Liputan6.com, Jakarta - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD menilai adanya perbedaan pendapat atau dissenting opinion hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sejah pertama dalam konstitusi.
"Dalam sepanjang sejarah baru yang hari ini ada dissenting opinion. Baru hari ini ada dissenting opinion, sejak dulu tidak ada pernah, boleh ada dissenting opinion. Karena biasanya hakim itu berembuk, karena ini menyangkut jabatan orang kita harus sama," kata Mahfud di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Baca Juga
"Dirembuk sampai sama, nah ini mungkin tidak bisa disamakan, sehingga ada dissenting ini, pertama dalam sejarah konstitusi," sambung dia.
Advertisement
Lebih lanjut, Mahfud mengaku puas dengan putusan MK terkait sengketa pilpres. Dia menyebut, pihaknya menerima atas hasil putusan MK.
"Kami menerima, demi keadaban hukum. Karena keadaban hukum itu ketika membuat hukum harus benar, ketika menegakkan hukum harus benar, ketika menerima putusan juga harus sportif," ujarnya.
"Sehingga perselisihan itu ya, sudah selesai, harus diakhiri," imbuh Mahfud.
Sebelumnya, Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan dissenting opinion pada sidang putusan Sengketa Pilpres 2024.
Meskipun, permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ditolak lembaga tertinggi pengawal konstitusi tersebut.
Artinya, putusan MK tersebut menjadi tidak bulat. Tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
"Dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang hakim konstitusi, yaitu hakim konstitusi Saldi Isra, hakim konstitusi Enny Nurbainingsih, dan hakim konstitusi Arief Hidayat," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di ruangan sidang MK, Senin (22/4).
Pada sidang yang digelar sejak pukul 09.00 WIB itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tidak hanya berfokus pada pengadilan angka-angka atau hasil rekapitulasi penghitungan suara.
“MK juga memiliki kewenangan untuk menilai hal-hal lain yang terkait dengan tahapan pemilu yang berdampak pada penetapan suara sah hasil pemilu,” ujar Saldi.
DPR Tidak Boleh Lepas Tangan
Saldi menjelaskan, lembaga lain yang memiliki kewenangan terkait pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Satuan Tugas Pengawas Pemilu (Gakkumdu), harus melaksanakan kewenangannya secara optimal untuk memastikan pemilu berjalan jujur, adil, dan berintegritas.
"Namun demikian, terlepas dari pendirian di atas, Mahkamah perlu menegaskan, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak tepat dan tidak pada tempatnya apabila Mahkamah dijadikan tumpuan untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi selama penyelenggaraan tahapan pemilu," tuturnya.
Menurut Saldi, lembaga yang telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan pemilu, seperti Bawaslu dan Gakkumdu, harus melaksanakan kewenangannya secara optimal demi menghasilkan pemilu yang jujur dan adil serta berintegritas.
Saldi juga menekankan bahwa lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya terkait pemilu. DPR harus menjalankan fungsi konstitusionalnya, termasuk fungsi pengawasan dan penggunaan hak-hak konstitusional seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk memastikan semua tahapan pemilu sesuai dengan ketentuan konstitusi.
"Lembaga politik seperti DPR tidak boleh lepas tangan, sehingga sejak awal harus pula menjalankan fungsi konstitusionalnya. Fungsi pengawasan dan menggunakan hak-hak konstitusional yang melekat pada jabatannya seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat guna memastikan seluruh tahapan pemilu dapat terlaksana sesuai dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," imbuhnya.
Advertisement
Beda Pendapat Hakim Enny Nurbainingsih
Selain Saldi, Hakim MK Enny Nurbainingsih yang juga menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion , menyatakan bahwa MK seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah untuk memastikan pemilu berjalan jujur dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip yang dijamin oleh UUD 1945.
"Untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah," kata Enny.
Enny juga mencatat bahwa dalil yang diajukan oleh Anies-Muhaimin dalam permohonannya sebagian besar beralasan menurut hukum. Mereka mengklaim adanya ketidaknetralan yang terkait dengan pemberian bantuan sosial (bansos) di beberapa daerah, yang dianggap mempengaruhi hasil pemilihan.
"Diyakini telah terjadi ketidaknetralan yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah," kata Enny.
Reporter: Alma Fikhasari/Merdeka.com