MPR Ungkap Rekomendasi GBHN, Berisi Program 50 Tahun dalam 10 Halaman

nggota Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono mengatakan, tidak ada yang perlu ditakutkan terkait wacana menghidupkan kembali GBHN.

oleh Moch Harunsyah diperbarui 10 Sep 2019, 16:35 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2019, 16:35 WIB
Anggota Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono. (Liputan6.com/Moch Harunsyah)
Anggota Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono. (Liputan6.com/Moch Harunsyah)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono mengatakan, tidak ada yang perlu ditakutkan terkait wacana menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945.

Menurut dia, ada dua rekomendasi yang akan dikeluarkan MPR RI periode 2014-2019 terkait GBHN. Selama periode itu, MPR mengkaji sekaligus turun gunung untuk mendengar dan menampung aspirasi dari banyak kelompok.

"Nanti ada haluan negara yang nantinya mencakup semua, kemudian ada haluan pembangunan seperti dulu (masa orde baru). Mungkin semua 10 halaman itu ya berisi program jangka panjang yang kira-kira 10 tahun, 50 tahun yang akan datang mengikat semua lembaga negara tidak hanya untuk program pembangunan," kata Bambang di Yogyakarta, Selasa (10/9/2019).

Pernyataan itu diungkapkan Bambang usai menghadiri diskusi Panel B (MPR) bertema Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI 1945 dalam Festival Konstitusi dan Anti Korupsi di Fakultas Hukum UGM.

Dia menegaskan, tidak perlu juga reaksi berlebihan soal wacana menghidupkan GBHN. Apalagi sampai menyebut bahwa MPR berniat mengembalikan masa orde baru.

"Banyak yang salah paham. Padahal itu hanya haluan negara dan berisi beban jangka panjang 5, 10 tahun mendatang," tegas Bambang.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Sesuai Perkembangan Zaman

Rapat Gabungan Pimpinan MPR dan DPD
Suasana Saat Menggelar Rapat Gabungan di Gedung GBHN Nusantara V, Jakarta, Rabu (24/7/2019). (Foto: Moch Harun Syah/Liputan6.com)

Di tempat yang sama, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Ratno Lukito mengatakan, amandemen UUD hal yang lumrah.

"Kalau di India mengamandemen 2 kali dalam setahun dan kita baru mau kelima kalinya saja sudah ramai di medsos," ujar dia.

Dia pun meyakini saat masa Soekarno atau awal kemerdekaan, undang-undang dibuat sementara. Untuk itu dipandang perlu bila tidak lagi mengakomodir kebutuhan saat ini.

"Mereka yakini dulu pembentukan UUD juga sementara, jadi nanti kalau kita bernegara kita kumpulkan lagi di majelis Permusyawaratan rakyat untuk lebih lengkap lagi," tutur dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya