KPK Kecewa MA Sunat Pidana Koruptor dengan Alasan Kedermawanan

MA memotong masa hukuman Fahmi Darmawansyah terkait pemberian mobil terhadap eks Kalapas Sukamiskin Wahid Husen.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 09 Des 2020, 09:22 WIB
Diterbitkan 09 Des 2020, 09:21 WIB
KPK Tahan Lima Tersangka Kasus Proyek Fiktif Waskita Karya
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memberikan keterangan terkait penahanan lima tersangka kasus dugaan korupsi terkait proyek fiktif di PT Waskita Karya, di Jakarta, Kamis (23/7/2020). Mereka yakni, Desi Arryani, Jarot Subana, Fakih Usman, Fathor Rachman dan Yuly Ariandi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kecewa dengan sikap Mahkamah Agung (MA) yang menyunat masa hukuman terpidana korupsi Fahmi Darmawansyah. MA menyunat vonis Fahmi lantaran menganggap pemberian hadiah dari suami aktris Inneke Koesherawati itu bagian dari sifat kedermawanan.

"Sekalipun putusan hakim haruslah tetap kita hormati, namun di tengah publik yang saat ini sedang bersemangat dalam upaya pembebasan negeri ini dari korupsi, penggunaan terminologi kedermawanan dalam putusan tersebut mengaburkan esensi makna dari sifat kedermawanan itu sendiri," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (9/12/2020).

Ali menegaskan, apapun alasannya, pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara dengan maksud dan tujuan tertentu adalah perbuatan tercela. Termasuk pemberian mobil dari Fahmi kepada Wahid Husein yang saat itu merupakan Kalapas Sukamiskin.

"Pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara ataupun pegawai negeri karena kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki si penerima, sedangkan si pemberi ada kepentingan di baliknya tentu itu perbuatan tercela," kata Ali.

Ali mengatakan, dalam UU Nomor 31 Tahun 2002, pemberian sesuatu kepada pejabat atau penyelenggara negara itu masuk dalam kategori suap atau gratifikasi yang jelas ada ancaman pidana di dalamnya.

"Bahkan dalam kontek penegakan hukum, hal tersebut dapat masuk kategori suap, atau setidaknya bagian dari gratifikasi yang tentu ada ancaman pidananya," kata Ali.

Diberitakan sebelumnya, usaha Fahmi Darmawansyah melakukan langkah hukum peninjauan kembali (PK) dikabulkan Mahkamah Agung. Hasilnya, masa tahanan 3 tahun 6 bulan disunat menjadi 1 tahun 6 bulan.

Majelis Hakim Agung, pengadil PK ini terdiri dari Salman Luthan, Abdul Latif dan Sofyan Sitompul. Putusan ketiganya, resmi berlaku sejak 21 Juli 2020, tertuang dalam amar putusan dan pertimbangannya tertulis dalam salinan putusan PK Nomor: 237 PK/Pid.Sus/2020 atas nama Fahmi Darmawansyah, seperti dilihat Liputan6.com, Selasa (8/12/2020).

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Alasan Kedermawanan

20170131-Suami-Inneke-Koesherawati-Jakarta-HA
Tersangka Fahmi Darmawansyah tertunduk lesu usai menjalani pemeriksaan di KPK, Jakarta, Selasa (31/1). Direktur Utama PT. MTI tersebut diperiksa sebagai tersangka kasus suap proyek pengadaan alat satelit monitoring di Bakamla. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Alasan sunat masa tahanan diberikan, sebab Fahmi dinilai tidak memiliki niat jahat atau keuntungan, usai memberikan satu unit mobil Mitsubishi Triton warna hitam dengan seharga Rp 427 juta yang diterima Wahid Husen, selaku kepala lapas Sukamiskin saat itu.

"Sesuai fakta persidangan, Pemohon Peninjauan Kembali (Fahmi) menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Pemohon melainkan karena sifat kedermawanan pemohon," tulis pertimbangan dalam amar putusan.

"Dengan kata lain, tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Fahmi dengan kewajiban Wahid selaku Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya," imbuh putusan.

Diketahui, menurut vonis pengadilan, selain mobil, Fahmi juga telah memberikan uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas Louis Vuitton untuk Wahid Husen, sepasang sandal merek Kenzo untuk istri Wahid Husen, yang seluruhnya bernilai Rp 39,5 juta.

"Terpidana tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, putusan judex facti aquo (PN Bandung) telah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat khususnya Pemohon/Terpidana (Fahmi)," tandas amar tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya