Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemulangan 600 orang warga negara Indonesia (WNI) mantan anggota kelompok radikal ISIS menuai polemik.
Sebagian peihak menolak rencana itu, termasuk pemerintah melalui Presiden Jokowi. Sejak rencana itu bergulir, Jokowi langsung menetang dengan pertimbangan mengutamakan keselamatan rakyat di dalam negeri.
Terkait hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Fahri Bachmid menilai tidak ada formulasi aturan hukum khusus terkait wacana pemulangan 600 orang mantan anggota ISIS asal Indonesia.
Advertisement
Menurut Fahri Bachmid, pemulangan WNI eks anggota ISIS yang menuai polemik tersebut perlu ditinjau dalam konteks konstitusi dan perundang undangan yang berlaku.
Fahri menjelskan, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Fahri, Pasal 28E ayat (1) tersebut menegaskan ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, sehingga setiap orang secara konstitusional bebas memilih kewarganegaraannya.
"Dengan demikian untuk menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945),ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/2/2020).
Menurut Fahri Bachmid, memang terdapat sedikit kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika mengunakan instrumen UU RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mendasarkan pada ketentuan pasal 23 poin d yang menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden,”. Sementara, point F yang menyebutkan bahwa “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”.
"Ini tentu mebutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori,doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional," kata dia.
Fahri menjabarkan, secara normatif macam subjek hukum internasional terdiri dari a. Negara berdaulat; b. Gabungan negara negara; c. Tahta suci vatikan; d. Orgainsasi internasional,baik yang bilateral,regional maupun multilateral; e. Palang merah internasional; f. Individu yang mempunyai kriteria tertentu; g. Pemberontak (Belligerent) atau pihak yang bersengketa; h. Penjahat perang (Genocide).
Dengan demikiam subjek hukum internasional terdapat kelompok pemberontak, disebutkan Fahri, itupun terbagi kedalam dua kategori yaitu “Insurgent” dan Belligerent” dan ISIS termasuk dalam kelompok Belligerent. Namun, lanjut Fahri menjadi sulit secara hukum jika WNI Eks ISIS itu dikualifisir sebagai warganegara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah/janji setia kepada negara asing/bagian dari negara asing tersebut sebagaimana diatur dalam kaidah ketentuan pasal 23 point f UU No.12/2006.
"Karena secara konseptual maupun hukum internasional ISIS tidak dapat dikategorikam sebagai negara,karena tidak memenuhi unsur-unsur negara, sehingga ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities). Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati hati," agar ketika membangun konstruksi hukum sekaitan dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke Indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal - konstitusional, dan tidak melawan hukum katanya.
Dijelaskan Fahri Bachmid, berdasarkan Konvensi Montevideo Tahun 1933 Tentang Hak dan Kewajiban Negara yang ditandatangani pada tanggal 26 desember 1933, yang mengkodifikasi teori deklaratif kenegaraan disebutkan syarat hukum berdirinya sebuah negara yang harus dipenuhi secara mutlak, yaitu: a. Memiliki rakyat; b. Wilayah; c. Pemerintahan; d. Kemampuan berhubungan dengan negara lain; e. Pengakuan kedaulatan dari negara lain.
"Berdasarkan hal tersebut maka secara faktual ISIS tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara lain apalagi mendapat pengakuan kedaulatan dari negara lain, sehingga secara hipotetis disimpulkan bahwa ISIS adalah sebuah negara menjadi gugur," tukas Fahri.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Terancam Stateless, Apa Payung Hukumnya?
Fahri menambahkan WNI Eks ISIS ini secara hukum telah “stateless” (tanpa kewarganegaraan). Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mereka dipulangkan ke tanah air, menurut dia, beberapa instrumen dan payung hukum yang berkaitan dengan Pelaksanaan UU RI No. 12/2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi.
"Contoh identifikasi mana WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan), mana yang sekedar korban,? mana yang levelnya “verry dengerous” karena sangat radikal dan ekstrim sampai pada level yang resikonya sangat kecil? proses assesment, deradikalisasi pengaturan leading sector-nya, apakah dibawah tanggung jawab BNPT atau siapa,? dan yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat,yang tentunya melibatkan Pemerintah daerah karena mengatur tentang tangung jawab dan sebagainya," ucap dia.
Fahri Bachmid mencontohkan pengalaman empiris terkait memperlakukan eks Kombatan ISIS, yaitu mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Batam, Dwi Djoko Wiwoho pada tahun 2018 yang silam.
Djoko dan keluarganya menghilang sejak agustus 2015 dan belakangan diketahui Djoko telah bergabung dengan ISIS dan beroperasi di Iraq. Namun, akhirnya Djoko dan keluarganya berhasil dipulangkan ke Indonesia dan Djoko mendekam dipenjara setelah divonis 3,5 tahun penjara. Sementara anggota keluarga yang lainnya menjalani program deradikalisasi dan ahirnya dilepaskan.
"Dan ini bisa menjadi referensi terkait hal ini. Agar proses integrasi WNI eks ISIS ke indonesia tidak menjadi permasalahan baru. Jadi pendidikan serta pembinaan dalam rangka deradikalisasi menjadi penting, agar paham radikal dan ekstrimis bisa benar benar dihilangkan, dan idiologi yang mereka gunakan dapat ditinggalkan," katanya.
Advertisement