Liputan6.com, Jakarta - Hampir empat tahun, Yandry Pamangin bertugas sebagai dokter muda di salah satu puskesmas di Kabupaten Yalimo, Papua. Puskesmas Elelim menjadi lokasinya bertugas setiap harinya. Jarak rumah dinas dengan puskesmas masih dalam satu kompleks yang sama.
Lokasi Kabupaten Yalimo berada di pegunungan tengah Papua, sedangkan Elelim merupakan pusat kota.
Baca Juga
Biasanya, Yandry hanya perlu berjalan kaki untuk bertemu para pasien yang siap untuk diperiksa. Dalam sehari, hampir 100 pasien mengantre di Puskesmas Elelim. Hal ini karena warga berbondong-bondong turun gunung untuk berobat.
Advertisement
Namun, pascakerusuhan Juni 2021 lalu, jumlah pasien menurun drastis. Banyak warga memilih tinggal di rumah dan tidak berani datang ke puskesmas untuk berobat.
Jumlah dokter yang bertugas di Puskesmas Elelim tak banyak. Yandry Pamangin menjadi satu-satunya dokter umum dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT). Lalu ada tiga dokter lainnya dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Saat ini, sebagian warga juga masih mengungsi ke daerah yang lebih aman, misalnya di Wamena ataupun Jayapura. Sejumlah petugas kesehatan yang bertugas di Puskesmas Elelim juga ada yang memilih mengungsi.
"Kalau ini setelah kerusuhan tidak terlalu banyak, kadang 20 saja kadang lebih, kadang kurang jumlahnya," kata Yandry saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (26/9/2021).
Hanya beberapa petugas kesehatan yang masih bertahan. Awalnya hanya pelayanan emergency atau darurat saja yang buka. Tapi, pasien dengan semua keluhan kesehatan pun tetap diterima dan dilayani. Tak hanya ke puskesmas, beberapa warga seringkali mendatangi Yandry di rumah dinasnya.
Untuk warga yang berhalangan datang dengan penyakit serius, Yandry memilih mendatangi pasien ke masing-masing rumah. Dalam sehari bisa dua sampai tiga rumah warga yang didatanginya. Bahkan pernah hingga 10 rumah dalam satu hari.
Suntikan Semangat
Jarak lokasinya pun berbeda-beda, mulai dari 10-15 kilometer. Jalanan yang dilalui pun tak sama, dari jalan yang belum beraspal hingga letak rumah warga di atas pegunungan. Biasanya dokter berusia 32 tahun itu harus mengendarai motor trail untuk menuju rumah warga.
Tas yang berisi berbagai obat-obatan dan peralatan pemeriksaan menemaninya ke rumah-rumah warga. Keluhan warga pun bervariasi mulai dari batuk, diare, ISPA, hingga pneumonia. Untuk obat pasien HIV/AIDS yang lokasinya jauh dari puskesmas pun diantarkan Yandry.
Selain melihat perkembangan pasien, kedatangannya untuk mengingatkan dan memberikan suntikan semangat kepada warga yang melakukan pengobatan rutin. Sebab pasien tidak diperbolehkan untuk berhenti dari pengobatan atau terapi obat tanpa rekomendasi dokter.
Biasanya para pasien langsung diberikan obat untuk kurun waktu dua hingga tiga bulan sekaligus. Langkah tersebut sebagai bentuk antisipasi berhentinya pengobatan yang dilakukan pasien.
Yandry menyebut terdapat banyak kendala yang dialami warga untuk pengobatan di puskesmas. Mulai dari akses ataupun jarak yang terlalu jauh, hingga biaya yang harus dikeluarkan warga.
"Terutama pasien-pasien HIV, jadi kami berikan obat ke rumah lihat kondisinya lagi begitu. Karena mereka juga kan takut ini, situasi keamanan ini selain orang pendatang orang asli juga takut, penduduk yang asli juga mereka ketakutan karena lihat kemarin yang kebakaran itu," ucap Yandry.
Advertisement
Lokasi Konflik
Dokter lulusan Universitas Cenderawasih pada 2016 mengakui, lokasinya bertugas merupakan wilayah konflik. Rasa takut akan kerusuhan kadangkala menghantui Yandry. Namun, tanggung jawab untuk pelayanan kesehatan kepada warga menjadi prioritasnya sebagai dokter.
Dia mengatakan, walaupun lokasi tugas di wilayah konflik, selama ini dia merasa aman. Sebab, warga sekitar menghomati tenaga kesehatan.
Yandry menuturkan, awal bertugas di Yalimo pada April 2018, langsung melakukan sejumlah adaptasi dengan warga sekitar. Dia juga membaur dan bergaul dengan warga dari semua kalangan.
Bahasa keseharian warga Yalimo pun langsung dipelajari Yandry. Itu merupakan modal awal untuk mendekatkan diri di masyarakat. Papua memang dikenal dengan banyak bahasa daerahnya.
"Kalau awal-awal memang ada kendala bahasa tapi saya langsung (beradaptasi). Pertama datang saya ketemui orang asli, sini saya tanya-tanya bahasa umum yang sering dipakai, dia terjemahkan saya catat," ujar dia.
Yakinkan Warga Mau Vaksinasi Covid-19
Selain bertugas sebagai dokter umum, Yandry juga menjadi koordinator atau penanggungjawab vaksinasi Covid-19 di Distrik Elelim. Meyakinkan masyarakat untuk ikut serta untuk program vaksinasi menjadi tantangan tersendiri bagi Yandry.
Sebab sebagian masyarakat masih enggan dan takut untuk vaksinasi. Berita tidak benar atau hoaks mengenai vaksin cepat menyebar di masyarakat.
"Paling tantangannya saya di situ, masyarakat masih banyak yang menolak karena ya itu dapat semacam berita hoaks lah dari yang satu sambungkan, sambungkan itu mereka (jadi) tidak mau (vaksin)," paparnya.
Pascakerusuhan, vaksinasi Covid-19 diberhentikan sementara. Sejumlah petugas dan masyarakat masih mengungsi. Biasanya vaksinasi dilakukan di instansi pemerintah. Mulai dari Polres, Koramil, atau pun gedung milik Pemda.
"Selanjutnya kami poskonya di kantor Dinas Kesehatan. Karena kami penyimpanan vaksin di bawah jadi semua di situ. Yang mau datang kami layani di situ," tandas Yandry.
Advertisement