi kepentingan bangsa dan negara. Pasti kita akan bertemu," kata dia.
Terpisah, Koordinator Jubir BPN Dahnil Anzar Simanjuntak keberatan dengan diksi rekonsiliasi. Bagi dia, pilpres ini adalah kompetisi biasa dan tidak ada konflik. Selain itu, pihak yang kalah bisa menjadi oposisi atau bergabung dalam pemerintahan.
"Kalau pun harus rekonsiliasi, maka yang tepat itu adalah rekonsiliasi yang berkuasa pemerintah dengan rakyat. Terutama rakyat yang merasa dirugikan, terkait dengan kebijakan pemerintah, merugikan rakyat," kata Dahnil kepada Liputan6.com.
Dia mengatakan, rekonsiliasi penting terhadap narasi perpecahan, misalnya menuduh tidak mendukung pemerintah berarti itu tidak Pancasila, radikalis, dan garis keras.
"Itu tertanam kemarahan dan kebencian dari pihak yang dituduh, oleh sebab itu saran saya, rekonsiliasi seperti yang disarankan oleh beberapa tokoh, pemerintah harus melakukan rekonsiliasi dengan rakyat, tidak lagi kemudian memecah belah dengan labelling tertentu," kata Dahnil.
Harapan soal Putusan MK
Tim kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf Amin yakin, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak permohonan kubu Pemohon yaitu Prabowo-Sandiaga. Sebab, dalam sidang pemeriksaan di mahkamah, pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil yang disampaikan dalam permohonan.
"Keterangan para saksi dan ahli yang dihadirkan pihak pemohon, tidak satupun yang bisa membuktikan tuduhan dilontarkan dalam permohonan seperti dalil TSM (terstruktur, sistematis, dan masif), kecurangan, pencurian dan penggelembungan suara, DPT siluman dan lain lain," ujar Direktur bidang hukum dan advokasi TKN, Irfan Pulungan kepada Liputan6.com, Rabu (26/6/2019).
Terkait Situng KPU yang dipermasalahkan oleh Pemohon, menurut Kuasa Hukum pihak Jokowi-Ma'ruf, dalil tersebut akan ditolak oleh mahkamah. Sebab yang dipakai untuk menetapkan perolehan suara bukan lah Situng, melainkan hasil penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang.
"Begitu juga dugaan pelanggaran yang dituduhkan terjadi di TPS 08 Dusun Winongsari, Desa Karangiati, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali. Permasalahan di TPS tersebut sudah dilaksanakan pemungutan suara ulang atas rekomendasi Bawaslu sehingga tidak ada lagi masalah," kata dia.
Irfan mengatakan, soal 'DPT siluman' sebanyak 17 juta yang diklaim pihak Pemohon, buktinya tidak bisa ditunjukkan kepada MK. Dan, tidak ada yang bisa menjelaskan bahwa DPT itu digunakan atau tidak saat pemungutan suara.
"Hal di atas merupakan sebagian besar dari dalil pemohon yang tidak bisa dibuktikan berdasarkan saksi-saksi, ahli maupun alat bukti lainnya," kata dia.
Jadi, lanjut dia, tidak satupun dalil yang dimuat dalam permohonan pertama maupun permohonan perbaikan yang bisa dibuktikan sebagai suatu kecurangan maupun TSM, baik yang dituduhkan kepada termohon maupun pihak terkait. Jawaban atau keterangan pihak terkait juga sudah membantah semua dalil permohonan. Begitu juga keterangan dari Bawaslu.
"Atas dasar itulah, kami meyakini mahkamah akan menolak permohonan untuk seluruhnya dalam pokok perkara. Begitu juga dengan eksepsi pihak terkait yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima, hal tersebut akan dikabulkan oleh mahkamah. Sebab, tidak ada aturan dalam UU Pemilu maupun Peraturan MK yang memperbolehkan Perbaikan Permohonan PHPU Pilpres," kata dia.
Irfan mengatakan, Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf sebagai Pihak Terkait mempercayakan sepenuhnya kepada sembilan Hakim MK untuk memutuskan PHPU Pilpres ini secara adil dan berdasarkan aturan aturan yang ada yang sesuai dengan perkara ini.
"Kami yakin mahkamah akan profesional dalam memutuskan Perkara PHPU ini tanpa ada tekanan maupun intervensi dari pihak mana pun. Tentu kami akan menerima apapun amar putusan MK. Sebab putusan MK itu bersifat final dan mengikat dan tidak ada lagi upaya hukum lain. Dan hal itu merupakan suatu proses yang konstitusional yang harus kita hargai," kata dia.
Irfan mengatakan, putusan mahkamah tidak bisa memuaskan semua pihak, meskipun semuanya sudah berupanya membuktikan dalil dalilnya maupun membantahnya sesuai kepentingan masing masing.
Sementara, Koordinator Jubir BPN Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, mengenai putusan sengketa Pilpres 2019 yang akan dibacakan di MK, Kamis 27 Juni 2019, secara teknis hukum, pihaknya belum bisa berkomentar.
"Tapi yang jelas bagi kami, ini upaya final untuk uji legalitas proses pemilu kita. Di sisi lain juga ada fakta persidangan yang terungkap," kata dia, Rabu.
Dia mengatakan, BPN akan menghormati apapun keputusan MK soal Pilpres 2019. Yang pasti, kata dia, pihaknya sudah menyampaikan ada kecurangan yang terjadi dari hulu sampai hilir.
"Dalam kondisi tersebut tentu kami serahkan sepenuhnya dan langkah kepada masyarakat," kata Dahnil.
Dia menambahkan, BPN siap jika Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno berakhir kalah di sidang MK.
"Kita siap menang dan siap kalah," kata Koordinator Juru Bicara BPN, Dahnil Anzar Simanjuntak di Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya I No 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (26/6/2019).
Menurutnya, Prabowo akan mengakui keputusan yang konstitusional dan diinginkan masyarakat.
"Prabowo mengatakan, proses MK adalah proses akhir, beliau memutuskan ke MK untuk sampaikan upaya legal dan legitimasi dari masyarakat," kata Dahnil.
"Kita lihat faktanya seperti apa, kalau sudah diputuskan maka Prabowo akan akui secara legalitas, legitimasinya serahkan ke MK," sambungnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini
Advertisement
Rekonsiliasi Bukan Bagi-Bagi Kue Kekuasaan
Pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas berpendapat, upaya rekonsiliasi telah lama dimulai kubu Jokowi ke pihak Prabowo Subianto. Bahkan, setelah pencoblosan suara. Salah satunya dengan mengirim Luhut Binsar Pandjaitan sebagai utusan.Â
Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa kekuatan politik yang dimiliki Prabowo cukup besar.
"Jadi tidak mungkin the winner takes all, pemenang mengambil segalanya dan tidak menyisakan kesempatan yang kalah. Tidak mungkin dalam politik. Pasti ada usaha untuk power sharing," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (26/6/2019).
Dia mengatakan, tawaran rekonsiliasi bentuknya tidak harus dengan posisi jabatan di kabinet. Sebab, bila bergabung di kabinet, maka sama saja menempatkan Prabowo dan Gerindra sebagai anggota baru Koalisi Indonesia Kerja.
"Kalau mereka malah bergabung jadi anggota koalisi, malah buruk bagi demokrasi. Karena tidak akan ada oposisi di parlemen, tidak ada oposisi juga yang mengontrol jalannya pemerintahan. Masa 90 persen semua gabung di situ, tidak bisa, dan itu membuat nanti berjalannya pemerintahan dan pengambilan keputusan menjadi terlalu sarat beban kompromi," kata dia.
Konsesi, kata dia, bisa dilakukan dengan cara lain misalnya apakah memberi kesempatan di DPR dan posisi lain di lembaga negara.
Sirajuddin mengatakan, konsesi tidak harus power sharing terbuka. Dari sisi subtansi, misalnya, kubu Prabowo bisa mengajukan calon menteri yang kompeten.
"Tapi artinya, Gerindra dan Prabowo bergabung di koalisi. Menurut saya, tidak bagus untuk demokrasi, karena ternyata, 'oh ini doang yang dicari', bukan ingin perbaiki negara tapi dapat kue saja dari kekuasaan yang diperebutkan," kata dia.
Dia mengatakan, rekonsiliasi yang harus dilakukan terlebih adalah rekonsiliasi simbolik. Contohnya, menunjukkan Prabowo dan Jokowi mempunyai kebesaran hati untuk saling menerima hasil keputusan di Mahkamah Konstitusi.
"Misalnya, Prabowo dinyatakan kalah di MK, ya terbuka menerima itu dan sampaikan pidato yang pantas ke publik, menerima dan mengajak pendukungnya sama sama berjuang dalam pembangunan Indonesia ke depan. Secara simblok ini bagus sekali. Lalu, Jokowi bisa merangkul Prabowo misalnya untuk sama sama membangun bangsa ke depan," kata dia.
"Nah, bentuk akomodasinya tidak sevulgar siapa dapat apa. Saya kira itu bisa dibicarakan tertutup. Yang simbolik seperti di antaranya bisa menenangkan publik nasional, menenangkan patner Indonesia di luar," Sirajuddin menandaskan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga sepakat, rekonsiliasi politik tidak mesti harus merangkul rival ke kabinet. Karena opisisi pun diperlukan.
"Karena untuk menyeimbangkan tata kelola pemerintahan fungsi-fungsi pengawasan. Rekonsiliasi itu harus kembali kepada konstitusi kita. Bahwa menerima hasil Mahkamah Konstitusi. Kalau memang pilihannya menjadi penyeimbang di parlemen, itu sangat baik buat tata kelola kita," kata Titi kepada Liputan6.com.
Dia berharap, masih ada penyeimbang di parlemen. Karena itu akan menjadi pendidikan politik yang baik.
"Jangan selalu maknai rekonsiliasi itu bagi-bagi kue kekuasaan. Tapi memang rekonsiliasi itu bagaimana menempati bernegara dan tata kelola sebagai prioritas. Konsekuensi pemilu harus menerima hasil," kata Titi.
Walau demikian, Titi mengatakan, kalau semua kekuatan dirangkul, termasuk Gerindra, maka Jokowi bisa fokus ke agenda politik di periode keduanya. Kalau komitmen itu tulus, memudahkan program dan agenda yang belum tuntas.
"Harus ada kompromi sebelumnya, dan ini PR besar yang harus dituntaskan oleh Pak Jokowi. Karena akan ada perahu sejak awal dan perahu yang datang belakangan," ucap Titi.Â
Merajut Persaudaraan
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengimbau masyarakat untuk mengakhiri perpecahan setelah palu hakim konstitusi diketok.
"Kita harapkan kepada masyarakat, mari tunjukkan bangsa Indonesia sudah teruji di dalam proses tumbuh kembangnya bangsa yang selama ini bisa menghadapi berbagai macam tantangan dengan baik," ujar Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini di Jakarta, Senin 24 Juni 2019.Â
Helmy memandang fenomena masyarakat setelah pilpres berlangsung, masih terdapat perpecahan di tingkat kehidupan sosial, karena perbedaan pilihan pandangan politik.
Menurutnya, terjadi pembelahan di dalam kehidupan sosial bermasyarakat seolah-olah membuat garis perbedaan. Orang yang tidak sejalan dengan kelompoknya dianggap sebagai kelompok sesat.
"Sistem demokrasi Indonesia telah berupaya membuat proses pemilihan umum menjadi terbuka, adil, dan transparan, dengan proses sengketa pilpres di MK, yang dapat menjadi bahan penilaian masyarakat," kata dia seperti dilansir Antara.
Helmy menilai, proses demokrasi pilpres yang berlangsung hingga penyelesaian di Mahkamah Konstitusi merupakan proses pendewasaan politik yang mahal. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang mengalami transisi menjadi negara yang lebih matang.
"Kita berharap siapapun yang nanti menang, maka yang kalah harus legawa karena prosesnya sudah berakhir di Mahkamah Konstitusi," Helmy memungkasi.
Sementara itu, Rohaniwan Romo Benny Susetyo berharap, setelah keputusan MK sudah tidak ada lagi tuduhan bahwa pemilu dipenuhi kecurangan. Sehingga, masyarakat tidak lagi hidup dalam kecurigaan, kekhawatiran, ketakutan, dan kecemasan.
"Keputusan MK ini final sehingga kita kembali untuk merajut persaudaraan sejati antaranak bangsa ini. Sehingga diharapkan setelah putusan MK yaitu politik harus kembali kepada politik yang berdasarkan Pancasila," kata Romo Benny kepada Liputan6.com, Rabu (26/6/2019).
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mengatakan, MK merupakan supremasi hukum tertinggi, sehingga keputusan hakim harus diterima secara legawa oleh semuanya.
"Dan setelah itu sudah tidak ada konflik, tidak perlu lagi ada kontroversial, tidak perlu lagi ada gugatan karena dengan putusan MK itu ya sudah kita memiliki presiden baru yang harus diterima oleh semua orang termasuk partai politik karena itulah makna dari martabat demokrasi," kata dia.
Romo Benny mengimbau, masyarakat tidak perlu turun ke jalan saat pembacaan putusan MK. Warga cukup melihat di televisi karena disiarkan langsung dan prosesnya pun sudah diikuti
"Kita ingin menjunjung tinggi martabat roh konstitusi dan konstitusi kan tidak boleh ada tekanan. Karena apa, sembilan hakim itu kan sudah disumpah dan mempunyai integritas dan persidangannya transparan, tidak ada rekayasa," kata dia.
Dia pun menilai, rekonsiliasi akan terjadi dengan sendirinya pascaputusan MK, yaitu setelah masing-masing pihak legawa mengakui kekalahan dan kemenangan.
"Nah rekonsiliasi kan ada bermacam-macam, ada yang ingin menjadi oposisi, nah itu cukup baik juga. Oposisi itu sebagai alat pengawasan terhadap kinerja pemerintahan," kata dia.
Romo Benny mengatakan, yang terpenting semangatnya adalah setelah putusan MK semua polemik, kontroversial, dan tuduhan bahwa pemilu ini dipenuhi kecurangan dan rekayasa itu hilang dan masyarakat sudah bersatu kembali dengan sendirinya.
"Artinya tidak terkotak-kotak lagi dengan kubu-kubuan. Tetapi juga tidak ada lagi konflik. Jadi putusan MK dengan ditetapkan presiden baru itu berarti presiden buat semuanya," imbuh dia.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengharapkan adanya rekonsiliasi sosial di kalangan masyarakat setelah putusan MK atas sengketa Pilpres 2019 dibacakan. Dia menilai persatuan Indonesia lebih penting di atas segalanya.
"Artinya, semua pihak bisa bersatu kembali, karena Indonesia itu lebih penting dibandingkan segala sesuatu. Adapun ganjalan-ganjalan, diselesaikan dengan mekanisme konstitusi kita," ujar Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad, di Jakarta, Senin 24 Juni 2019 seperti dilansir Antara.
Dia juga berharap masyarakat dapat menerima hasil putusan MK berdasarkan kesepakatan penyelesaian perkara kedua kubu. Setelah Mahkamah Konstitusi membacakan putusannya, dia meminta masyarakat kembali kepada kesibukan masing-masing.
Advertisement