Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap tujuh fenomena tindak pidana korupsi yang telah ditangani lembaga antirasuah ini selama 2020.
Fenomena pertama, bahwa kejahatan tindak pidana korupsi hampir merata terjadi dari Sabang sampai Merauke.
Baca Juga
"Tidak membedakan partai, tidak kemudian partai A suci sementara partai lain yang khilaf, tidak. Ternyata hampir sama, tidak membedakan suku bangsa dan agama pelakunya itu," ucap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui saluran Youtube KPK, Rabu (18/11/2020) dilansir Antara.Â
Advertisement
Fenomena kedua, menurut Ghufron, bahwa pelakunya relatif sama, yaitu berasal dari unsur swasta, kepala daerah, anggota dewan, dan pejabat pusat maupun daerah.
"Kemudian dari locus-nya, locus yang terjadi hampir sama, yaitu suap di pengadaan barang/jasa, suap di perizinan dan sumber daya manusia. Fokus pada tiga hal ini, lainnya tersebar merata," ujar Ghufron saat menjadi pembicara dalam acara Anti-Corruption Summit (ACS) ke-4 Tahun 2020.
Fenomena keempat, terkait modus dalam tindak pidana korupsi, yakni suap sebanyak 66 persen dan pemerasan dan gratifikasi 22 persen.
"Metodenya juga hampir sama, yaitu pakai cash, transfer rekening ataupun bisa juga dengan mata uang asing. Ada yang bahkan kemudian untuk suap tingkat tinggi itu bisa dilaksanakan di luar negeri tidak di Indonesia supaya tidak terendus oleh KPK ataupun aparat penegak hukum lain di Indonesia," tuturnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pelaku Korupsi dari Kaum Milenial
Kemudian fenomena kelima dilihat dari tingkat pendidikan pelakunya. 64 persen adalah sarjana.
"Ternyata harapannya berpendidikan itu kian berkarakter kian berintegritas, ternyata pelakunya 64 persen adalah sarjana, graduate, bukan tidak berpendidikan," ungkap dia.
Para pelaku korupsi tersebut, lanjut Ghufron, bahkan datang dari kaum milenial.
"Tidak hanya kaum pejabat tua tetapi juga ternyata kaum milenial ada yang masih 29 (tahun), 32 (tahun), dan lain-lain," kata Ghufron.
Fenomena terakhir, ia menyatakan, tingkat demokrasi Indonesia relatif baik, namun yang terjadi tingkat korupsinya juga masih tinggi.
"Ini yang menjadi fenomena anomali, mestinya kian demokratis kian transparan maka korupsinya harapannya rendah, Indonesia dinobatkan sebagai negara kelima terbaik demokrasinya tetapi ternyata tingkat korupsinya masih tinggi," katanya.
Advertisement