Liputan6.com, Jakarta Penahanan Bupati nonaktif Mimika Eltinus Omaleng ditangguhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Makassar. Eltinus sudah tidak lagi mendekam di rumah tahanan (rutan) sejak 31 Mei 2023.
"Saat ini terkait penahanan terdakwa menjadi kewenangan sepenuhnya majelis hakim, dan benar (31/5) majelis hakim telah menangguhkan penahanan terdakwa Eltinus Omaleng," ujar Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri dikutip Minggu (4/6/2023).
Baca Juga
Ali menyatakan KPK menghormati keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Eltinus Omaleng. Namun Ali berharap penangguhan penahanan tidak mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.
Advertisement
Ali meminta Eltinus Omaleng patuh terhadap penetapan hakim yang meminta agar Eltinus dan tim penasihat hukum selaku penjamin untuk tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti. Ali juga berharap Eltinus kooperatif hadir tepat waktu untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan.
"Apabila para terdakwa melarikan diri, maka penjamin bersedia membayar kepada negara uang penjamin sebesar Rp5 miliar," kata Ali.
Sebelumnya, KPK menahan Bupati Mimika Eltinus Omaleng pada Kamis (8/9/2022). Eltinus ditahan setelah ditangkap di sebuah hotel di Jayapura pada Rabu, 7 September 2022.
Eltinus merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Papua. Selain Eltinus, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni Marthen Sawy selaku Kepala Bagian Kesra Setda Kabupaten Mimika yang juga Pejabat Pembuat Komitmen dan Teguh Anggara selaku Direktur PT Waringin Megah.
Bupati nonaktif Mimika Eltinus Omaleng Terjerat Korupsi Proyek Gereja
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut, perbuatan Eltinus diduga merugikan keuangan negara sejumlah Rp21,6 miliar. Dalam korupsi proyek Gereja Kingmi Mile 32 ini, Eltinus juga menerima duit hingga Rp4,4 miliar.
Firli menjelaskan, kasus ini bermula pada 2013 saat Eltinus ingin membangun Gereja Kingmi di Kabupaten Mimika dengan nilai Rp126 miliar.
Kemudian pada 2014 Eltinus Omaleng terpilih menjadi Bupati Mimika dan mengeluarkan kebijakan memberikan dana hibah ke Yayasan Waartsing untuk pembangunan Gereja Kingmi Mile 32.
"Kemudian Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Mimika sebagaimana perintah EO (Eltinus) memasukkan anggaran hibah dan pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 sebesar Rp65 miliar ke anggaran daerah Pemkab Mimika tahun 2014," ujar Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis (8/9/2022).
Firli mengatakan, saat itu Eltinus masih menjadi komisaris PT NKJ yang kemudian membangun dan menyiapkan alat produksi beton yang berada tepat di depan lokasi akan dibangunnya Gereja Kingmi Mile 32.
Untuk mempercepat proses pembangunan, pada 2015 Eltinus menawarkan proyek ini ke Teguh Anggara (TA) selaku Direktur PT Waringin Megah dengan kesepakatan pembagian fee 10 persen dari nilai proyek.
"EO mendapat 7 persen dan TA 3 persen," kata Firli.
Agar proses lelang dapat dikondisikan, Eltinus sengaja mengangkat Marthen Sawy (MS) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Padahal, Marthen tidak mempunyai kompetensi di bidang konstruksi bangunan.
"Eo juga memerintahkan MS untuk memenangkan TA sebagai pemenang proyek walaupun kegiatan lelang belum diumumkan. Setelah proses lelang dikondisikan, MS dan TA melaksanakan penandatangan kontrak pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 dengan nilai kontrak Rp46 miliar," kata Ketua KPK.
Untuk pelaksanaan pekerjaan, Teguh kemudian mensubkontrakkan seluruh pekerjaan pembangunan gedung Kingmi Mile 32 ke beberapa perusahaan berbeda, salah satunya yaitu PT Kuala Persada Papua Nusantara (KPPN) tanpa adanya perjanjian kontrak dengan pihak Pemkab Mimika.
"Hal ini diketahui oleh EO," kata Firli.
PT KPPN kemudian menggunakan dan menyewa peralatan PT NKJ dimana EO masih tetap menjabat sebagai komisarisnya. Dalam perjalanannya, kemajuan pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 tidak sesuai dengan jangka waktu penyelesaian sebagaimana kontrak, termasuk adanya kurang volume pekerjaan, padahal pembayaran pekerjaan telah dilakukan.
"Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah sekitar Rp21,6 miliar dari nilai kontrak Rp46 miliar. Dari proyek, ini EO diduga turut menerima uang sejumlah sekitar Rp4,4 miliar," kata Firli.
Atas perbuatannya, para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Advertisement