Pemerintah Pusat Diminta Selesaikan Masalah UKT Jika Ingin Menyambut Indonesia Emas 2045

Masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai mahal di sejumlah perguruan tinggi, membuat kinerja pemerintahan terlebih Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menuai sorotan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 18 Mei 2024, 21:00 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2024, 21:00 WIB
UTBK SBMPTN 2022 Dimulai
Peserta mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2022 gelombang pertama di Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Jakarta, Selasa (17/5/2022). UTBK SBMPTN 2022 digelar mulai hari ini hingga 23 Mei 2022. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai mahal di sejumlah perguruan tinggi, membuat kinerja pemerintahan terlebih Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menuai sorotan.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR) Oktaria Saputra mengatakan, dari berbagai rujukan kenaikan UKT dipengaruhi oleh penerapan otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang semakin mandiri, di mana memberikan kewenangan kepada birokrasi kampus untuk menentukan norma, serta kebijakan operasional yang diterapkan di lingkungan perguruan tinggi.

"Adanya pergeseran kewenangan ini memberikan ruang yang lebih besar untuk perguruan tinggi mengatur internalnya sendiri, sehingga kebijakan apapun itu bisa dilakukan, tergantung kesepakan internal," kata dia dalam keterangannya,Sabtu (18/5/2024).

Oktaria menuturkan, banyak yang melihat bahwa kenaikan UKT yang tidak wajar itu pun dinilai tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan oleh kampus.

"Dalam hal ini apabila ingin fair, kenaikan UKT secara profesional harus diiringi dengan hadirnya fasilitas dan pelayanan yang prima kepada mahasiswa, disertai juga dengan pembelajaran yang sistematis mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa secara signifikan," tutur dia.

Oktaria mengungkapkan, melihat apa yang terjadi di perguruan tinggi, tidak sinkron dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di mana menetapkan sebuah proyeksi ideal di masa yang akan datang mengenai kualitas SDM yang berada pada level tinggi, di lain sisi penerapan sistem pembiayaan pendidikan sangat memberatkan bagi mahasiswa.

"Dengan jelas, hal ini tidak sinkron, amanah Konstitusi kita dengan praktik yang terjadi di lapangan per hari ini," tutur dia.

 

Hanya Cita-Cita Belaka

Oktaria mengungkapkan, lemahnya keberpihakan dalam pembangunan SDM memberikan sebuah gambaran bagaimana situasi Indonesia di 2045, yang selalu digaungkan di berbagai ruang tanah air, bahwa di angka usia 100 tahun, Indonesia memasuki masa keemasan, atau disebut Indonesia Emas 2045.

"Prediksi yang tampak dengan melihat situasi saat ini, bahwa Indonesia Emas 2045 barangkali hanyalah cita-cita yang utopis belaka, karena tidak adanya keseriusan dari pemerintah membangun SDM untuk menjadi bekal menuju arah sana. Pendidikan hanya akan dinikmati oleh masyarakat ekonomi menengah dan atas, sedangkan mereka yang berada di zona ekonomi bawa akan semakin sengsara, nasib mereka cenderung tidak berubah," tutur dia.

Karena itu, lanjut Oktaria, pemerintah pusat harus tetap memberikan intervensi, sekalipun kampus-kampus yang menaikan UKT telah memiliki badan hukum untuk mengelola institusinya sendiri.

"Pemerintah pusat wajib membatasi wewenang perguruan tinggi dalam mekanisme peraturan UKT, sehingga tetap memberikan akses yang wajar bagi anak-anak bangsa untuk belajar dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi," pungkasnya.

DPR Desak Kemendikbudristek Evaluasi Tata Kelola UKT

Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengevaluasi tata kelola kebijakan pembiayaan pendidikan perguruan tinggi.

Pasalnya, Uang Kuliah Tunggal (UKT) terkini naik signifikan dan tidak mempertimbangkan kemampuan orang tua mahasiswa.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih Fikri menegaskan, pendidikan adalah hak anak bangsa tanpa memandang status ekonomi dan sosial.

"Kami mendesak Kemendikbudristek memberi solusi dengan memperbaiki tata kelola pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Jangan sampai (kenaikan UKT) membebani mahasiswa sampai tidak mampu kuliah lagi," kata Fikri dalam keterangannya, Sabtu (18/5/2024).

Fikri berharap pemerintah memperbesar kuota beasiswa, baik jalur tidak mampu dan prestasi.

Selain itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengingatkan untuk mempertajam pengawasan kebijakan pendidikan tinggi. Hal ini menjadi sorotannya lantaran demi menjaga mutu pendidikan perguruan tinggi agar tetap berimbang serta berkualitas.

"Kemendikbudristek perlu untuk memperbesar kuota beasiswa baik jalur tidak mampu dan prestasi," kata Fikri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya