Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tarif baru tiket masuk di Candi Borobudur untuk wisawatan domestik sebesar Rp750 ribu, sedangkan wisatawan mancanegara senilai 100 dolar AS.
Terkait hal tersebut, Anggota Komisi II DPR Prasetyo Hadi mengatakan, kenaikan tarif itu sangat membebani perekonomian rakyat. Keputusan itu juga dinilai tidak sejalan dengan prinsip pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi nasional.
Advertisement
Baca Juga
"Sebaiknya pemerintah meninjau ulang rencana menaikan tarif wisata ke area Candi Borobudur. Selain karena kenaikan harga yang sangat membebani wisatawan, kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19," kata dia dalam keterangannya, Minggu (5/6/2022).
Politikus Gerindra ini mengingatkan, kondisi perekonomian rakyat saat ini sedang berupaya pulih dan bangkit dari keterpurukan.
"Sehingga tidak tepat apabila ada kebijakan yang justru dapat menghambat kehendak-kehendak itu," ungkap Hadi.
Menurut dia, kurang tepat apabila kenaikan tarif wisata Candi Borobudur sebagai upaya menjaga kelestarian situs bersejarah ini. Hadi menuturkan, ada cara-cara yang lebih logis untuk menjaga kedisiplinan turis selama berada di area wisata agar kelestarian candi tetap terjaga dengan baik.
"Kurang tepat apabila Pak Luhut menilai kenaikan harga ini sebagai langkah pelestarian candi. Ada cara-cara yang lebih logis untuk menjamin kelestarian candi, misalnya melalui edukasi dan komitmen menjaga sikap disiplin dan tidak melanggar aturan selama berada di area candi yang tertulis di setiap lembar tiket," ungkapnya.
"Dan apabila terbukti melanggar, maka hukumannya berupa denda atau sanksi sosial lainnya. Menurut saya itu lebih dapat diterima publik dan tidak membebani rakyat," sambungnya.
Â
Membuat Kurang Diminati
Hadi juga menuturkan, ini akan membebani rakyat dan menurunkan antusiasme para wisawatan untuk berkunjung.
Serta dapat mempengaruhi penurunan pendapatan sektor ekonomi UMKM yang ada di sekitar Borobudur.
"Kebijakan ini dapat menyebabkan berkurangnya antusiasme masyarakat ke Borobudur, dan sudah pasti banyak sektor ekonomi rakyat terganggu. Kami berharap pemerintah meninjau ulang kenaikan tarif wisata ini," ungkap Hadi.
"Jangan kebijakan makin mempersulit rakyat. Dengan kenaikan tarif yang fantastis ini, maka sektor usaha kecil atau UMKM seperti penginapan, kuliner, hingga pedagang souvenir turut terdampak pendapatannya akibat kebijakan ini," katanya.
Â
Advertisement
Daya Saing Turun
Wakil Ketua Umum Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), Budijanto Ardiansyah, mengaku terkejut saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan berencana menaikan tarif tiket masuk Candi Borobudur hingga 15 kali lipat lebih tinggi.
"Berita kenaikan tiket masuk TW (Taman Wisata) Candi Borobudur ini memang cukup mengagetkan dan membuat resah para pelaku industri pariwisata, terutama anggota ASITA," kata Budijanto kepada Liputan6.com, Minggu (5/6/2022).
Sebagai informasi, Menko Luhut hendak menaikkan ongkos masuk ke Candi Borobudur, dari Rp 50 ribu per orang untuk wisatawan domestik (dewasa) menjadi Rp 750 ribu per orang. Sementara harga tiket untuk wisatawan mancanegara melonjak empat kali lipat, dari USD 25 per orang (dewasa) menjadi USD 100 per orang.
Budijanto menilai, kenaikan tarif masuk Candi Borobudur tersebut terkesan kontradiktif dengan usaha pemulihan di sektor pariwisata yang dicanangkan oleh pemerintah. "Kenaikan ini akan membuat daya saing kita dengan negara-negara tetangga semakin jauh," imbuh dia.
Â
Buat Analisa yang Tepat
Di satu sisi, Budijanto coba mewajari alasan pemerintah yang ingin menjaga kelestarian kawasan Candi Borobudur dengan membatasi kuota pengunjung setiap hari.
ASITA dan para pelaku industri pariwisata pun merasa tidak dilibatkan dalam membuat kebijakan tersebut.
"Tapi kenaikannya yang sampai berapa kali ratus persen itu sangat tidak realistis. Pembatasan pengunjung dapat dipahami, tapi kenaikan harga yang gila-gilaan kurang dapat dipahami," cetus dia.
"Dalam mengeluarkan satu kebijakan seharusnya pemerintah membuat analisa yang tepat dan mendiskusikannya dulu dengan asosiasi dan industri. Semoga ini didengar oleh para pembuat keputusan untuk dapat mengkoreksi kembali kebijakannya," pungkasnya.
Advertisement