Deretan Revisi Undang-Undang Kontroversial Jelang Akhir Jabatan DPR dan Jokowi-JK

Sejumlah undang-undang yang direvisi DPR menuai polemik, kontroversi, bahkan penolakan publik.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Sep 2019, 06:32 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2019, 06:32 WIB
Rapat Paripurna Bahas RUU SDA dan Pekerja Sosial
Suasana Rapat Paripurna ke-6 DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019). DPR dijadwalkan mengesahkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu RUU Sumber Daya Air (SDA) dan RUU Pekerja Sosial. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Masa kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla atau JK serta anggota DPR periode 2014-2019 akan segera berakhir. Di akhir masa kerja mereka, sejumlah undang-undang direvisi.

Namun ternyata undang-undang yang direvisi menuai polemik, kontroversi, bahkan penolakan publik. Meski demikian, ada revisi yang tetap disahkan menjadi undang-undang oleh DPR bersama pemerintah, yakni UU KPK.

Revisi UU KPK yang kini sudah diketuk palu oleh DPR bersama pemerintah masih menuai pro dan kontra. Bahkan, ada sejumlah pihak yang berencana mengajukan gugatan.

Sementara, beberapa revisi undang-undang yang menuai polemik tengah dalam pembahasan anggota DPR. Sebagian tinggal menunggu rapat paripurna untuk pengesahannya menjadi undang-undang.

Berikut undang-undang yang direvisi DPR bersama pemerintahan Jokowi-JK di masa akhir jabatan yang menuai kontroversi:

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

RUU SDA

Rapat Paripurna Bahas RUU SDA dan Pekerja Sosial
Suasana Rapat Paripurna ke-6 DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019). DPR dijadwalkan mengesahkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu RUU Sumber Daya Air (SDA) dan RUU Pekerja Sosial. (Liputan6.com/JohanTallo)

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) menjadi Undang-Undang. RUU SDA disahkan dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2019.

Wakil Ketua Komisi V DPR Lasarus mengatakan, UU Sumber Daya Air terdiri dari 16 Bab dan 79 Pasal. UU ini sudah disetujui oleh semua fraksi di DPR.

"Secara keseluruhan, RUU tentang SDA telah mendapat persetujuan dari semua fraksi yang ada di Komisi V. Fraksi-fraksi menyampaikan harapan dan penekanan untuk memaksimalkan implementasi RUU ini antara lain keharusan pemerintah segera membentuk aturan pelaksana yang diamanatkan UU tentang SDA," ujar Lasarus.

Di tempat yang sama, Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, RUU tentang Sumber Daya Air adalah semangat dan cita-cita untuk terus memasok air hingga ke pelosok negeri. Menurutnya, susunan RUU Sumber Daya Air ini mengatur perusahaan hak negara dan air untuk masyarakat.

"RUU tentang SDA ini mengatur dinamika saat ini seperti jaminan hak pokok sekitar 60 liter per hari dan perkuatan sumber daya air," ucap Yasonna.

 

RUU Pertanahan

Wajah Bencana Kekeringan di Waduk Spanyol
Tanah kering yang terlihat di sekitar waduk Vinuela saat gelombang panas melanda wilayah La Vinuela di Spanyol selatan, Rabu (9/8). Eropa tengah dilanda gelombang panas Lucifer yang suhunya mencapai di atas 40 derajat Celsius. (JORGE GUERRERO / AFP)

Selain itu adapula RUU Pertanahan yang masih menjadi pekerjaan rumah di akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019.

Ada beberapa pasal yang masih bermasalah, antara lain upaya penghilangan hak-hak masyarakat atas tanah, mempermudah pengusahaan lahan atas nama investasi, menutup akses masyarakat atas tanah, dan pemenjaraan bagi warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya.

Ketua Komisi II Zainudin Amali berharap, pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pertanahan pada 24 September 2019.

Hal itu, Zainudi, dilakukan karena Presiden Joko Widodo atau Jokowi ingin RUU tersebut rampung pada September ini.

"Enggak, itu jadwal yang kita buat. Presiden mau September ini," kata Amali di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 19 September 2019.

 

Revisi UU Pemasyarakatan

20160210- Mayoritas Fraksi DPR Setuju Revisi UU KPK-Jakarta-Johan Tallo
Suasana Rapat pleno mengenai kelanjutan revisi UU KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/2/2016). Meskipun rencana revisi itu dikecam masyarakat, 9 dari 10 fraksi di Baleg DPR menyetujui revisi UU KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Diakhir masa jabatan, DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Bila revisi UU Pemasyarakatan disahkan, maka Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak berlaku lagi.

PP 99/2012 mengatur tentang prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat, seperti napi tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi dan kejahatan keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transaksional dan terorganisasi.

Pasal 43A PP 9/2012 itu mengharuskan, napi bakal mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, ketika bersedia menjadi justice collaborator, menjalani hukum dua pertiga masa pidana, menjalani asimilasi 1/2 dari masa pidana yang dijalani dan menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan.

Sementara ayat (3) Pasal 43B itu mensyaratkan rekomendasi dari KPK sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan remisi.

Selanjutnya pasal kontroversial dalam revisi UU tersebut yakni soal pemberian cuti bersyarat bagi narapidana (Napi). Hak dan cuti bersyarat bagi napi ada di Pasal 9 dan 10.

Anggota Komisi III dari Fraksi PAN Muslim Ayub mengatakan, setiap napi memiliki hak pribadi, termasuk hak untuk cuti bersyarat.

"Di Pasal 10 sudah jelas bahwasanya hak-hak warga binaan itu sudah ada, hak remisi, asimilasi, cuti bersyarat, kemudian bisa pulang ke rumah, bagian dari itu semua," kata Muslim, Jumat, 20 September 2019.

Muslim menjelaskan, nantinya para napi ketika keluar lembaga pemasyarakatan, termasuk pulang ke rumah bisa jalan-jalan ke mal saat cuti bersyarat.

"Terserah kalau dia mau cuti di situ, mau dalam arti dia ke mal juga bisa. Iya kan? Kan cuti, bisa ngambil cuti, dan didampingi oleh petugas lapas. Apapun yang dia lakukan itu didampingi oleh petugas lapas," ujar Muslim.

 

Revisi UU KPK

DPR Sahkan Revisi UU KPK
Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Yang belum lama ini disahkan dan menjadi perbincangan publik adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK.

Walau mendapat penolakan dari berbagai kalangan, DPR tetap mengesahkan revisi UU KPK menjadi Undang-Undang. Beberapa pasal juga menjadi kontroversi karena dinilai sebagai upaya untuk melemahkan KPK.

Pertama adalah kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam kewenangan dan tugas bersifat independen dan bebas dari kekuasaan.

Kedua, yaitu pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas dan tugas KPK agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan pengawas telah disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk oleh presiden.

Ketiga adalah soal revisi terhadap kewenangan penyadapan oleh KPK di mana komisi meminta izin kepada dewan pengawas.

Berikutnya, mekanisme penggeledahan dan penyitaan yang juga harus seizin dewan pengawas. Kelima, mekanisme penghentian dan atau penuntutan kasus Tipikor. Terakhir terkait sistem pegawai KPK di mana pegawai menjadi ASN.

 

RKUHP

Wordcloud RKUHP
Wordcloud berbasis empat ribuan twit tentang RKUHP, dibuat menggunakan tools buatan Jason Davies

Selain revisi UU KPK, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga menuai polemik. DPR menjadwalkan akan mengesahkan RKUHP pada 24 September 2019. Namun, terdapat pasal-pasal dalam revisi UU tersebut menuai kontroversi dan penolakan publik.

Sebagai bentuk penolakan, LSM sampai mahasiswa rela turun ke jalan untuk demo penolakan RKUHP. Salah satu pasal dalam RKUHP yang menjadi kontroversi yakni terkait penghinaan presiden atau wakil presiden yang tertuang dalam pasal 218-220 RKUHP.

Lalu ada pasal aborsi, pasal perzinahan, pasal hukum adat, gelandangan didenda Rp 1 juta, lalu pasal tindak pidana korupsi yang menurunkan hukuman koruptor menjadi minimal dua tahun penjara. Padahal dalam KUHP lama, hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi minimal empat tahun penjara.

Karena menuai pro dan kontra, Presiden Jokowi minta DPR menunda pengesahan revisi UU KUHP. Permintaan itu diakui Jokowi setelah menerima sejumlah masukan dari berbagai kalangan.

"Untuk itu saya telah memerintahkan Menkum HAM selaku pemerintah untuk menyampaikan sikap ini pada DPR RI. Yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda," kata Jokowi.

 

Reporter : Syifa Hanifah

Sumber : Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya