Akses Pendidikan bagi Perempuan Dinilai Penting Memutus Mata Rantai Kemiskinan

Sebagai aktivis yang kerap berkeliling ke berbagai provinsi di Indonesia, Nukila menemukan banyak wanita harus berjuang dengan hidupnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Mar 2023, 09:32 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2023, 19:14 WIB
nukila
Direktur Eksekutif Women Working Group yang juga pegiat untuk kesetaraan gender dan advokasi untuk hak-hak kelompok minoritas, Nukila Evanty saat memberikan pelatihan kepada kaum perempuan. (Ist)

 

Liputan6.com, Jakarta - Menyebut nama Nukila Evanty, banyak identitas yang melekat pada wanita yang lahir di Bagansiapiapi, Riau ini. Nukila Evanty dikenal sebagai pegiat untuk kesetaraan gender dan advokasi untuk hak-hak kelompok minoritas, marjinal dan kelompok rentan.

Dalam sebuah perbincangan khusus, Nukila menyebut masalah perempuan dewasa ini adalah masih berhadapan dengan kuatnya budaya patriarki. Dalam budaya patriarki, sentral ada pada laki-laki, dan perempuan hanyalah subjek kedua.

Bahkan saking kuatnya budaya patriarki muncul sindrom misogini, di mana mereka membenci perempuan dan menganggap perempuan tidak boleh punya ambisi, tidak boleh punya sesuatu untuk dibanggakan serta harus laki-laki yang didahulukan.

"Banyak juga karena budaya tadi, peran perempuan jadi kurang. Perempuan kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan terbatas dalam akses pada pendidikan. Padahal dengan pendidikan, orang bisa bekerja, dan bahkan punya hak suara," jelas wanita yang merupakan Direktur Eksekutif Women Working Group ini.

Sebagai aktivis yang kerap berkeliling ke berbagai provinsi di Indonesia, terutama daerah-daerah yang merupakan kantong-kantong pekerja migran, Nukila menemukan banyak wanita harus berjuang dengan hidupnya. Karena mereka dituntut untuk bekerja sebagai pencari nafkah sekaligus mengurus urusan domestik, yakni mengurus suami dan anak.

Nah, di saat tuntutan untuk mencari nafkah, namun di sisi lain, keterbatasan pendidikan membuatnya tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Akhirnya mereka terperangkap dalam sindikat, yakni menjadi pekerja migran tanpa prosedur atau ilegal.

Diakui Nukila, sindikat masih merajalela karena penegakan hukum yang belum bagus terkait perdagangan manusia. Perlu kemauan besar terutama dari pemerintah. Karena pemerintah merupakan stakeholder utama yang memiliki SDM dari pusat hingga daerah.

Indonesia memiliki aturan hukum yang lengkap, mulai dari Undang-undang Hak Asasi manusia (HAM) hingga UU Pemberantasan  Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sayangnya dalam pandangan Nukila, aturan yang bagus tanpa diikuti dengan eksekusi di lapangan tak ada artinya. 

"Tidak ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya pemerintah harus tahu, mana daerah yang paling miskin. Karena biasanya dari kantong-kantong kemiskinan ini, banyak pekerja ilegal yang muncul, karena sulitnya mendapat pekerjaan. Pemerintah tidak bisa melakukan ini sendiri," tutur Nukila.

"Karena itu harus melibatkan masyarat sipil. Sayangnya selama ini masyarakat sipil selalu dianggap nomor dua. Padahal, melalui kerja sama dengan masyarakat sipil bisa dilakukan pelatihan, monitoring hingga evaluasi,” kata Nukila yang menyelesaikan studi Hukum di Universitas Groningen, Belanda.

Nukila bercerita waktu berkunjung ke Sambas, Kalimantan Barat, dia bertemu dengan seorang wanita yang bekerja di Kuching Malaysia. Dia bisa bekerja di Kuching secara ilegal dan bisa lolos di bagian Imigrasi, karena ada calo yang membawanya yang bekerja sama dengan oknum di Imigrasi tersebut.

"Ada juga pekerja migran yang 7 tahun bekerja di Malaysia dan mengalami penyiksaan. Nah, ke mana saja pemerintah. Karena pemerintah tidak hadir bagi rakyatnya sendiri,” ujar wanita yang menguasai 4 bahasa, yakni Spanyol, Prancis, Belanda dan Inggris.

Akses Pendidikan yang Layak

Saat ini Nukila sedang fokus terutama pembebasan para pekerja migran yang masih terperangkap di Malaysia, hingga Hong Kong.

“Jadi mereka ditahan dokumen sama majikan, jadi mereka tidak bisa pulang ke Indonesia. Jadi KBRI harus lakukan sesuatu untuk para pekerja migran ini. Mereka butuh bantuan kita,” tukasnya.

Untuk meminimalisir pekerja migran, perlu langkah-langkah khusus yang dilakukan pemerintah. Menurut Nukila, pemerintah perlu lakukan pelatihan sekaligus pemberian modal usaha agar para perempuan-perempuan ini bisa berdaya dan menghasilkan uang.

Jika mereka tetap dibiarkan dalam lingkaran kemiskinan, maka pilihan yang mudah yaitu menjadi pekerja migran, meski taruhannya adalah nyawa di negeri orang.

Karena melihat masalah-masalah seperti ini terjadi diberbagai kota dan provinsi di Indonesia, bagi Nukila penyelesaian terbaik adalah memberikan akses pendidikan yang layak pada setiap wanita sehingga mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

"Kalau Wanita mendapatkan akses pendidikan yang baik, maka dia akan mencetak generasi masa depan yang lebih baik. Atau bahasa saya, wanita tersebut menjadi champion bagi anak-anaknya,” tutup Nukila yang menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah ini.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya