Alasan Usul RUU Ketahanan Keluarga: Angka Perceraian Tinggi

Anggota Fraksi PAN DPR RI Ali Taher menjelaskan alasannya mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga yang kini menjadi sorotan publik.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 20 Feb 2020, 09:15 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2020, 09:15 WIB
Berkas Dokumen Arsip File
Ilustrasi Foto Berkas atau Dokumen. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Fraksi PAN DPR RI Ali Taher menjelaskan alasannya mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga yang kini menjadi sorotan publik. Menurutnya, ia hanya melihat fakta tingginya angka perceraian di Indonesia.

"Ya pro kontra wajar, realitas sosial kita sudah tau terjadi. Tapi fakta sosial kita menunjukkan betapa rapuhnya kondisi objektif sekarang ini dalam dunia perkawinan. Kalau ini tingkat perceraian sekarang rata-rata kabupaten itu tidak kurang dari 150-300 per bulan, per bulan loh," kata Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu malam 19 Februari 2020.

Banyaknya angka perceraian menurut Ali membutuhkan perhatian pemerintah, salah satunya lewat RUU Ketahanan Keluarga.

"Akibat perceraian itu menimbulkan persoalan hak asuh anak. Kemudian masa depan anak, masa depan keluarga dan ini memerlukan perhatian," ucap dia.

Angka perceraian, menurut Ali juga disebabkan faktor ekonomi. Dengan banyaknya angka pengangguran, PHK, outsourcing berakibat akumulatif persoalan ekonomi keluarga.

"Oleh karena itu, UU itu menjadi sangat penting bagi kita untuk dilanjutkan agar persoalan ketahanan keluarga ini bisa menjadi alternatif pemecahan masalah sosial yang dihadapi oleh keluarga," tandas Ali.

Lima anggota DPR lintas fraksi mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga. Mereka adalah Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetyani (PKS), Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra), dan Ali Taher (PAN).

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Draf RUU

Berkas Dokumen Arsip File
Ilustrasi Foto Berkas atau Dokumen. (iStockphoto)

Draf RUU Ketahanan Keluarga yang diinisiasi DPR memicu polemik di masyarakat. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah larangan donor sperma untuk memperoleh keturunan.

Dikutip merdeka.com, larangan untuk mendonorkan dan memperjualbelikan sperma tersebut tercantum dalam pasal 31 ayat 1 dan 2. Dan diatur juga ancaman pidananya dalam pasal 139 dan 140.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.

Setiap orang yang nekat mendonorkan sperma maka akan mendapatkan sanksi pidana sebagaimana diatur pada pasal 139. Mereka yang sengaja dan sukarela mendonorkan sperma terancam pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Pasal 139

Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 140

Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Selain itu, Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur soal aktivitas seksual. Di pasal itu disebutkan pelarangan aktivitas seks sadisme dan masokhisme alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).

Pada Pasal 85 ayat 1 disebutkan, aktivitas seks sadisme dan masokis merupakan penyimpangan seksual.

a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.

b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.

Selanjutnya pada pasal 86, keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.

Peran Suami Istri

Berkas Dokumen Arsip File
Ilustrasi Foto Berkas atau Dokumen. (iStockphoto)

Pada pasal 25, peran suami dan istri di dalam rumah tangga diatur hingga mendetail dalam tiga ayat. Peran suami, dalam RUU itu ada empat. Pertama, suami bertugas sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga. Suami juga harus melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

Ketiga, suami wajib melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran.

Keempat, suami harus melindungi keluarga dari praktik perjudian, pornografi, pergaulan, dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Sementara, istri memiliki tiga tugas utama dalam ketahanan keluarga yakni urusan domestik keluarga. Pada Pasal 25 ayat (3) disebutkan Kewajiban istri adalah wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Kedua wajib menjaga keutuhan keluarga.

Ketiga wajib serta memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya