Liputan6.com, Jakarta - Tren kasus Covid-19 di Indonesia tak kunjung menunjukkan tanda-tanda turun. Grafik terus menunjukkan peningkatan setiap harinya. Bahkan, dalam sepekan ini, yakni periode 22-29 September, kasus naik hingga naik 16,4 persen dengan Jawa Barat sebagai episentrumnya.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, Jabar mencatat penambahan sebanyak 1.726 pekan ini. Padahal, pekan sebelumnya hanya 594 kasus. Menyusul Jabar, di bawahnya ada 4 provinsi lain seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah.
"Ini adalah angka yang besar dan signifikan terhadap angka kasus positif nasional," ucap Wiku, Selasa (29/9/2020).
Advertisement
Juru Bicara Satuan Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jawa Barat Daud Achmad mengatakan, peningkatan kasus di Jabar karena ada data yang terlambat masuk. Meskipun tak dipungkiri, memang ada kenaikan.
"Saya lihat dari data Jabar dalam sepekan, ada data-data yang delay, khususnya wilayah Bodebek. Jadi kadang ada kasus yang dua minggu yang lalu baru masuk, itu cukup signifikan. Misal ada angka 746 kasus ternyata saat kita cek, delay-nya 400 kasus, dari Depok, Kabupaten Cirebon, seperti itu yang pernah kami temukan," ungkap Daud kepada Liputan6.com, Rabu (30/9/2020).
Selain itu, kenaikan ini dipengaruhi oleh tes Covid-19 yang masif. Sehingga konsekuensi yang didapat angka positif meningkat.
"Kalau kita tes cuma seminggu 10 ribu mungkin yang positif cuma 500. Tapi kalau seminggu 50 ribu, itu kan bisa 2.500," tutur Daud.
"Jadi faktornya juga dipengaruhi angka tes kita juga semakin banyak. Tes kita, tiga minggu terakhir ini tota 120.000 tes, tiga minggu ke depan kita usahakan standar WHO 50.000 per minggu," lanjut dia.
Daud menjelaskan, dibukanya sektor perekonomian juga membuat pergerakan atau mobilitas orang mulai bertambah dan menimbulkan kerumunan. Sehingga risiko penularan Covid-19 meningkat.
"Ekonomi mulai gerak, pergerakan orang mulai nambah. Artinya kalau pergerakan orang nambah, risiko Covid meningkat. Jadi orang bergerak dan berkerumun," ungkap Daud.
Dia menegaskan, pihaknya sudah berkoodinasi dengan pusat, terlebih dengan wilayah-wilayah tetangga seperti DKI Jakarta dan Tangerang. Karenanya, dia menuturkan salah satu yang diambil adalah pembatasan berskala mikro atau mini lockdown seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, dan pembatasan jam kerja.
"Ini menyangkut pembatasan skala mikro. Jadi ini salah satu upaya Jabar, khususnya Bodebek (Bogor Depok dan Bekasi). Dan kita lihat seminggu ke depan seperti apa," jelas Daud.
Selain itu, penerapan sanksi yang lebih tegas. Salah satu bentuknya, akan berbentuk Peraturan Daerah (Perda).
"Kalau Perda bisa jadi sanksi pidana. Nah ini upaya yang sesuai instruksi Presiden," kata Daud.
Peran aparat keamanan seperti TNI, Polri dalam mensosialisasikan protokol kesehatan juga menjadi fokusnya. Terlebih di restoran. Karena menurut tim Gubernur DKI, restoran memiliki potensi tinggi penularan, karena orang makan lepas masker.
"Makanya Pak Gubernur DKI mengharapkan agar Bodebek bisa ikut DKI, tidak dine in sementara," kata dia.
Menurut dia, semua opsi dipertimbangkan. Sehingga dalam seminggu ke depan akan dilihat lagi dan dievaluasi. Seperti kebijakan melakukan pembatasan waktu jam operasional hingga jam 18.00 WIB, dengan kapasitas 50%. Lalu meningkatkan patroli, sebagaimana arahan dari pemerintah pusat.
"Kapolda Metro, Kapolda Jabar bersama TNI untuk melakukan patroli ketat, terutama di daerah pinggiran Jakarta, Bekasi, Depok, termasuk Tangsel," tukas Daud.
Hal ini pun diamini oleh Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum. Bahwa selain memang ada tes Covid-19 yang masif, adanya mobilitas masyarakat setelah ditiadakan PSBB, membuat masyarakat lupa untuk mengindahkan protokol kesehatan Covid-19.
"Penyebabnya adalah adanya pergerakan masyarakat yang semakin menuju normal. Dibuktikan dengan jumlah kendaraan yang bergerak di beberapa kota, kemudian jumlah handphone yang bergerak, karena setiap orang memegang android karena bisa terpantau," kata Uu kepada Liputan6.com, Rabu (30/9/2020).
Meski demikian, dia mengklaim, sekarang ini sudah mengalami penurunan kasus Covid-19. Sehingga gas yang diinjak untuk perekonomian itu kembali direm.
"Alhamdulillah rem yang diinjak Pak Gubernur menurun lagi. Jadi sekarang sudah agak terkendali, sekarang sudah 1,03 (positivity rate). Kalau kemarin saat PSBB kita 0,60 (positivity rate)," jelas Uu.
Dia juga menuturkan, pihaknya juga akan mengetatkan aturan dengan Perda.
"Berarti dengan Perda ada sanksi yang lebih berat. Termasuk di dalamnya ada tipiring. Kalau sudah tipiring ini sudah bisa menggunakan aparat penegak hukum dalam penindakannya," kata Uu.
Dia pun menghimbau, selain kebijakan yang baik, penerapan disiplin yang tegas, juga meminta para ulama agama dan umat beragama untuk terus berdoa.
"Karena sehebat apapun kita ikhtiar duniawi, tanpa dibarengi ikhtiar doa belum sempurna," jelas Uu.
**Ingat #PesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bogor, Depok dan Bekasi Jadi Sorotan
Untuk memastikan penanganan Covid-19, khususnya di wilayah Bodebek (Bogor, Depok, Bekas) berjalan baik, Gubernur Jabar Ridwan Kamil atau akrab disapa Kang Emil berencana berkantor di kota Depok mulai pekan depan.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jabar ini menegaskan, memilih Bodebek, bukan hanya sekedar ingin berkoordinasi baik, tapi berdasarkan data yang dimilikinya, hampir 70 persen permasalahan corona ini disumbangkan di Bodebek.
"Maka atas arahan dari pemerintah pusat, fokus memang ada di Bodebek. Sehingga saya berkesempatan untuk melakukan berkegiatan lebih intensif di daerah-daerah yang zona merahnya tinggi, dan kebetulan ada Pilkada, sehingga memberikan semangat juga," kata Emil dalam konferensi pers melalui tayangan Youtube, Rabu (30/9/2020).
"Oleh karena itu, satu minggu sekali, sehari atau dua hari tergantung situasi saya akan banyak di daerah bodebek khususnya di Depok. Jadi itu adalah bagian komitmen atau gugus tugas untuk bisa secara aktif fokus di bodebek, dan saya putuskan di bodebeknya kami memantau dari Depok," ungkap dia.
Merujuk data yang dihimpun Gugus Tugas Jabar pada periode 21-27 September 2020, Kota Depok memiliki kasus positif terbanyak di antara daerah lain yakni 1.099 kasus.
Kemudian Kota Bekasi 962 kasus dan Kabupaten Bekasi 512 kasus. Sementara dari periode yang sama, Kota dan Kabupaten Bogor masing-masing melaporkan 228 kasus dan 465 kasus.
Melihat dari sisi keterisian tempat tidur di rumah sakit rujukan Covid-19 per 26 September lalu, 10 besar rumah sakit terbanyak merawat kasus Covid-19 juga didominasi asal Bodebek. Di Kota Depok, urgensi terkait ketersediaan ICU (Intensive Care Unit) dan HCU (High Care Unit) sebagai ruang perawatan pasien Covid-19 kriteria berat.
"Saya bekerja di mana, tinggal di mana tengah kami persiapkan. Jadi intinya ada pergeseran agenda Gubernur dalam satu hari minimal tidak ada di Bandung kami akan fokuskan sampai beberapa bulan ke depan," jelas Emil.
Dia berharap, dengan bisa berkoordinasi dengan baik, pihaknya bisa menekan Covid-19 di Jabar. Dan pindahnya berkantor ini bisa menyemangati para anggota lainnya.
Terlebih dia mengutarakan, bahwa banyak masyarakat Jabar yang melanggar protokol kesehatan, karena tak mengindahkan pemakaian masker. Emil berharap semuanya bisa bersdisiplin sambil menunggu vaksin.
"Mudah-mudahan rencana ini menyemangati gugus tugas Bodebek khususnya, agar sumbangan 70 persen itu bisa kita tekan sekecil-kecilnya," kata Emil.
"Kita fokuskan pengetesan di zona-zona di klaster baru. Intinya, bahwa dinamika naik turunnya Covid ini terus berlangsung oleh karena itu permintaan kami dan harapan kami hanya satu, mohon disiplin sambil menunggu vaksin. Mari disiplin sambil menunggu vaksin," lanjut dia.
Selain itu, menurut dia, ada beberapa klaster baru yang muncul. Sehingga perlu ditangani serius."Dalam isu lain sedang mengemuka klaster pesantren ada di Kuningan, ada di Tasikmalaya," tutur Emil.
Sementara, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, peningkatan Covid-19 di Bogor erat hubungannya dengan klaster luar kota dan klaster perkantoran."Banyak warga Bogor yang terkonfirmasi Covid-19 pada klaster keluarga karena anggota keluarganya bekerja di luar kota dan di perkantoran," kata Bima.
Menurut dia, sebagian besar kasus keluarga tersebut terpapar dari anggotanya yang bekerja di luar kota atau berkunjung ke luar kota. "Anak-anak yang terpapar Covid-19 sebagian besar adalah anak-anak yang tidak ke luar rumah," jelad dia,
Karena itu, kata Bima, pada perpanjangan PSBMK hingga 13 Oktober mendatang, prioritasnya adalah akan memperketat pengawasan protokol kesehatan di perkantoran.
Dia juga menyatakan, dirinya segera membuat surat edaran ke semua perkantoran di Kota Bogor untuk menerapkan pola kerja maksimal 50 persen bekerja di kantor, selebihnya dari rumah. Perkantoran, juga wajib membentuk Satgas Covid-19 di tingkat kantornya. "Satgas ini juga operasional menjadi bagian dari pengawasan Forkopimda," kata Bima.
Untuk menekan penyebaran virus Covid-19 dan meningkatkan disiplin masyarakat terhadap protokol kesehatan, Satpol PP Jabar akan melaksanakan Operasi Patroli Edukasi Masker di Lembur (SIPELEM) dengan mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat dan menjelaskan secara komprehensif Pergub Jabar Nomor 60 Tahun 2020.
Pergub Nomor 60 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Tertib Kesehatan Dalam Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Penanggulangan Covid-19.
"Sejauh ini Satpol PP Kabupaten Sumedang, Kota Bogor, dan Kota Depok, sangat intensif dalam melakukan operasi. Operasi digelar tiap hari. Mereka juga sudah menerapkan sanksi berat (terhadap pelanggar)," ucap Ade.
Sanksi administratif sendiri diterapkan secara bertahap, yakni sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan terdiri atas teguran lisan dan teguran tulisan. Sanksi sedang meliputi jaminan kartu identitas, kerja sosial, dan pengumunan secara terbuka.
Sedangkan sanksi berat berupa denda administratif, penghentian sementara kegiatan, penghentian tetap kegiatan, pembekuan izin usaha sampai rekomendasi pencabutan izin usaha.
Ade berharap, dengan adanya regulasi dan masifnya operasi penegakan, kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan meningkat. Sebab, kesadaran dan kedisiplinan masyarakat amat penting dalam pencegahan penularan Covid-19.
"Jangan karena ada regulasi, masyarakat patuh menerapkan protokol kesehatan. Masyarakat harus sadar betapa pentingnya protokol kesehatan bagi diri sendiri, keluarga, dan rekan terdekat, di tengah pandemi Covid-19,” jelas Ade.
Advertisement
Eforia Sosial yang Salah
Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi Sugandi memandang, apa yang dilakukan oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil sejauh ini bagus, sampai akhirnya pada saat penerapan masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
"Di sini ada timbul euforia sosial. Ini menyebabkan orang keluar secara sosial. Jadi orang menganggap ini bukan AKB, tapi kayak normal saja. Padahal kan seharusnya peraturannya kan aturan baru," kata Yogi kepada Liputan6.com, Rabu (30/9/2020).
Dia menegaskan, semua kebijakan yang dilahirkan Pemprov Jabar sudah baik, tinggal bagaimana implementasinya saja. Terlebih banyak masyarakat yang masih tidak disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
"Jadi implementasinya ini tidak tegas dan tidak disiplin. Kenapa? kalau saya lihat ini masalah di masyarakatnya Oleh karena itu sebetulnya, harus ada aparat penegak kedisiplinan, dalam hal ini bisa polisi, tentara yang bisa ikut dalam menegakkan kedisiplinan," ungkap Yogi.
Karena itu, dia memandang dalam penanganan Covid-19 di Jabar, bukan peran pemerintah sipil saja diminta untuk menekan Covid-19 ke masyarakat. Tapi juga harus ada andil dari peran aparat keamanan. Bahkan, Yogi setuju jika preman dilibatkan dalam menegakkan disiplin protokol kesehatan Covid-19.
"Bahkan saya setuju seperti ini. Ada kearifan lokal di kita yang preman itu kan. Saya setuju dengan preman itu dilibatkan. Itu kan menurut saya, konteksnya bukan ada pungli dan sebagainya, tapi itu kearifan lokal kita. Masyarakat kita lebih takut sama preman kan dibanding polisi," kata Yogi.
Selain itu, menurut dia, sebenarnya untuk Wilayah Jabar itu lebih mudah mengendalikannya, tidak seperti di Jakarta. Karena semua keanikan yang dirasakan oleh Jabar adalah limpahan dari DKI Jakarta. Sehingga wilayah ibukota yang perlu diselesaikan penanganannya.
"Karena kan kalau kita bicara tentang Jabar, itu kan klaster tertinggi 70 persen kan di Bogor, Depok, Bekasi kan. Itu limpahan dari mana? dari Jakarta. Itu yang mestinya harus diselesaikan, tutup Yogi.
Sementara itu, Anggota Divisi Perencanaan Riset dan Epidemiologi pada Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jawa Barat, dr Bony Wiem Lestari memandang, jika ada sebuah kenaikan maka harus dilihat lagi laju infeksi atau positif ratenya, dan kemudian kelengkapan data itu sendiri.
"Jadi hal-hal seperti itu harus dianalisis dulu. Apakah kita cukup yakin, apakah memang ini efek dari peningkatan kasus atau hutang pelaporan yang belum selesai. Jadi peningkatan kita lihat harusnya di sebelum-sebelumnya. Bukan sekarang," kata dr Bony Kepada Liputan6.com, Rabu (30/9/2020).
Karena itu, dia menyarankan cara mengendalikan Covid-19 ini tentu harus melakukan intervensi ke masyarakat, khususnya dalam penegakan disiplin protokol kesehatan. "Bagaimana kita meningkatkan test, tracking, dan treatment dan ini jalannya bersamaan, enggak bisa fokus di 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan) saja atau 3T (testing, tracing, dan treatment) saja," jelas dr Bony.
Dia juga melihat perlu juga ada penutupan sejumlah tempat. Seperti pesantren jangan buka dulu, pasanya banyak santri dan banyak berinteraksi. Bahkan ini pun sudah terbukti. "Ini kita lihat ada di Kabupaten Kuningan, Tasik, jadi menurut saya ini kan ranah pencegahan," tutur dr Bony.
Dia menegaskan sekali lagi, jika memang ingin mencegah Covid-19, masyarakat betul-betul harus disiplin protokol kesehatannya atau serius dalam menerapkan 3 M, dan kebijakan pemerintah harus juga mengarah ke 3T.
"Melakukan kebijakan yang mengarah 3T, perlu dilakukan simultan dengan 3M. Tapi kalau sekarang, dari sisi saya epidemiolog, menyarankan seperti begini. Sedangkan di sisi lain pengambil kebijakan punya pertimbangan lain. Sehingga efeknya kebalikannya, contohnya pesantren kemarin itu," ungkap dr Bony.
"Akhirnya kasus jadi booming lagi jadi kontradiktif, kita berusaha menekan laju kasus, sisi lain kebijakan tak mendukung," tukas dia.