Â
Liputan6.com, Jakarta - 22 Desember 1930 sekitar pukul 09.00 WIB menjadi salah satu momentum bersejarah bagi perjuangan rakyat Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Hari itu, 90 tahun silam, Sukarno atau Bung Karno divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Lanraad Bandung.
Bung Karno bersama kawan-kawannya Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, dan Supriadinata dinilai hakim terbukti bersalah melakukan pelanggaran dalam Pasal 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menyalahi Pasal 161, 171, dan 153.
Advertisement
Pasal tersebut kerap kali digunakan Pemerintah Belanda untuk menjebloskan para pejuang ke penjara melalui proses hukum. Ancaman maksimal hukuman pasal tersebut yakni 7 tahun pidana penjara.
Sukarno dan kawan-kawannya dituduh membuat perkumpulan dan pergerakan yang membahayakan pemerintahan Belanda di Tanah Air. Belanda juga menyeret Bung Karno ke penjara lantaran pemikirannya dianggap membahayakan bagi kekuasaan mereka di Indonesia.
Sebelum divonis bersalah, Bung Karno terlebih dahulu membacakan pleidoi atau nota pembelaan dengan judul 'Indonesia Menggugat'. Pleidoi tersebut ditulis Bung Karno di penjara Banceuy, Bandung yang berukuran kurang lebih 2x1,5 meter.
Bung Karno menulis pleidoi itu di kamar nomor 5 yang terletak di Blok F. Kepada Cindy Adams, seorang jurnalis New York Post, Sukarno menceritakan kamar penjaranya itu sangat sempit dan gelap. Tak ada jendela atau jeruji untuk sekedar melihat luar.
"Tempat itu gelap, lembab, dan sumpek. Sesungguhnya, aku diam-diam telah seribu kali membayangkan sebelumnya mengenai ini semua. Tetapi ketika pintu berat itu mengurungku untuk pertama kali, rasanya aku mau mati. Ini pengalaman yang meremukkan," kata Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007).
Vonis 4 tahun terhadap Bung Karno tidak serta merta terjadi begitu saja. Semua bermula pada keputusan Bung Karno untuk menempuh pendidikan di Bandung.
Tahun 1921, Bung Karno kuliah di Technische Hogeschool te Bandoeng atau sekarang disebut Institut Teknik Bandung (ITB). Saat masih kuliah, Sukarno muda aktif dalam dunia politik menentang pemerintah kolonial Belanda.
Ia bersama kawan-kawannya kerap mengadakan diskusi di rumah kos milik pasangan Haji Sanusi dan Inggit Garnasih. Inggit kelak dipersunting Sukarno menjadi istrinya.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dirikan Partai Politik
Selepas lulus dan dinobatkan menjadi insinyur ITB, Bung Karno menyatakan siap untuk membentuk partai. "Waktunya telah tiba bagiku untuk mendirikan partai sendiri,'' kata Bung Karno.
4 Juli 1927 menjadi momen pendirian partai yang dibangun Bung Karno. Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Saat itu Bung Karno sempat menyatakan bahwa dirinya dan rakyat Indonesia telah siap. Tak akan ada yang menahan dirinya dan rakyat kecuali pemerintah kolonial Belanda.
Gagasan mendirikan partai bermula dari pembicaraan Bung Karno dengan Budiarto - salah seorang aktivis Perhimpunan Indonesia yang baru pulang ke Tanah Air. Gagasan itu didukung pula oleh sejumlah tokoh nasionalis, seperti Iskaq Cokroadisuryo, Sunario, dan dr Cipto Mangunkusumo.
Cipto Mangunkusumo sendiri sempat tak setuju soal pembentukan partai. Cipto Mangunkusumo menilai Belanda akan memandang partai yang baru ini akan menjadi pengganti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah dilarang.
Pembentukan partai dilakukan di rumah Iskaq di kawasan Regentsweg, Bandung. Sebagai ketua dipilih Sukarno dan sekretaris merangkap bendahara ditunjuk Iskaq Cokroadisuryo. Dalam jajaran pengurus PNI tercatat Budiarto, Sunario, Anwari, Sanusi, dan Sartono.
Partai yang didirikan Bung Karno ini aktif mendidik rakyat dengan memberikan kuliah-kuliah politik untuk membangkitkan kesadaran tentang bahaya kolonialisme dan pentingnya kemerdekaan. Kegiatan ini tentu saja menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda. Sejak saat itu, Bung Karno dan kawan-kawannya mulai diawasi ketat oleh Belanda.
Buntutnya, pada Desember 1929, saat dia dan koleganya mengadakan serangkaian rapat umum di Solo dan Yogyakarta, pemerintah Belanda menggelar operasi besar-besaran dengan menangkap para aktivis yang dituduh hendak melakukan makar. Untuk membuat jera, Belanda membuang para aktivis ini ke Boven Digul, kamp neraka di jantung Papua.
Berdasarkan penuturan Her Suganda dalam bukunya Jejak Soekarno di Bandung (2015), Bung Karno dijemput paksa pemerintah Belanda saat tengah melakukan kampanye PNI di Yogyakarta. Para petugas penjemputan paksa menculik Bung Karno dan kedua rekannya.
Seorang inspektur dengan 50 pasukan sempat mengatakan 'Atas nama Sri Ratu, saya menahan tuan'.
Kemudian tentara Belanda dengan 50 pasukan itu menyeret Bung Karno dan dua kolegaya untuk naik kereta di pagi buta dengan gerbong tertutup tanpa celah. Penculikan Bung Karno di pagi itu membawanya hingga Stasiun Cicalengka. Dengan menggunakan mobil, Bung Karno, Gatot, dan Maskoen dibawa berkendara hingga tiba di penjara Banceuy dalam keadaan lunglai.
"Perjalanan itu tidak lama. Kami hampir tidak punya waktu untuk merasakan tubuh yang gemetaran ketika sampai di rumah kami yang baru. Pada papan namanya tertulis: Rumah Penjara Banceuy," kenang Sukarno.
Penjara tersebut dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1887 di daerah yang dulunya bernama Kampung Banceuy. Penjara Banceuy dikenal sebagai penjara yang seram lantaran digunakan untuk menahan para pelaku kriminal seperti rampok, begal, atau maling.
Ketika sampai, mereka disambut sang direktur penjara yang telah menempatkan satu regu tentara KNIL atau Tentara Hindia Belanda bersenjata lengkap dipimpin oleh seorang sersan. Saat itu, penjara Banceuy telah dipenuhi para penggerak dan pengikut PNI yang turut ditangkap dalam razia besar-besaran. Di antaranya adalah Marwoto, Suka, Subagio, hingga Ishaq Tjokrohadisurjo.
Karena situasi semakin ramai, maka Sukarno dan kedua rekannya yang ditangkap di Yogyakarta dipindahkan ke dalam satu bangunan. Di sana, sel mereka bersebelahan. Sukarno menempati sel nomor 5, Gatot nomor 7, sementara Maskoen di sel 9. Pintunya terbuat dari besi tebal, dan di dalamnya hanya terdapat tempat tidur lipat dari besi beralaskan jerami yang dilapisi tikar.
"Begitu aku masuk, rambutku dipotong pendek sampai hampir gundul dan aku disuruh memakai seragam tahanan berwarna biru dengan nomor di punggungnya," kata Sukarno masih dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007).
Â
Advertisement
Habiskan Sisa Hukuman di Lapas Sukamiskin
Setelah 8 bulan ditahan di Banceuy, perkara Bung Karno dan kawan-kawannya dibawa ke Pengadilan Lanraad Bandung pada 18 Agustus 1930. Sebelum akhirnya divonis penjara 4 tahun, Bung Karno sempat membacakan nota pembelaan dengan judul Indonesia Klaagt Aan atau "Indonesia Menggugat".
Indonesia Menggugat ditulis Bung Karno selama satu setengah bulan di dalam penjara. Kertas dan tinta dia dapat dari Inggit Ganarsih. Sukarno menulisnya beralaskan kaleng tempat kencing dan buang hajat yang terlebih dulu ia bersihkan.
Setiap malam, ia menulis pembelaannya sambil duduk tegak dan kaki bersila. Pleidoi itu kemudian menjadi salah satu teks berpengaruh dalam sejarah politik di Indonesia.
"Pekerjaan ini benar-benar meremukkan tulang punggung," kata Sukarno.
Isi pidato Indonesia Menggugat adalah tentang keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah. Pidato pembelaan ini kemudian menjadi suatu dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.
Proses persidangan terhadap Bung Karno sendiri berjalan selama 19 kali. Perkara tersebut sempat naik banding ke Rand Van Justitie. Namun Pengadilan Tinggi ini tetap berpegang teguh dengan hukuman 4 tahun pidana penjara terhadap Bung Karno.
Usai divonis 4 tahun, Bung Karno dipindahkan ke Lapas Sukamiskin Bandung. Dia menghabiskan sisa masa pidananya di kamar berukuran kurang lebih 3,2 x 2,5 meter yang berada di ujung lorong gedung.
Meski hakim mengganjarnya hukuman 4 tahun penjara, berkat pembelaan 'Indonesia Menggugat' serta menjadi sasaran protes dan kritik dari ahli hukum negeri Belanda karena peradilan yang dilakukan tidak berdasar dan semua tuduhan tak pernah bisa dibuktikan di persidangan, maka Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengubah masa hukuman Bung Karno menjadi 2 tahun. Bung Karno pun bebas pada 31 Desember 1931.