Liputan6.com, Jakarta - Bola panas usulan batas minimum usia calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres) 35 tahun tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi atau judicial review (JR) Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur batas minimal usia capres-cawapres tengah disidangkan di MK.
Adapun uji materi ini diajukan oleh tiga pihak, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sejumlah perseorangan dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023, kemudian Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dengan nomor perkara 51/PUU-XXI/2023, dan sejumlah kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun dengan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023.
Baca Juga
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah menyampaikan keterangan dalam sidang pemeriksaan yang digelar MK pada Selasa, 1 Agustus 2023 kemarin. Baik DPR maupun pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk menilai dan memutuskan nasib usulan perubahan batas minimal usia capres dan cawapres tersebut.
Advertisement
Meski begitu, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Habiburokhman selaku perwakilan DPR saat menyampaikan keterangan di persidangan MK, memberikan sinyal bahwa parlemen menyetujui usulan perubahan batas minimum usia capres-cawapres. Salah satu pertimbangannya, Indonesia tengah memasuki bonus demografi.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada rentang 2020 sampai dengan 2030, jumlah usia produktif meningkat mencapai dua kali lipat dari total jumlah usia penduduk Indonesia. Oleh karenanya, penduduk usia produktif ini kemudian hari dapat berperan serta dan mempersiapkan diri dalam pembangunan nasional untuk menjadi pemimpin bangsa, termasuk sebagai calon presiden dan wakil presiden.
“Sementara terhadap perbandingan usia pemimpin negara di dunia, ada 45 negara yang mensyaratkan usia 35 tahun untuk menjadi pemimpin negara, seperti Amerika Serikat, Rusia, India, dan Portugal," ujar Habiburokhman, seperti dikutip Liputan6.com dari situs resmi MK, Rabu (2/8/2023).
Politikus senior Gerindra ini juga memberikan contoh sejumlah negara yang menetapkan batas minimal usia kepala negara yakni 40 tahun, seperti Singapura, Korea Selatan, Jerman, Filipina, dan Irak.
"Dengan demikian, terhadap pengujian pasal yang dimohonkan Pemohon pada perkara ini, DPR pun menyerahkan pada Mahkamah untuk mempertimbangkan dan menilainya,” katanya.
Sementara keterangan dari pemerintah dibacakan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar-Lembaga dari Kementerian Dalam Negeri, Togap Simangunsong. Dalam persidangan di MK tersebut, Togap menuturkan bahwa UUD 1945 tidak mengatur secara rinci kriteria batas minimum usia capres-cawapres.
UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Sehingga aturan yang demikian dapat saja berubah sesuai kebutuhan yang berkembang dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
“Pengaturan batas usia dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pasal yang diujikan ini sifatnya adalah open legal policy bagi pembentuk undang-undang. Dan dalam penyertaan pemerintahan, kita wajib berpedoman pada UUD 1945 dan Pancasila sebagai sumber hukum. Termasuk pula dalam menghadapi perkembangan dinamika batasan usia capres cawapres, karena hal ini merupakan suatu yang bersifat adaptif dan fleksibel sesuai kebutuhan ketatanegaraan,” ujar Togap.
Keterangan DPR dan pemerintah ini pun direspons sejumlah hakim konstitusi, salah satunya Saldi Isra. Dia menilai, baik DPR maupun pemerintah sama-sama setuju aturan batas minimal usia capres-cawapres diubah.
"Kalau dibaca implisit ya, keterangan DPR dan keterangan pemerintah, walaupun di ujungnya menyerahkan kepada kebijaksanaan yang mulia hakim konstitusi, itu kan bahasanya bersayap kalau begitu, dua-duanya kan mau ini diperbaiki," ujar Saldi, seperti dikutip dari siaran langsung Sidang Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI.
Karena itu, dia menyarankan agar aturan tersebut langsung saja diubah sendiri oleh DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang, tanpa perlu melibatkan MK.
"Kalau pemerintah dan DPR sudah setuju, mengapa tidak diubah saja undang-undangnya. Jadi tidak perlu melempar isu ini ke Mahkamah Konstitusi untuk diselesaikan. Karena dari DPR tadi implisit itu sudah setuju dan tidak ada perbedaan di fraksi-fraksinya. Kelihatannya pemerintah juga setuju. Kan sederhana ini untuk mengubahnya, dibawa ke DPR saja, diubah UU itu, pasal itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan tangan Mahkamah Konstitusi," sambung Saldi.
Dalam kesempatan itu, dia juga mempertanyakan urgensi perubahan batas minimal usia capres-cawapres menjadi 35 tahun. Sebab pada Pemilu 2004 dan 2009, batas minimal usia capres-cawapres adalah 35 tahun, kemudian diubah dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi 40 tahun.
Pertanyaan ini ditujukan kepada DPR dan Pemerintah selaku pengubah batas minimum usia 40 tahun pada 2017 lalu. MK ingin mengetahui apa alasan DPR dan pemerintah dulu menaikkan batas minimum usia capres dan cawapres.
"Tolong kami dijelaskan kenapa di dua UU sebelumnya itu 35 tahun kemudian diubah menjadi 40 tahun ketika UU Pemilu disatukan menjadi satu UU. Apa perdebatan pembentuk UU ketika mengkonteskan dua batas usia yang berbeda ini ke konstitusi, karena di konstitusi kan tidak ada syarat minimal berapa usia untuk menjadi presiden dan wakil presiden," ujar Saldi.
Selain itu, dia juga ingin DPR mengungkap alasannya membandingkan situasi di Indonesia dengan batas usia minimum capres-cawapres di luar negeri.
"Pertanyaan besar kami mengapa kok didorong ke 35, tidak ke 30 misalnya, atau ke 25. Karena kalau kita baca konteks perbandingan, ada itu negara yang 18 (tahun) loh bisa jadi perdana menteri. Tapi ada juga negara yang memilih 50 tahun untuk bisa jadi kepala pemerintahan," katanya.
Dihubungi terpisah, Habiburokhman mengatakan, kehadirannya pada persidangan di MK kemarin hanya sebagai perwakilan DPR selaku pihak yang diminta memberikan keterangan pada uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
“Gugatan ini, permohonan ini kan dari masyarakat, maka kami dalam kapasitas untuk memberikan keterangan DPR, jadi bukan DPR yang mengajukan. Soal urgensi atau tidaknya ya itu tolong ditanyakan kepada Pemohon,” kata Habiburokhman saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (2/8/2023).
“Kenapa jadi 35 tahun itu kan domainnya Pemohon, kami DPR hanya menyampaikan keterangan atau pendapat DPR,” sambungnya.
Meski begitu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra tersebut menilai bahwa usulan batas minimum usia capres-cawapres lebih muda dari yang berlaku saat ini penting dipertimbangkan mengingat Indonesia memiliki bonus demografi.
“Secara umum memang ya kita kan punya bonus demografi, di mana sebagian besar masyarakat kita adalah usia produktif atau usia muda. Jadi menjadi masuk akal kalau ada tuntutan agar batas usia menjadi pemimpin itu dibuat semakin muda,” ujar Habiburokhman.
Saat ini, kata dia, banyak sekali generasi muda yang sukses di sektor bisnis. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan akan banyak generasi muda yang sukses di sektor politik. "Di politik hal yang sama bisa terjadi, jadi masuk akal permohonan ini,” katanya.
Apabila permohonan uji materi tersebut dikabulkan MK, Habiburokhman menilai keputusan itu akan langsung diterapkan pada Pemilu 2024. “Kalau disepakati atau dikabulkan oleh MK tentu harus berlaku seketika karena putusan MK itu kan berlaku ketika diucapkan. Dan keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan,” kata dia.
Lebih lanjut, dia enggan mengomentasi isu yang berkembang menyebut bahwa permohonan uji materi tersebut disiapkan untuk mendorong agar Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka bisa diusung menjadi cawapres. Saat ini, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu berusia 35 tahun.
“Kami tidak dalam kapasitas menilai pendapat para pengamat yang sifatnya sangat asumtif,” ucap Habiburokhman memungkasi.
Karpet Merah untuk Gibran Maju Pilpres?
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menuturkan, bahwa saat ini nasib gugatan uji materi batas minimal usia capres-cawapres ada di tangan MK.
"Tapi saya secara prinsip berharap semoga MK mengabulkan. Karena batas umur minimal 40 bisa maju Pilpres itu sebenarnya keputusan yang tidak mau fleksibel dan keputusan yang tidak mau ambil nuansa semangat zaman," ujar Adi saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (2/8/2023).
Sama seperti DPR dan sejumlah pemohon, menurut Adi, bonus demografi yang saat ini dimiliki Indonesia harus menjadi pertimbangan untuk mengubah batas minimal usia pencalonan presiden. Apalagi kapasitas dan kompetensi seseorang untuk menjadi pemimpin tidak bisa diukur dengan seberapa tua usianya.
"Batas umur itu tidak ada kaitannya dengan kapasitas dan kompetensi seseorang. Banyak di negara-negara lain umur di bawah 40 tahun top, sudah hebat, dan bisa jadi pemimpin, bisa jadi menteri, bisa jadi perdana menteri," katanya.
"Makanya, ketika Mahkamah Konsitusi soal ambang batas minimum itu dikabulkan saya kira itu rasional. Artinya sudah saatnya tokoh-tokoh muda menunjukkan kemampuan mumpuni," tutur Adi menambahkan.
Jika usulan ini nantinya disetujui MK, maka diskursus yang berkembang di publik adalah terkait pencalonan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Sebab, putra sulung Presiden Jokowi itu untuk saat ini adalah sosok pemimpin muda yang digadang-gadang bisa maju di Pilpres 2024.
"Apalagi banyak kita lihat potensi duet antara Prabowo dan Gibran. Itu akan mempengaruhi dinamika politik yang sedang berkembang belakangan ini. Tentu akan mengubah peta politik secara nasional," ujarnya.
Saat disinggung siapa yang paling diuntungkan jika usulan batas minimal usia capres-cawapres menjadi 35 tahun, Direktur Eksekutif Parameter Politik ini tak menampik nama Gibran menjadi salah satunya, selain juga sejumlah kepala daerah yang saat ini berusia di bawah 40 tahun.
"Secara substansi judicial review ini kan bagus, karena pembatasan usia 40 tahun itu kan nggak relevan. Kita kehilangan nuansa yang seperti saya bilang tadi, memiliki anak-anak muda (potensial) yang tidak bisa jadi pemimpin," kata Adi.
"Ya tidak bisa kita pungkiri kalau ini sangat memungkinkan Gibran relevan lagi soal kemungkinannya bisa maju di 2024. Tapi apakah judicial review itu memang diniatkan agar Gibran bisa maju menjadi cawapres? Ya hanya waktu yang akan bisa menjawab," sambungnya.
Sementara terkait kapan keputusan tersebut bisa diterapkan merupakan kewenangan MK, seandainya uji materi diterima. Menurut Adi, bisa saja batasan minimal usia capres-cawapres itu diterapkan pada Pilpres 2024 ini, kendati tahapan pemilu sudah bergulir.
"Kalau putusan MK ini berlaku untuk 2024, ya memang seakan-akan ini ada potensi untuk memuluskan langkah Gibran maju di 2024. Apalagi Gibran menyatakan mau maju, ya tentu ini semakin menegaskan keyakinan itu," katanya.
"Tapi kalau kemungkinan putusan MK mengabulkan soal ambang batas minimum calon pencapresan ini berlakunya setelah 2024, tentu karpetnya bukan untuk Gibran tapi bagi semua orang di negara ini," ujar Adi Prayitno menandaskan.
Advertisement
MK Jangan Bikin Pemilu 2024 Tidak Fair
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari melihat, proses sidang pemeriksaan perkara nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 tentang uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu di MK, Selasa kemarin sangat menarik.
Terlebih ketika hakim konstitusi mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang, seakan setuju dengan permohonan pemohon terkait perubahan batas minimal usia capres-cawapres menjadi 35 tahun.
"Menurut hemat saya, memang janggal sekali kalau pemerintah dan DPR sepakat dengan perubahan batas usia. Mestinya kan direvisi saja UU Pemilunya," ujar Feri saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (2/8/2023).
"Ini catatan penting bagi kita, kalau kepentingan politik, urusan politik dijalankan hanya untuk urusan orang-orang tertentu, maka kondisi-kondisi seperti ini akan terus terjadi," sambungnya.
Dia menilai, usulan perubahan batas minimum usia capres-cawapres ini sengaja tidak dilakukan melalui revisi UU Pemilu agar tidak melebar ke mana-mana. Pemerintah dan DPR akan kerepotan jika merevisi UU di saat tahapan Pemilu tengah bergulir. Belum lagi ada potensi munculnya kepentingan-kepentingan yang jauh lebih banyak selain soal batas usia.
"Upaya mengubah melakui MK ini menyederhanakan hal itu. Dan ada keinginan pihak-pihak tertentu untuk maju tapi karena terbatas usia, lalu diserahkan ke MK. Padahal mestinya tidak boleh dilakukan di tengah tahapan yang sensitif kiranya persaingan menuju 2024," ucap Feri.
Karena itu, dia meminta MK harus bisa membatasi diri, bahwa perubahan pasal yang tidak berkaitan dengan kepentingan penyelenggaraan Pemilu yang baik, maka tidak perlu diubah. Mengingat tahapan Pemilu sudah bergulir, maka MK diharapkan tidak mengubah pasal yang berpotensi membuat pertarungan menjadi tidak fair.
"Kenapa tidak fair? Karena awalnya orang sudah mempersiapkan calon yang berusia 40 tahun, lalu gara-gara ini akhirnya diubah. Tentu persiapan partai jadi terganggu dan pertarungan tidak fair muncul. Padahal ini di tengah tahapan. Jadi MK harus membatasi proses pengujian UU yang membuat MK berkontribusi mengganggu Pemilu," katanya.
Lebih lanjut, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas ini tak menampik jika tiga permohonan uji materi tentang batas minimal usia capres-cawapres ini ada kaitannya dengan wacana pencalonan Gibran Rakabuming Raka di bursa Pilpres 2024.
"Bisa saja, karena tujuan PSI mau tidak mau santer berkait anak presiden yang berusia di bawah 40 tahun, dan kita juga tahu Ketua MK adalah adik ipar Jokowi," ucap Feri.
Sementara terkait kapan berlakunya beleid batas minimal usia capres-cawapres menjadi 35 tahun seandainya permohonan tersebut dikabulkan, hal itu sepenuhnya tergantung keputusan MK.
"Bisa saja sesegera mungkin karena pendaftaran capres cawapres Oktober. Atau sebaliknya bisa berlaku masa periode (Pemilu) selanjutnya. Tapi ini menjadi pertanyaan ke MK kalau berlakunya periode ke depan, kenapa bukan lewat perubahan UU saja," kata Feri Amsari memungkasi.
Harus Dilawan
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai, gugatan ke MK terkait batas minimal usia capres dan cawapres dalam UU Pemilu harus dilawan.
"Jadi, secara teks dan konteks konstitusionalisme, kalau ditanya apakah salah ikhtiar mengubah syarat umur capres-cawapres melalui putusan MK itu, jawaban saya dengan tegas dan lantang adalah sangat salah, dan harus dilawan," kata Denny seperti ditulis dalam akun Twitternya, @dennyindrayana dikutip Selasa (25/7/2023).
Menurut Denny, secara teori konstitusi dan tata negara bahwa batas umur capres dan cawapres, tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas atau bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Soal umur, kata dia, adalah open legal policy, artinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk menentukannya dalam proses legislasi (parlemen).
"Bukan kewenangan MK untuk menentukan batas umur capres-cawapres melalui proses ajudikasi (peradilan)," ucap mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Denny menduga, gugatan batas umur capres dan cawapres yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bukan untuk memperjuangkan hukum dan hak anak muda.
"Karena PSI tidak bisa dilihat sebagai parpol yang independen, tanpa tegak lurus kepada Jokowi secara pribadi. PSI sudah mempunyai rekam jejak yang panjang untuk selalu sejalur dengan kepentingan politik pribadi Jokowi. Termasuk soal dinasti Jokowi dan pewalikotaan Kaesang di Depok," kata Denny.
"Maka kemungkinan permohonan uji syarat umur cawapres menjadi 35 tahun, mesti dibaca pula sebagai upaya PSI dan Jokowi untuk membuka peluang Gibran Jokowi menjadi Cawapres--mestinya bukan Capres, di 2024," tambah dia.
Dia menekankan, bahwa hukum tidak boleh dipermainkan dan disesuaikan dengan kepentingan politik siapapun. Ia berharap, MK tak mengabulkan gugatan PSI itu karena faktor Gibran atau Jokowi.
"Kalaupun misalnya PSI dianggap punya legal standing sekalipun, permohonan semestinya ditolak," kata Denny menandaskan.
Gugatan PSI, Garuda, dan Kepala Daerah Under 40
Sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyambangi Mahkamah Konstitusi untuk mengunggat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Maret 2023 lalu. Adapun yang digugat PSI melalui mekanisme uji materi atau judicial review adalah mengenai batas usia minimal capres dan cawapres dalam Pasal 169 huruf q.
"PSI memberikan ruang dan perhatian pada anak muda untuk berpartisipasi lebih luas dalam politik dan jabatan kepemimpinan publik. Banyak anak muda menunjukkan prestasinya dalam jabatan kepemimpinan publik, yang bisa jadi berpotensi menjadi presiden maupun wakil presiden RI, namun sayangnya terganjal syarat usia minimal 40 tahun dalam UU Pemilu saat ini," kata Direktur LBH PSI, Francine Widjojo dalam keterangannya, (9/3/2023).
Dia mengungkapkan, dua UU Pemilu sebelumnya mengatur syarat minimalnya usia 35 tahun. "Tidak ada dasar dan urgensinya membatasi rakyat tidak boleh memilih capres dan cawapres yang usianya 35-39 tahun," jelas Francine.
Adapun uji materi di MK ini dilakukan oleh kader muda PSI di antaranya, Anthony Winza Probowo, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhael Gorbachov Dom, dengan LBH PSI selaku kuasanya.
Francine mencontohkan, Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa jika Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, maka tugasnya dilaksanakan oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Di sini, tak ada batasan usia minimal seseorang menjadi menteri. Namun, ada kesempatan mengganti posisi presiden atau wakil presiden.
"Saat ini tidak ada batasan usia minimal untuk menjadi menteri. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ada potensi menteri yang usianya di bawah 40 tahun dapat melaksanakan tugas sementara sebagai presiden dan wapres," papar Francine.
Francine menegaskan, sebenarnya Indonesia pernah dipimpin oleh kaum muda, meski tak memakan waktu yang lama.
"Indonesia pernah mempercayakan kepemimpinannya kepada Sutan Syahrir di usianya 36 tahun sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia dan perdana menteri termuda di dunia saat itu. Beliau juga dipercaya sekaligus rangkap jabatan Perdana Menteri dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri," kata dia.
“Jangan sampai UU justru menjadi hambatan potensi anak muda. Sutan Syahrir sudah membuktikan bahwa umur bukanlah tolak ukur yang tepat untuk menilai kompetensi seorang pemimpin," sambungnya.
Selain PSI, ada dua pihak yang juga menggugat Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu, yakni Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun.
Gugatan PSI terdaftar dalam nomor perkara 29/PUU-XXI/2023. Pasal yang digugat yaitu Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang berbunyi:
"Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun".
Adapun petitum dalam permohonan ini adalah: "Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 35 tahun".
Gugatan kedua dengan nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda Yohanna Murtika dan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana sebagai pemohon dan Desmihardi dan M Malik Ibrohim sebagai kuasa hukum.
Pasal yang digugat sama, yaitu Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Adapun petitum dalam permohonan kader Partai Garuda ini adalah:
"Menyatakan bahwa frasa 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau yang berpengalaman di bidang pemerintahan'".
Sedangkan gugatan ketiga yang terdaftar dengan nomor 55/PUU-XXI/2023 dilayangkan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Albarraa.
Pasal yang digugat para kepala daerah under 40 ini juga sama, yakni Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Adapun petitum dalam permohonan tersebut adalah:
"Menyatakan bahwa frasa 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara'".
Advertisement