Liputan6.com, Jakarta - Mantan Aktivis 98, Usman Hamid menyatakan bahwa tekanan terhadap gerakan mahasiswa dewasa ini mirip seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Sebelumnya, jajaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) harus dipanggil oleh rektorat dan peretasan akun media sosial mereka buntut postingan soal Jokowi: The King of Lip Service.
"Situasi hari ini mirip pada awal 1970-an ketika pemerintahan Orde Baru panik karena oposisi berbasis kampus mulai muncul setelah sebelumnya diberangus militer dengan dalih melawan ancaman ideologi tertentu, yaitu komunisme. Mirip dengan sekarang karena memang mulai muncul oposisi berbasis kampus khususnya mahasiswa," jelas Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu saat dihubungi Liputan6.com, Senin (28/6/2021).
Hal itu mirip karena pada awal 1970-an, lanjut Usman karena sikap pemerintah yang melemahkan kehidupan politik, merangkul investasi asing, dan menjalin hubungan dekat dengan oligarki pengusaha kaya, baik asing maupun domestik, mulai menuai kritik baik dari beberapa mantan pendukung pemerintah. Ditambah dengan adanya oposisi dari generasi baru, yakni mahasiswa.
Advertisement
Usman menerangkan, kendati banyak tekanan terhadap gerakan mahasiswa, namun dulu banyak pula pimpinan kampus yang justru turun bersolidaritas. Bukan malah ikut membela kekuasaan.
"Tapi dulu banyak pimpinan kampus yang berani turun bersolidaritas pada mahasiswa dan mereka tidak memiliki kepentingan yang berbenturan, misalnya karena pimpinan kampus yang menjadi komisaris BUMN," ucap Usman.
Pembelaan petinggi kampus pada gerakan mahasiswa bukan tanpa konsekuensi. Usman mengungkapkan bahwa pada masa itu rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) sampai-sampai mendapat teror lantaran bersolidaritas dengan gerakan mahasiswa. Bukan hanya ITB, pada 1974, Rektor UI Prof Mahar Mardjono juga turut bersolidaritas terhadap gerakan mahasiswa dengan membela mahasiswa ketika dipanggil jajaran keamanan.
"Di Trisakti, kami punya Adi Andojo, dekan yang dikenal karena integritas moral yang tinggi. Meskipun menjadi hakim, ia adalah sosok pemberani yang menemani mahasiswa bahkan ikut turun ke jalan untuk memerankan kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan," kenang Usman.
Dua gerakan protes kampus utama muncul masing-masing pada tahun 1973-74 dan 1977-78. Heri Achmadi, dan kawan-kawan, kata Usman dijerat dengan pasal penghinaan presiden. Saat itu kampus dilarang untuk bicara politik.
"Bahkan pemerintah melanjutkannya pada masa 1980-an dengan memberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) dan memaksa semua komponen organisasi sosial kemasyarakatan untuk bersikap jinak pada pemerintah yang ketika itu memakai Pancasila.
Saat itu, menurut Usman ideologi negara seperti Pancasila disalahgunakan sebagai alat penjinakan dengan kooptasi atau penundukan dengan represi.
"Kooptasi itu termasuk bentuk-bentuk pemberian insentif jabatan-jabatan tertentu. Dengan kata lain, mahasiswa ditekan dengan ancaman kriminalisasi dan intimidasi sementara sejumlah pimpinan kampus dijinakkan dengan komisarisasi dan korporatisasi," tandasnya.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tekanan terhadap BEM UI
Sebelumnya, unggahan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) soal meme Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menyebut "Jokowi: King of Lip Service" berbuntut pemanggilan jajaran BEM Kampus Kuning itu oleh pihak rektorat.
Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra mengatakan, dalam pemanggilan pada Minggu petang, 27 Juni 2021 itu, pihaknya ditanya oleh rektorat apakah bisa menghapus postingan meme soal Jokowi tersebut.
"Kemudian pihak rektorat juga bertanya, apakah bisa postingan tersebut takedown? Kami menyatakan tidak mungkin atau tidak bisa," ujar Leon kepada Liputan6.com, Senin (28/6/2021).
Menurut Leon, pihak kampus tak menjelaskan alasan ihwal permintaan untuk menurunkan postingan tersebut. Setelah itu, pihak rektorat menjelaskan ke jajaran BEM UI bakal membahas hasil pertemuan itu ke level atas.
"Kemudian pihak rektorat menyampaikan bahwa akan membahas hasil klarifikasi dari kami kepada tingkat universitas," ujar dia.
Selain ditanya soal itu, di sana Leon dan rekannya juga diminta untuk mengklarifikasi maksud dan tujuan meme tersebut. Di hadapan pihak rektorat, Leon menerangkan bahwa maksud unggahan itu adalah untuk mengkritik ucapan Jokowi supaya bisa seiring dengan kebijakannya.
"Kami jelaskan tujuan kami itu untuk mengkritik agar Pak Jokowi bisa memastikan bahwa pernyataan-pernyataan beliau sesuai dengan realita di lapangan pada pelaksanaannya," ujar Leon.
Advertisement