Liputan6.com, Jakarta - Memasuki usia kemerdekaan yang ke-78, Presidium Forum Alumni Kohati (FORHATI) Nasional, Wa Ode Nurhayati mengatakan, Indonesia mempunyai banyak tantangan yang sangat kompleks. Dia tidak ingin, perayaan kemerdekaan hanya sebatas seremonial tanpa ada inspirasi perubahan dan semangat untuk mengisi kemerdekaan menuju Indonesia yang beradab.
“Di tengah kegalauan seremonial kemerdekaan, kaum perempuan mempunyai tugas penting untuk melakukan artikulasi perannya dalam mengisi kemerdekaan,” kata Wa Ode dalam keterangan diterima, Jumat (18/8/2023).
Wa Ode menambahkan, artikukasi peran perempuan tidak bisa dilepaskan dari unit bernama keluarga. Sebab, keluarga merupakan unit negara paling kecil dan stabilitas negara bisa dilihat dari stabilitas keluarga sebagai penghuninya.
Advertisement
“Esensi kemerdekaan adalah berdampak positif bagi perempuan Indonesia. Sebagaimana, amanat UU Dasar 1945 dan Pancasila. Tidak boleh ada lagi perempuan Indonesia mengalami perlakuan berbeda disegala lini,” dorong Wa Ode.
Wa Ode meminta, negara bisa hadir memberi ruang akselarasi seluasnya bagi pendidikan Perempuan. Salah satu langkahnya, kementerian terkait mengevaluasi sejauh apa peran anggaran dalam pendampingan jangka panjang dan jangka pendek terhadap perempuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
“Kehadiran beberapa Perempuan berpengaruh nasional harus disyukuri tetapi tidak boleh berpuas diri, sebab ruang politik hanya salah satu wadah dari sekian ruang sosial yang harus diisi,” tutur dia.
Perempuan Jadi Tiang Negara
Wa Ode meyakini, perempuan adalah tiang negara. Dia memastikan, Indonesia memang pantas berbangga terhadap prestasi politik perempuan di Tanah Air sebab pernah punya presiden perempuan pertama Indonesia, Megawati dan Ketua DPR RI perempuan Puan Maharani.
“Meski masih keluarga yang sama, tapi ini telah menjadi tonggak sejarah yang membuat negara luar memandang tangguh perempuan-perempuan Indonesia dalam bidang politik” yakin Wa Ode.
Sebagai politisi Hanura, Wa Ode juga memberikan perhatian khusus agar peran Perempuan bisa terbuka. Salah satu dimulai dengan memenuhi afirmasi politik 30% untuk Perempuan. Menurutnya, sejauh ini dalam pentas politik respon aktivis perempuan telah beramai-ramai turun kejalan memperjuangkan kuota 30 persen perempuan, tapi faktanya mengisisi komposisi dalam kuota itu tdk berkenan.
“Ada bias antara semangat dan kenyataan, dari sisi hukum masih banyak perempuan mendapat perlakuan berbeda. Padahal kalau kita semua sama dalam memandang Perempuan, bahwa di wajahnya ada gambaran ibu kita, saudara perempuan kita, anak perempuan kita, maka Insya Allah tidak akan ada kriminalisasi pada perempuan kita sebagaimana moral yg diajarkan oleh Pancasila,” dia menandasi.
Advertisement