Koalisi Minta Jokowi Evaluasi Pansel Capim KPK

Koalisi Kawal Capim KPK menemukan sejumlah catatan merah proses seleksi pimpinan lembaga antirasuah itu.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Agu 2019, 23:23 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2019, 23:23 WIB
Koalisi Kawal Capim KPK Kritisi Pansel Capim KPK
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana (kiri) memberi keterangan terkait 20 nama Capim KPK yang lolos seleksi di gedung LBH Jakarta, Minggu (25/8/2019). Koalisi Kawal Capim KPK menyatakan menemukan adanya potensi konflik kepentingan dari pansel terhadap peserta seleksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Kawal Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritisi panitia seleksi (Pansel) yang menyisakan berbagai persoalan serius. Koalisi menyoroti tindakan dan pernyataan pansel serta proses seleksi Capim KPK.

Pertama tentang isu radikalisme. Anggota Koalisi Kawal Capim KPK, Asfinawati menyebut, pada 25 Juni 2019 Pansel Capim KPK mengembuskan isu radikalisme pada proses pemilihan pimpinan KPK. Hal ini tidak relevan lantaran yang seharusnya disuarakan adalah aspek integritas.

"Posisi ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman pansel akan konteks mandat KPK sebagai penegak hukum," kata Asfinawati saat jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (25/8/2019).

Kedua, koalisi sipil menyoroti penegak hukum aktif menjadi pimpinan KPK. Asfinawati mengatakan, pada 26 Juni 2019 pansel menyebut bahwa lebih baik pimpinan KPK ke depan berasal dari unsur penegak hukum. Alasannya, penegak hukum dipandang lebih berpengalaman dalam isu pemberantasan korupsi.

"Logika ini keliru, karena seakan pansel tidak paham dengan original intens pembentukan KPK. Sejarahnya KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum konvensional tidak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Apa saat ini penegak hukum lain telah lebih baik dalam pemberantasan korupsi?," ujarnya.

Ketiga, masalah kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dalam berbagai kesempatan, pansel kerap menyebut isu kepatuhan LHKPN tak dijadikan faktor penentu dalam proses seleksi pimpinan KPK.

Menurut Asfinawati, pansel tidak paham bahwa salah satu indikator untuk mengukur integritas seorang penyelenggara negara atau penegak hukum adalah kepatuhan LHKPN. Hal tersebut juga perintah undang-undang kepada setiap penyelenggara negara dan penegakan hukum.

"Ini sesuai dengan mandat dari UU No 28 Tahun 1999 dan peraturan KPK No 7 Tahun 2016. Bagaimana mungkin seorang pimpinan KPK yang kelak akan terpilih justru figur-figur yang tidak patuh melaporkan LHKPN?," tuturnya.

Keempat, koalisi sipil menyayangkan Keppres pembentukan pansel tidak dapat diakses publik. Asfinawati menyebut, pada tanggal 10 Juli 2019 LBH Jakarta mengirimkan surat permintaan salinan keputusan presiden nomor 54/P tahun 2019.

Namun, pihak sekretariat negara tidak memberikan dengan alasan hanya diperuntukkan untuk masing-masing anggota pansel Capim KPK saja.

"Padahal berdasarkan pasal 1 angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang informasi publik, Keppres Pansel KPK merupakan informasi publik dan bukan termasuk informasi yang dikecualikan," kata Asfinawati.

Kelima, mengenai waktu proses seleksi yang tidak jelas. Menurut Asfinawati, sejak awal pembentukan pansel tidak ada sama sekali pemberitahuan bagi publik terkait jadwal pasti proses seleksi pimpinan KPK. Hal itu tentu merugikan para calon serta masyarakat sebagai fungsi kontrol.

"Alhasil dapat dikatakan pansel telah gagal dalam mendesain agenda besar seleksi pimpinan KPK 2019-2023," ucapnya.

Mereka pun menyoroti sikap pansel agar KPK fokus pada isu pencegahan. Kata Asfinawati, pernyataan itu dilontarkan pansel saat merespons pidato Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Saat itu salah seorang anggota pansel menyebut agar KPK ke depan lebih baik pada aspek pencegahan.

"Seharusnya bagaimana politik penegakan hukum dilakukan oleh KPK, bukan menjadi bagian pansel KPK untuk menerjemahkan. Logika keliru, karena bagaimana pun di tengah praktik korupsi yang masih massif dan indeks persepsi korupsi yang juga tidak merangkak naik signifikan maka pencegahan juga harus diikuti dengan langkah penindakan," tegasnya.

Maka dari itu, Koalisi Kawal Capim KPK menuntut Presiden Jokowi memanggil dan mengevaluasi Pansel Capim KPK 2019-2023. Termasuk salah satunya mengevaluasi indikasi konflik kepentingan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Diminta Peka Masukan Masyarakat

Capim KPK
Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih (tengah) mengangkat tangan bersama anggota usai memberikan keterangan hasil profile assessment calon pimpinan KPK periode 2019-2023 dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/8/2019). Sebanyak 20 orang berhasil lulus dalam tes tersebut. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Koalisi pun menuntut Pansel Capim KPK sebagai sebuah kesatuan meninjau tentang adanya indikasi konflik kepentingan di dalam anggota-anggotanya dan menerapkan peraturan perundang-undangan terkait dalam kerjanya.

"Pansel Pimpinan KPK agar lebih peka dan responsif terhadap masukan masyarakat serta mencoret nama-nama yang tidak patuh melaporkan LHKPN dan mempunyai rekam jejak bermasalah," tandas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Koalisi Kawal Capim KPK terdiri dari Indonesian Corruption Watch, LBH Jakarta, YLBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Pusat Studi Konstitusi FH UNAND, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya