Soal OTT KPK, Panglima TNI Harap Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas Jadi Evaluasi dan Tak Terulang

Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kasus dugaan suap yang terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) harus menjadi bahan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 29 Jul 2023, 18:02 WIB
Diterbitkan 29 Jul 2023, 18:00 WIB
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kasus dugaan suap yang terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) harus menjadi bahan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang.
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kasus dugaan suap yang terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) harus menjadi bahan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang. (merdeka.com/imam buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan kasus dugaan suap yang terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) harus menjadi bahan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang.

Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Basarnas dan menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka.

"Peristiwa di Basarnas perlu menjadi evaluasi kita. Kita harus mawas diri dengan hal seperti itu. Jangan dilihat negatifnya berita itu. Mari kita evaluasi bersama sehingga ke depan tidak terjadi lagi di tubuh TNI ataupun para prajurit TNI yang bertugas di luar struktur TNI. Sehingga kita tetap solid untuk melaksanakan tugas pokok atau fungsi TNI," ujar Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono lewat keterangan tertulisnya dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI, melansir Antara, Sabtu (29/7/2023).

Hal tersebut disampaikan Yudo usai memimpin upacara serah terima jabatan (sertijab) sejumlah pejabat utama TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat 28 Juli 2023.

Kemudian, dalam kesempatan itu Yudo juga berpesan kepada dua perwira tinggi TNI yang akan bertugas di Basarnas dan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) untuk tetap mengingat jati dirinya sebagai prajurit TNI.

"Kepada para pejabat yang nantinya bertugas di luar, kepada Pak Marsdya Kusworo yang nantinya di Basarnas, Pak Irwansyah yang nanti di Bakamla, tolong jangan lepas dari induknya. Harus tetap ditanamkan ke diri masing-masing bahwa aku ini TNI," ucap Panglima TNI Yudo.

 

Terus Jalin Komunikasi

Yudo Margono
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengungkapkan alasan mengapa buku tersebut diluncurkan di Perpusnas. "Sengaja ini kita launching di Perpustakaan Nasional karena di Perpustakaan Nasional ada 1,5 juta buku di sini, dan di antaranya nanti buku ini juga akan menjadi kekayaan kita di Perpusnas," kata Yudo. (merdeka.com/imam buhori)

Panglima TNI Yudo juga meminta prajurit TNI yang berdinas di luar struktur TNI agar terus menjalin komunikasi.

"Personel yang berada di luar struktur TNI juga dibina dan diingatkan bahwa mereka masih TNI walaupun bajunya sudah berubah oranye, bajunya sudah berubah baju abu-abu telur bebek," kata dia.

Yudo juga memerintahkan agar dalam sepekan harus pakai baju TNI.

"Tujuannya agar sadar bahwa mereka masih TNI, masih punya naluri TNI, masih punya disiplin, masih punya hierarki, masih punya kehormatan militer," ucap dia.

"Semua TNI yang bertugas di manapun harus membawa nama baik TNI dan itu juga adalah tugas negara," pungkas Yudo.

 

TNI Keberatan KPK Tetapkan Kepala Basarnas Marsekal Henri Alfiandi Jadi Tersangka

R Agung Handoko dan Johanis Tanak
Pasalnya, penetapan tersangka tersebut harusnya menjadi wewenang TNI sesuai dengan UU yang berlaku. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Markas Besar TNI keberatan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka Kepala basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi. Sebab menurut Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko, penetapan tersangka terhadap dua prajurit aktif oleh KPK diluar ketentuan dalam undang-undang militer.

"Dari tim kami terus terang keberatan kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer. Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri," kata Agung di Jakarta, Jumat 28 Juli 2023.

Agung mengatakan, Puspom TNI dan KPK telah melakukan rapat gelar perkara, pada saat gelar perkara tersebut diputuskan bahwa seluruhnya yang terkait saat OTT akan ditetapkan sebagai tersangka. Karena berdasarkan alat bukti yang sudah cukup.

Namun, kata dia, Marsekal Henri Alfiandi dan Letkol ABC belum ditetapkan tersangka. Sebab seharusnya penetapan tersangka ditetapkan oleh pihak TNI.

Sehingga Agung mengaku terkejut saat jumpa pers KPK Letkol ABC dan Marsekal Henri tetap jadi tersangka. Keputusan itulah yang mengundang polemik di publik atas operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

"Pada intinya kami sebagaimana yang disampaikan P5 sebagai TNI harus mengikuti ketentuan hukum dan taat pada hukum. Itu tidak bisa ditawar. Dan bisa kita lihat, siapapun personel TNI yang bermasalah, selalu ada punishment yang tadi Kapuspen sampaikan," jelasnya.

Terlebih setelah hasil hasil pemeriksaan 1x24 jam sesuai ketentuan, Letkol ABC baru diserahkan kepada TNI dengan status oleh KPK sebagai tahanan. Tanpa adanya proses hukum yang dilakukan oleh pihak TNI, karena tidak ada laporan dari KPK.

"Jadi status Letkol ABC yang saat itu diserahkan hanya sekadar titipan. Dan seharusnya penyerahan yang bersangkutan ini diikuti dengan barang bukti yang ada pada saat OTT tersebut. Karena barang bukti uang yang ada ditangkap atau diambil dari Letkol ABC," terangnya.

 

KPK Minta Maaf ke TNI Tetapkan Kepala Basarnas Jadi Tersangka Suap: Penyelidik Kami Khilaf

Johanis Tanak
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak meminta maaf kepada TNI atas penetapan Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi terkait kasus dugaan suap di Basarnas. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak meminta maaf kepada pihak TNI lantaran menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan.

Johanis meminta maaf karena pihaknya tidak koordinasi terlebih dahulu dengan pihak TNI sebelum mengumumkan keterlibatan Henri Alfandi. Permintaan maaf disampaikan usai Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko mendatangi markas antirasuah.

"Pada hari ini KPK bersama TNI yang dipimpin oleh Danpuspom TNI di atas tadi sudah melakukan audiens terkait dengan penanganan perkara di Basarnas dan yang dilakukan tangkap tangan oleh tim dari KPK," ujar Johanis di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat 28 Juli 2023.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI, dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," Johanis menambahkan.

Johanis menyadari berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 diatur bahwa lembaga peradilan terdiri dari empat, yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. Menurut Johanis, sejatinya dalam menangani kasus yang bersinggungan dengan militer, maka harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak TNI.

"Peradilan militer khusus anggota militer. Ketika melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer. Di sini ada kekeliruan dari tim kami ada kekhilafan. Oleh karena itu tadi kami sampaikan atas kekhilafan ini. Kami mohon dimaafkan," kata Johanis.

Johanis mengatakan pihaknya sudah meminta Danpuspom TNI untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.

"Kami dari jajaran lembaga, pimpinan KPK beserta jajaran sudah menyampaikan permohonan maaf melalui pimpinan dan Puspom untuk disampaikan kepada Panglima," kata Johanis.

Infografis Menanti Gebrakan Awal Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Menanti Gebrakan Awal Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya