HEADLINE: Denny Indrayana Desak DPR Makzulkan Jokowi, Peluangnya?

Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi negara dalam surat terbuka kepada DPR.

oleh Nanda Perdana PutraNila Chrisna YulikaMuhammad Radityo PriyasmoroFachrur RozieLizsa Egeham diperbarui 10 Jun 2023, 00:21 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2023, 00:21 WIB
Joko Widodo atau Jokowi
Ekspresi Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam konferensi pers seusai pembukaan Rakernas III PDIP di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Isu impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi mencuat usai Denny Indrayana membuat surat terbuka kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam surat tersebut, mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham itu meminta DPR menggunakan hak angketnya untuk menurunkan Presiden Jokowi.

Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi negara dalam surat terbuka tersebut. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai.

Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024.

"Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara," tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul 'Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!'.

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai sebenarnya permintaan Denny Indrayana dapat dilihat sebagai sebuah aspirasi politik yang disampaikan kepada DPR. Di mana DPR memang memiliki hak angket untuk mengusulkan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:

'Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.'

Makzulkan Presiden Tak Boleh Hanya dengan Sangkaan Politis

Fahri mengatakan impeachment kepada Jokowi pada hakikatnya tidak mudah serta sangat rumit. Menurut dia, memakzulkan presiden atau wakil presiden sengaja dibuat berat dan rumit dengan melibatkan tiga lembaga negara, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi (MK) serta MPR.

"Sehingga secara akademik dapat dikatan bahwa pemakzulan atau impeachment adalah extraordinary political event di dalam sistem presidensil," ujar Fahri kepada Liputan6.com.

Fahri mengatakan, pemakzulan dalam pemerintahan sistem presidensialisme ditekankan agar seorang kepala negara hanya boleh di berhentikan dengan alasan hukum, dan tidak boleh dengan sangkaan secara politis.

"Apalagi jika melihat konfigurasi politik yang ada di parlemen saat ini, kelihatannya tidak mudah, apalagi secara hukum desain kelembagaan impeachment sengaja dibuat agar tidak mudah seorang kepala negara di jatuhkan," jelas Fahri Bachmid.

Fahri mengatakan, DPR dapat mengusulkan pemakzulan terhadap presiden jika memang terbukti adanya dugaan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Hal itu diatur dalam Pasal 7B UUD 1945, yang berisi: 

'Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden'.

Jika Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang disebutkan dalam undang-undang, maka usul pemberhentian itu dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Pengajuan permintaan DPR kepada MK pun hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR di parlemen.

Kemudian ketika proses itu harus berakhir di MPR, maka mekanisme pengambilan keputusan pemberhentian presiden harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Dalam rapat itu presiden juga bakal diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Mekanisme Pemakzulan Terhadap Presiden

Secara rinci, proses pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden terdapat dalam Pasal 7B UUD 1945, yang berbunyi:

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

"Dengan demikian saya berpendapat biarlah wacana yang dilontarkan oleh Prof Denny Indrayana secara akademik dapat dimaknai sebagai academic discourse dan secara politik agar anggota DPR RI menyikapinya sesuai kewenangan konstitusional yang ada, tetapi secara politis saya berpendapat not easy and complicated," pungkas Fahri Bachmid.

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini menganggap usulan Denny Indrayana untuk memakzulkan Jokowi hanyalah candaan. 

"Denny itu bercanda, kepemimpinan yang kepuasan rakyatnya tinggi dan relatif tanpa skandal politik mau dimakzulkan, gimana caranya?," kata Faldo kepada Liputan6.com.

"Yang kepuasannya rendah dan penuh skandal politik saha di masa lalu tidak dimakzulkan kok. Jadi saya tidak paham logika hukum politiknya Denny," lanjutnya.

Namun, kata Faldo, meski tak masuk akal namun usulan Denny Indrayana sebagai pakar hukum harus dihormati.

"Kalau mau lempar-lempar untuk keributan sih sudah berhasil," ujarnya.

Sementara Menko Polhukam Mahfud Md menilai bahwa isu ini tak penting untuk dibahas. "Nggak menarik untuk dibahas kalau saya. Nggak ada urgensinya," ujar Mahfud Md.

Infografis Surat Terbuka Denny Indrayana Minta DPR Mulai Pecat Jokowi
Infografis Surat Terbuka Denny Indrayana Minta DPR Mulai Pecat Jokowi (Liputan6.com/Abdillah)

Sangkaan Denny Indrayana kepada Jokowi Berlebihan?

Pengamat Politik Adi Prayitno menilai sangkaan terhadap Jokowi untuk menjegal Anies Baswedan dari kontestasi Pilpres 2024 berlebihan. Sebab, bukti-bukti yang disodorkan Denny Indrayana dalam surat terbukanya sangat sumir.

"Kabar soal penjegalan Anies ini sebenarnya kalau mau jujur hanya sebatas konsumsi elit. Rakyat biasa ini kan tidak tahu apapun soal isu penjegalan. Karenanya publik ingin tahu apa sebenarnya parameter yang dijadikan sebagai ukuran bahwa Anies itu dijegal, itu nggak kelihatan," kata Adi kepada Liputan6.com. 

Misalnya, kata Adi, kasasi yang dilakukan Moeldoko terhadap Partai Demokrat dijadikan acuan bahwa Anies akan dijegal pun dirasa sangat berlebihan. Sebab, kasus Moeldoko bersengketa dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ini terjadi pada Maret 2021, jauh sebelum Nasdem mengumumkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

"Jauh hari sebelum Anies diumumkan sebagai kandidat capres, dan itu terjadi 2 tahun yang lalu. Itu yang saya sebut berlebihan," ujarnya.

Kemudian, kata Adi, jika penjegalan Anies karena PKS atau Demokrat digoda keluar dari Koalisi Perubahan juga berlebihan. Sebab, hal itu merupakan upaya melakukan lobi-lobi kerjasama yang biasa dilakukan partai politik lain.

"PKB saja dirayu sama Golkar gitu ya, karena Golkar sedang mencari teman politik juga untuk maju di 2024, tapi tidak ada yang bilang bahwa Prabowo akan dijegal," kata dia.

Atau misalnya, saat PPP keluar koalisi dan mendukung PDIP tidak ada yang mengatakan Airlangga Hartarto dijegal.

"Jadi indikasi penjegalannya harus jelas, itu yang sebenarnya ditunggu oleh publik," ujar Adi.

Mustahil Makzulkan Jokowi

Peneliti Utama di Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor menilai bahwa sebenarnya Denny Indrayana sendiri memahami mustahil untuk memakzulkan Jokowi, mengingat konstelasi politik saat ini. Di mana semua pihak termasuk partai politik dan DPR ingin agar situasi kondusif jelang Pemilu 2024.

Namun, kata dia, apa yang dilakukan oleh Denny Indrayana ini merupakan pelajaran yang baik agar Presiden Jokowi lebih berhati-hati dalam melakukan manuver politik.

"Dia merasa ini merupakan salah satu tanggungjawab dia sebagai warga negara untuk menyampaikan haknya untuk didengar dan diperhatikan oleh DPR, sehingga setiap orang menjadi lebih paham. Ini kan memang tertutup selama ini dan nanti akan dibiarkan begitu saja, selesai begitu saja, tapi kelihatannya Deni ini ingin ada proses lebih lanjut. Saya kira itu hak warga negara bagi seorang Deni dan kita lihat nanti bagaimana respon DPR yang kelihatannya saya kira tidak semudah itu melakukan proses ini," tandas Firman.

Infografis 3 Dugaan Pelanggaran Konstitusi oleh Jokowi Versi Denny Indrayana
Infografis 3 Dugaan Pelanggaran Konstitusi oleh Jokowi Versi Denny Indrayana (Liputan6.com/Abdillah)

DPR Tunggu Surat Resmi Denny Indrayana soal Pemakzulan Jokowi

Puan Maharani
Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani. (Foto: Dok/Man)

Ketua DPR RI Puan Maharani mengaku belum pernah mendengar adanya surat terbuka Denny Indrayana yang mengusulkan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Puan pun akan mengecek terlebih dahulu soal surat Denny Indraya tersebut.

"Mau saya cek dulu. Belum denger, baru dengar sekarang," kata Puan Maharani di Jakarta, Jumat, (9/6/2023).

Sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga mengaku belum pernah melihat surat Denny Indrayana tersebut.

"Ya sampai sekarang saya belum pernah melihat suratnya, sehingga kalau ada surat itu kemudian kita mesti juga tahu suratnya ditujukan ke mana? karena di DPR kan ada mekanisme-mekanisme yang ada," ujar Dasco kepada Liputan6.com di Jakarta.

Jika pimpinan DPR sudah menerima surat tersebut, kata Dasco maka surat tersebut akan dibahas dalam badan musyawarah (bamus) untuk kemudian disampaikan ke komisi teknis agar dibahas kembali.

"Ya mungkin komisi teknis yang akan membahasnya dan kemudian akan diberikan informasi hasil pembahasan tersebut kepada pimpinan atau fraksi-fraksi, begitu mekanismenya," ujar Dasco.

Sementara Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Didik Mukrianto menganggap bahwa usulan Denny Indrayana tersebut sebagai aspirasi masyarakat. Namun, kata Didik, DPR harus menyikapi usulan untuk memakzulkan Presiden Jokowi dengan proposional.

"Kami tahu bahwa UUD 1945 mengakomodir kemungkinan itu dalam Pasal 7B, tapi kan juga harus sangat terukur dan nyata pelanggaran hukumnya, semisal berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presidennya," ujar Didik.

Ia pun meyakini DPR akan sangat obyektif dan rasional dalam menyikapi isu tersebut.

"Jika suatu saat nanti, kalau memang ditemukan secara nyata adanya pelanggaran hukum sebagaimana tersebut dalam Pasal 7B UUD 1945, dan alat buktinya nyata dan cukup, serta dapat dibuktikan, DPR akan menggunakan hak konstitusionalnya demi kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia," kata dia.

Anggota Komisi IV DPR RI Djarot Saiful Hidayat menyakini bahwa DPR tak mungkin menggunakan hak angketnya untuk memakzulkan Presiden Jokowi. 

"Nggak usah direken (pedulikan), nggak mungkin (dimakzulkan)," ujar Djarot singkat.

Presiden Tak Bisa Asal Dimakzulkan

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto meminta mantan Denny Indrayana menggunakan kerangka berpikir intelektual ketika melayangkan pernyataan ke publik. Terlebih terkait menyarankan DPR RI menggunakan hak angket memakzulkan Presiden Jokowi.

"Beliau (Denny) kan sosok akademisi ya, harus berbicara menggunakan kerangka berpikir intelektual. Jangan berbicara tentang perasaan, apalagi berbicara tentang pemakzulan," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Dia mengatakan Presiden dan Wakil Presiden RI dalam sistem politik di Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu ia mengingatkan presiden tidak bisa asal dimakzulkan.

"Dalam sistem politik ketika presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, legitimasi dan legalitas pemimpin nasional itu sangat kuat. Tidak bisa diberhentikan di tengah jalan. Itu harus melalui mekanisme yang tidak mudah," ujar dia.

Sekjen PDIP ini kemudian mengajak Denny untuk sekadar melihat Pemilu 2009 ketika yang bersangkutan menyinggung isu pemakzulan.

Menurut Hasto, diduga instrumen negara dipakai pada Pemilu 2009, sehingga satu partai politik di lingkaran rezim kala itu bisa mengalami lonjakan suara secara signifikan sebesar 300 persen.

"Nah, kalau berbicara pemakzulan, Pak Denny saya ajak untuk coba evaluasi pemilu yang terjadi pada tahun 2009, ketika instrumen negara digunakan, sehingga ada partai politik yang bisa mencapai kenaikan 300 persen," ujarnya.

Hasto menyebutkan peristiwa pada 2009 saat sebuah partai di lingkaran rezim yang mengalami peningkatan, tidak terjadi pada era pemerintahan Jokowi.

Hasto mengatakan PDIP sebagai partai pendukung pemerintah era Jokowi tidak mengalami kenaikan secara signifikan sampai 300 persen.

"Kalau PDI Perjuangan ini, kan, kemarin naiknya hanya satu, berapa, lah sampai 8 persen. Itu pun dengan berbagai upaya kerja lima tahun, sehingga jangan, lah, apa yang dahulu dilakukan oleh Pak Denny Indrayana yang merupakan bagian dari rezim pemerintahan saat itu kemudian dipersepsikan akan terjadi pada pemerintahan Pak Jokowi yang sudah teruji dalam komitmen menjaga demokrasi," kata Hasto.

"Pak Jokowi ini pemimpin yang berdialog, yang tidak punya dendam politik. Sama dengan Ibu Megawati Soekarnoputri mengedepankan rekonsiliasi nasional," sambung Hasto.

Hasto mengatakan sosok Megawati Soekarnoputri, Jokowi dan Ganjar Pranowo ialah figur yang memahami sistem politik yang perlu dilandasi Pancasila.

"Presiden Jokowi cawe-cawe demi loncatan kemajuan agar bonus demografi yang akan datang 13 tahun lagi betul-betul dapat dipersiapkan sebaiknya agar kita jadi bangsa yang hebat," kata Hasto.

Usulan Pemakzulan Jokowi

Denny Indrayana menemui Menko Polhukam Mahfud Md, Kamis (21/11/2019).
Denny Indrayana menemui Menko Polhukam Mahfud Md, Kamis (21/11/2019). (Liputan6.com/ Putu Merta Surya Putra)

Beredar surat terbuka di jagad maya Twitter dari akun @dennyindrayana kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berisi desakan agar menggunakan hak angketnya untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo.

Dasar desakan itu adalah, Denny menduga presiden selaku kepala negara telah melakukan skenario Pemilu 2024 melalui alat-alat negara agar Anies Baswedan tidak dapat menjadi kontestan Pemilu kelak.

Saat dikonfirmasi, Denny membenarkan dan mengizinkan mengutip isi suratnya. 

"Sebagai bukti awal, saya tuliskan kesaksian seorang tokoh bangsa, yang pernah menjadi Wakil Presiden, bahwa Presiden Jokowi sedari awal memang mendesain hanya ada dua capres dalam Pilpres 2024, tanpa Anies Baswedan," kata Denny mengawali surat terbuka di akunnya tersebut dikutip Liputan6.com, Rabu (7/6/2023).

"Sebagai bukti awal, kesaksian tersebut tentu harus divalidasi kebenarannya. Saya menyarankan DPR melakukan investigasi melalui hak angketnya, yang dijamin UUD 1945," Denny melanjutkan.

Dalam surat yang ditulis tertanggal 7 Juni 2023 di Melbourne, Australia, itu Denny berpendapat bahwa DPR sudah layak lakukan pemakzulan karena menggunakan kekuasaannya untuk ikut campur atau cawe-cawe dalam proses Pemilu 2024.

Salah satu bentuk cawe-cawe itu adalah adanya dugaan gerakan sistematis yang dirancang agar Anies Baswedan gagal menjadi kontestan Pilpres dan Pemilu hanya dilakukan oleh dua pasang capres-cawapres saja.

Temuan lain juga dia dapatkan ketika berbincang dengan politikus Demokrat Rachland Nashidik dimana alasan Presiden SBY turun gunung karena adanya informasi dari orang dekat Presiden ke-6 RI itu bahwa hanya akan ada dua peserta Pilpres saja, sementara Anies Baswedan akan dijerat KPK. Informasi itu didapat SBY dari tokoh yang pernah menjadi Wakil Presiden.

"Hak angket harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah ada tangan dan pengaruh kekuasaan Presiden Jokowi yang menggunakan KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, untuk menjegal Anies Baswedan menjadi kontestan dalam Pilpres 2024?" tulis Denny.

Jokowi Dinilai Membiarkan Moeldoko Rongrong Demokrat

Upaya sistematis lainnya dalam pandangan Denny adalah upaya pembiaran Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai.

Denny menduga ujung dari gerakan itu adalah agar Anies Baswedan tidak maju di Pilpres 2024. Jokowi dianggap membiarkan gerakan begal Moeldoko terhadap Demokrat sesuai dengan Undang-undang Parpol.

"Tidak mungkin Presiden Jokowi tidak tahu, Moeldoko sedang cawe-cawe menganggu Partai Demokrat, terakhir melalui Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung."

"Hak angket harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi membiarkan atau bahkan sebenarnya menyetujui -lebih jauh lagi memerintahkan langkah KSP Moeldoko yang menganggu kedaulayan Partai Demokrat?" Denny menambahkan.

Upaya sistemastis lainnya agar Pilpres berjalan hanya dua kontestan adalah penggunaan kekuasaan dan sistem hukum, singkatnya menggunakan kasus hukum untuk menekan partai politik yang dinilai Presiden Jokowi tidak sejalan dengan strategi pemenangan Pilpres 2024.

Dia mencontohkan kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa. Suharso, berdasarkan temuan Denny, dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Baswedan. Penguasa, ujar Denny, juga mengarahkan kasus mana yang ditangani, mana yang disetop.

"Hak angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres?" ujar Denny.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya