Liputan6.com, Jakarta - Beberapa tahun terakhir media sosial diramaikan dengan istilah cancel culture. Gerakan masif di dunia maya ini sering kali dilakukan terhadap sejumlah publik figur hingga sebuah produk. Baik itu tokoh luar negeri ataupun dalam negeri.
Misalnya yang dialami aktor Hollywood, Johnny Depp, ketika masyarakat meyakini dia telah melakukan kekerasan terhadap mantan istrinya, Amber Heard. Karier Johnny Depp pun terancam, kehilangan proyek film yang dikerjakannya.
Di Indonesia juga sempat beredar gerakan meminta masyarakat untuk melakukan unfollow akun media sosial hingga tidak mendengarkan lagu-lagu karya salah satu penyanyi yaitu Pamungkas. Gerakan masif itu dikarenakan adanya aksi yang dinilai tidak senonoh yang dilakukan oleh Pamungkas di atas panggung.
Advertisement
Kemudian beberapa pekan terakhir warganet mengajak tidak menonton film Like & Share. Hal tersebut disebabkan adanya tudingan pelakor yang dilayangkan kepada salah satu pemainnya, Arawinda Kirana.
Sebenarnya apa itu cancel culture?
Pengamat media sosial, Abang Edwin Syarif menyatakan cancel culture merupakan sebuah tindakan yang dilakukan masyarakat ketika perilaku atau tindakan seorang tokoh publik atau perusahaan tidak sesuai dengan norma yang ada. Kata dia, setiap orang yang dianggap sebagai tokoh publik akan dihadapkan dengan standar norma yang ada.
Atau para tokoh tersebut dituntut untuk tidak memiliki celah keburukan yang melanggar norma. Ketika hal tersebut terjadi warganet akan menarik dukungannya dengan berbagai tindakan sebagai bentuk pemboikotan.
"Cancel culture tadinya tidak sebesar seperti di media sosial. Tapi begitu ada media sosial itu jadi kaya ada exposure. Jadi makin besar," kata Edwin kepada Liputan6.com.
Kata Edwin, tekanan yang diterima para korban cancel culture juga sangat besar di media sosial. Dia mengistilahkan cancel culture seperti halnya pengadilan umum yang diterima oleh para tokoh yang dianggap menyalahi aturan. Beberapa kalangan masyarakat juga menganggap gerakan cancel culture sebagai bentuk sanksi sosial.
"Ada juga yang menyebut sebagai bentuk sabotase. Itu memang bagaimana sudut pandang kita melihatnya," ucapnya.
Menurut Edwin, tindakan cancel culture di media sosial terjadi sangat sederhana dan cepat. Yakni berpatokan pada kesalahan tokoh atau perusahaan tersebut. Sehingga perubahan sentimen pada masyarakat langsung berubah dari yang positif menjadi negatif.
Â
Cancel Culture Berbahaya?
Menurut Edwin, kebanyakan tujuan dari cancel untuk menjatuhkan seseorang. Bahkan sering kali dibungkus dengan fakta yang perlu diketahui oleh semua pihak.
"Jadi kelihatannya itu pengungkapan sesuatu kadang-kadang itu bisa diatur. Kalau kita enggak seneng kita buat sebuah cerita dan jadilah cancel culture. Untuk men-drive cancel culture itu terjadi kepada orang orang tertentu, jadi itu by design. Kalau di media sosial itu yang bahaya sebetulnya," papar Edwin.
Sementara itu diilansir dari laman Katiecouric.com, istilah cancel culture berasal dari film New Jack City tahun 1991. Kemudian digunakan secara luas oleh para ahli dan komedian di platform Twitter pada pertengahan 2010-an sebagai bentuk ungkapan serius maupun sarkasme terhadap komentar atau tindakan orang lain.
Sedangkan menurut Lily Silverton selaku Mental Health and Wellbeing Coach, meskipun pengucilan bukanlah hal baru, media sosial telah menciptakan bentuk peradilan yang sangat mematikan hingga merendahkan kesehatan mental seseorang.
Hal itu mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada karier public figure. Banyak orang dengan cepat melupakan setiap hal baik yang telah dilakukan selebritas karena satu insiden buruk.
Advertisement