HEADLINE: Draf RUU Ketahanan Keluarga Tuai Kontroversi, Masih Perlukah?

RUU Ketahanan Keluarga menjadi polemik lantaran negara dianggap terlalu jauh mengurusi ruang pribadi warganya.

oleh Nafiysul QodarNanda Perdana Putra diperbarui 21 Feb 2020, 00:01 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2020, 00:01 WIB
Banner Infografis Pasal-Pasal Kontroversial Draf RUU Ketahanan Keluarga. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Pasal-Pasal Kontroversial Draf RUU Ketahanan Keluarga. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga tengah hangat diperbincangkan. Publik menyoroti sejumlah pasal kontroversial di dalamnya. Meski baru berbentuk draf, RUU ini dianggap berupaya meneropong mulai kewajiban suami-istri di dalam rumah tangga hingga urusan ranjang.

RUU Ketahanan Keluarga ini diinisiasi oleh lima anggota DPR lintas fraksi, yakni Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetyani (PKS), Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra), dan Ali Taher (PAN). RUU tersebut juga sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengingatkan bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan HAM PBB. Dengan begitu, seluruh produk undang-undang maupun kebijakan harus berdasarkan pada prinsip dan standar HAM.

"Itu juga berlaku pada RUU Ketahanan Keluarga. Jadi seharusnya RUU Ketahanan Keluarga juga harus berdasarkan prinsip dan standar Hak Asasi Manusia," kata Beka kepada Liputan6.com, Kamis (20/2/2020). 

Dalam teori HAM, kata Beka, setiap warga negara memiliki hak atas integritas personal, artinya berdaulat atas dirinya sendiri, bebas berpikir, bertindak, maupun bersosialisasi. Sehingga negara tidak bisa serta merta masuk ruang-ruang privat warganya.

"Undang-undang itu mengatur moral publik, bukan mengatur moral privat begitu. Dan ini saya kira yang alpa dari RUU Ketahanan Keluarga itu, karena kemudian sampai kepada ruang-ruang privat warga negara," tuturnya.

Beka juga menyoroti potensi terjadinya pelanggaran HAM pada penerapan RUU tersebut. Misalnya, soal kewajiban lapor bagi keluarga atau individu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Dia menjelaskan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1982 telah mengeluarkan LGBT dari daftar penyakit kejiwaan. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan putusan serupa pada 1993. Dengan begitu, LGBT bukanlah suatu penyakit.

"Kedua, LGBT itu orientasi seksual bukan perilaku seksual. Sehingga tidak boleh ada pembatasan atau diskriminasi berdasarkan orientasi seksual mereka," katanya.

Selain soal LGBT, aturan mendetail mengenai kehidupan suami-istri juga dinilai melanggar HAM. Sebab, hal itu sudah masuk ke ranah privat.

"Ada pasal yang menyebutkan bahwa suami istri dalam rumah tangga harus saling cinta. Itu adalah norma umum. Bahwa semua rumah tangga ya dibangun atas dasar cinta. Tidak ada kemudian standar cinta itu seperti apa yang dilakukan oleh negara. Itu adalah ruang-ruang privat di mana kemudian interaksi antara suami dan istri," tutur Beka.

Beka menilai, saat ini RUU Ketahanan Keluarga belum diperlukan, sebab aturan, norma, nilai dan adat istiadat di Indonesia masih sangat baik. Belum lagi banyak aturan di dalamnya yang berpotensi tumpang tindih dengan regulasi lain yang sudah ada.

"Jadi menurut kami, ini belum menjadi kebutuhan, saya kira pembahasannya ya dihentikan," katanya.

Infografis Pasal-Pasal Kontroversial Draf RUU Ketahanan Keluarga. (Liputan6.com/Abdillah)

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, tidak ada yang spesial dalam RUU tersebut. Sebab, menurut dia, hal-hal yang ada di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga telah diatur di UU lain.

"Melihat kekhususan RUU ini atau fokus RUU ini mengatur apa, itu tidak jelas. Yang terlintas itu seperti imbauan, dorongan atau semangat kepada keluarga. Padahal kan undang-undang itu punya konsekuensi pidana atau sanksi," kata Lucius kepada Liputan6.com, Kamis.

Memang ada beberapa pasal yang mengatur tentang sanksi pidana terkait donor sperma dan ovum serta menyewakan rahim. Namun menurut Lucius, sanksi pidana itu telah diatur di KUHP.

"Dari sisi perencanaannya, saya kira para pengusulnya hanya bermodalkan niat saja tanpa ada studi serius seperti sosiologis, antropologis, maupun yuridis. Mestinya harus ada semacam analisis soal UU apa saja yang sudah ada terkait dengan bidang itu, sehingga memperjelas dari awal itu apa yang belum diatur di sana yang kemudian akan diatur dalam UU ini," katanya.

Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga dinilai justru bertentangan dengan semangat pemerintah membuat omnibus law. Sebab, RUU tersebut berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain yang sudah ada. "Solusinya ya harus dihapus dari program legislasi," ucap Lucius.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai, pembentukan RUU ini telah mengabaikan prinsip dapat dilaksanakan dalam pembentukan UU. Contohnya soal relasi suami-istri.

"Bagaimana mungkin negara ikut campur hubunga suami istri terlalu jauh, bahkan menentukan harmonisasi keluarga atau tidak. Padahal dalam ilmu perundang-undangan, tidak boleh nilai-nilai etika yang sudah diyakini masyarakat sebagi hukum diatur lebih jauh dalam UU," kata Feri kepada Liputan6.com, Kamis.

Dia menyontohkan, suami dan istri ketika bertikai tentu memiliki mekanisme kekeluargaan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. "Jadi UU ini aneh dan unik," katanya.

Feri curiga, RUU Ketahanan Keluarga sengaja dibentuk untuk menjaga polarisasi di masyarakat dan demi kepentingan politik. "Sekaligus alat agar topik utama kritik masyarakat tidak dibahas, misalnya UU Omnibus Law Cipta Kerja," ucapnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Kata Pengusul

DPR Sahkan RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2020
Suasana Rapat Paripurna ke-6 DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Rabu (22/1/2020). Salah satu agenda yang dibahas dalam rapat paripurna adalah pengesahan RUU yang masuk Prolegnas prioritas 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan alasan dasar dirinya bersama empat anggota DPR lainnya mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga.  Menurut dia, kebijakan-kebijakan pembangunan di Indonesia belum berbasis kepada keluarga. Padahal keluarga merupakan struktur dasar dalam bermasyarakat.

"Kita juga melihat persoalan-persoalan yang bisa menimbulkan kerentanan terhadap keluarga, apakah itu kesehatan, pendidikan, pengasuhan, jadi akhirnya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga ini diusulkan," ujar Ledia kepada Liputan6.com, Kamis.

Melalui RUU tersebut, dia berharap, pemerintah dapat memfasilitasi kebutuhan keluarga-keluarga di Indonesia, sehingga mereka bisa mengembangkan potensinya dan mengatasi permasahalannya yang tentu berbeda-beda.

Ledia tak menampik banyak pihak yang mengkritisi usulannya tersebut, tak terkecuali dari kalangan legislator. Menurut dia, draf RUU Ketahanan keluarga yang beredar masih sebatas usulan. Pihaknya terus membuka ruang diskusi dan menerima semua masukan dari masyarakat.

Lebih lanjut, Ledia menjelaskan beberapa pasal yang dipermasalahkan publik, seperti soal aktivitas seksual sadisme dan masokisme atau Bondage, Dominance, Sadism, dan Masochism (BDSM), donor sperma, hingga surogasi.

"Jadi tugasnya negara adalah jika ada yang terganggu di dalam keluarga itu, misalnya ada kekerasan, masokisme, sadisme, keluarga itu diberi kesempatan untuk lapor. Kan kasusnya sekarang banyak kejahatan yang dilakukan oleh keluarga ke anggota keluarga. Bagaimana caranya, mereka diberanikan untuk melapor karena ada tempat untuk melapor. Dan ketika sudah melapor, apa yang dilakukan? Merehabilitas korban dan pelaku," katanya.

Politikus PKS itu menekankan, BDSM dapat dilaporkan jika salah satu anggota keluarga merasa menjadi korban dari praktik fantasi seks tersebut. "Jadi konteksnya kita melindungi anggota keluarga yang menjadi korban," ucap Ledia.

Sementara terkait donor sperma, dia berharap, RUU tersebut dapat menjaga kejelasan nasab, keturunan, dan tanggung jawab dalam keluarga. Menurut dia, program bayi tabung dibolehkan selama sperma dan ovumnya berasal dari orang-orang yang ada dalam pernikahan itu.

"Yang dilarang itu memperjualbelikan spermanya, ovumnya, rahimnya disewakan, itu yang tidak boleh. Jadi yang disebut basis di dalam keluarga itu begini, hubungan kekeluargaan itu harus dipelihara dan dijaga. Jadi harus jelas. Kan kalau itu sperma dari siapa, artinya kan itu bapaknya. Nah yang begitu-begitu yang kemudian kita bahas," kata Ledia menandaskan.

Sementara anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PAN Ali Taher menjelaskan alasan draf RUU Ketahanan Keluarga tidak ada aturan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tapi malah mengatur BDSM.

"Substansi kan kita bahas terus-menerus. Masukan, rekomendasi, saran dari masyarakat tetap terbuka untuk kita diskusikan. Kita selalu terbuka," kata Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu malam, 19 Februari 2020.

Ali menyatakan, RUU itu masih terbuka dari usulan dan kritik masyarakat. Oleh karena itu, pihaknya siap menerima diskusi dan masukan termasuk soal KDRT. "Masih dalam proses, kita terbuka," ucap dia.

Meskib begitu, dia mengatakan, yang menjadi fokus para pengusul, draf RUU Ketahanan Keluarga yang ada saat ini sudah memberi warna perlindungan warga dari kekerasan dalam rumah tangga.

"Bagaimana warna dari UU itu memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Bagaiamana (perlindungan) terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau pengabaian-pengabaian hak antara kedua belah pihak," ucap Ali.

Pasal-Pasal Kontroversial

keluarga
ilustrasi anak/Photo by Emma Bauso from Pexels

Liputan6.com mencatat, setidaknya terdapat empat pasal kontroversial yang ada di dalam RUU Ketahanan Keluarga. Yang pertama yakni soal kewajiban suami-istri yang diatur secara detil di Pasal 25. 

Pasal 25

(1) Setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal lain yang tak kalah menjadi sorotan adalah larangan donor sperma dan ovum untuk memperoleh keturunan. Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2. Dan diatur juga ancaman pidananya dalam Pasal 139 dan 140.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.

(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.

Setiap orang yang nekat mendonorkan sperma maka akan mendapatkan sanksi pidana sebagaimana diatur pada pasal 139. Mereka yang sengaja dan sukarela mendonorkan sperma terancam pidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Pasal 139

Setiap Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 140

Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam RUU Ketahanan Keluarga ini juga mengatur tentang surogasi atau dikenal dengan ibu pengganti. Surogasi sebenarnya hal lumrah di Amerika Serikat.

Dalam surogasi itu di mana terdapat perjanjian yang mencakup persetujuan seorang wanita untuk menjalani kehamilan bagi orang lain. Diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 142 serta Pasal 143.

Pasal 32

(1) Setiap Orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.

(2) Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.

Pasal 141

Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan surogasi untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 142

Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tahun) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 143

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:a. pencabutan izin usaha; dan/ataub. pencabutan status badan hukum.

Yang tak kalah menjadi sorotan, RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur larangan aktivitas penyimpangan seksual. Bentuk penyimpangan seksual yang dimaksud adalah Bondage, Dominance, Sadism, dan Masochism (BDSM).

BDSM adalah aktivitas seksual mengarah ke fantasi untuk memperbudak, mendominasi, hingga penyiksaan fisik agar mendapat kepuasan.

Dalam penjelasan Pasal 85 ayat 1 disebutkan, perilaku seks sadisme dan masochisme sebagai penyimpangan seksual karena tidak lazim dilakukan. Bentuk penyimpangan seksual lain yang diatur pada pasal ini adalah homoseksual dan incest.

Pasal 85

(1) Yang dimaksud dengan 'penyimpangan seksual' adalah dorongan dan kepuasan seksual yang ditunjukan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:

a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.

b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.

c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.

d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.

Selanjutnya, di pasal 86 mengamanatkan pihak keluarga wajib melaporkan anggota keluarganya yang menyimpang secara seksual kepada pemerintah terkait agar segera mendapatkan rehabilitasi dan pengobatan.

Pasal 86:

Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota Keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

 

 

(Okti Nur Alifia)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya