OPINI: Angkutan Online, Antara Kebutuhan dan Regulasi

Masalah taksi Uber/Grab versus taksi konvensional bukanlah perang teknologi, melainkan persaingan bisnis yang tidak equal.

oleh Sunariyah diperbarui 30 Mar 2016, 19:44 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2016, 19:44 WIB
Darmaningtyas
Opini Darmaningtyas (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Masalah aplikasi teknologi dalam sistem transportasi umum kembali mengemuka ketika muncul aksi demo dari para awak angkutan umum legal di depan Istana Negara 14 Maret lalu. Aksi demo tersebut merupakan akumulasi kekecewaan para pengemudi angkutan umum atas menjamurnya layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, baik untuk roda maupun roda dua.

Kehadiran layanan angkutan berbasis teknologi tersebut dirasakan telah menggerus penumpang angkutan umum maupun penumpang ojek pangkalan. Keluhan ini telah dirasakan sejak 2014.  

Dinas Perhubungan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Muhamad Akbar saat itu sudah melakukan razia terhadap taksi Uber. Pihak Organda DKI Jakarta pun telah protes atas makin maraknya Uber (dan kemudian disusul oleh taksi Grab). Namun layanan Taksi Uber dan Grab tetap jalan terus.

Maraknya kehadiran taksi online tidak terlepas dari adanya kebutuhan angkutan umum yang lebih aman, nyaman, dan terjangkau bagi kelas menengah. Penumpang Uber dan Grab adalah mereka yang sebelumnya naik taksi reguler atau mobil pribadi.

Mereka pindah ke layanan taksi online karena tarifnya lebih murah, mudah, dan cepat aksesnya. Selain itu, memakai kendaraan pelat hitam dari segi prestise lebih prestisius. Terlebih bila harus menemui relasi yang kadang butuh basa basi penampilan.

Bagi mereka yang semula naik mobil pribadi dan pindah ke taksi online, karena dari segi biaya lebih murah dengan tingkat kenyamanan dan keamanan yang sepadan.


Sedangkan ojek online baru marak pertengahan 2015, ketika seragam jaket dan topi Go-Jek terlihat marak di Ibu Kota Jakarta.

Berbeda dengan penumpang taksi Uber dan Grab yang lebih segmented (golongan menengah dan memiliki kartu kredit), penumpang Go-Jek dengan segala turunannya (GrabBike, Blue-Jek, dan Lady Jek) lebih luas lagi: ada yang berasal dari penumpang ojek konvensional (pangkalan), penumpang bajaj, dan tidak sedikit yang berasal dari penumpang taksi atau mobil pribadi yang ingin keluar dari kemacetan.

Hal itu dapat terdeteksi dari keluhan para pengemudi taksi dan bajaj, yang mengeluhkan bahwa penumpang mereka mengalami penurunan lebih dari 30 persen setelah adanya ojek online.

Agar cara pandang kita terhadap permasalahan jelas dan terpilah, kita bedakan secara jelas antara taksi Uber dan Grab dengan ojek online (Go-Jek, GrabBike, Blue-Jek, dan Lady Jek).

Kehadiran taksi Uber dan Grab secara fungsional merebut pasar taksi regular atau konvensional yang memiliki izin (legal) usaha transportasi. Sementara taksi Uber dan Grab tidak memiliki izin usaha transportasi.  

Sedangkan kehadiran ojek online tidak bisa dikatakan merebut pangsa pasar ojek pangkalan, karena ojek pangkalan pun dapat bergabung di ojek online. Kecuali itu, secara yuridis, ojek pangkalan dengan ojek online sama-sama tidak diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

Para pengusaha taksi konvensional berhak melakukan protes terhadap kehadiran taksi Uber dan Grab yang telah merugikan usaha mereka. Tapi ojek pangkalan tidak berhak protes terhadap kehadiran ojek online, karena ibaratnya sama-sama anak haram. Bila mereka tidak ingin tergusur dari profesinya sebagai pengojek, mereka bisa bergabung di ojek online.  

Dengan kata lain, pada kasus taksi konvensional versus taksi online, ada persoalan legal dan ilegal, sehingga pemerintah dapat berpihak secara jelas. Tapi, pada ojek pangkalan versus ojek online sama-sama ilegal. Karena sama-sama ilegal, maka memiliki hak hidup yang sama.

Perlu legalisasi?

Maraknya penggunaan aplikasi teknologi dalam sistem transportasi tersebut memunculkan desakan kepada pemerintah untuk merevisi UU LLAJ, yang mengakomodasi kehadiran aplikasi teknologi dalam transportasi.

Desakan ini benar tapi tidak tepat. Mengapa? Karena kasus yang diributkan itu sangat lokalistik, terjadi di Jakarta dan sekitarnya atau beberapa kota besar saja, bukan kasus nasional. Sementara UULLAJ itu memiliki cakupan nasional.

UU LLAJ berlaku secara nasional, tidak bisa berlaku hanya untuk daerah tertentu saja. Oleh karena itu, yang betul adalah bukan UU LLAJ harus menyesuaikan kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, melainkan aplikasi layanan transportasi yang perlu menyesuaikan LLAJ.

Siaran Pers Kementerian Perhubungan  Nomor : 216/HKM/III/2016  tentang Peningkatan Kualitas Layanan Angkutan Umum dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang ditandatangani oleh Plt Direktur Jendral Perhubungan Darat Sugihardjo pada 16 Maret 2016 sudah tepat, “bahwa perusahaan penyedia layanan perangkat lunak (aplikasi) dapat bekerja sama dengan operator angkutan umum yang memiliki ijin resmi, antara lain operator taksi maupun angkutan sewa”.

Logika siaran pers itu sudah tepat, bahwa bukan UU LLAJ yang disesuaikan dengan kehadiran aplikasi teknologi, tapi aplikasi teknologi lah yang menyesuaikan amanat UU LLAJ. UU LLAJ sama sekali tidak anti teknologi, bahkan mendorong pemanfaatanan teknologi. Salah satu asas UU LLAJ adalah efisiensi dan efektif (pasal 2 butir f).

Asas itu hanya mungkin terwujud bila mengakomodasi kehadiran teknologi.  Tapi aplikasi teknologi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, bila dimaksudkan untuk memberikan layanan transportasi kepada publik (mengangkut penumpang dan menarik bayaran dari penumpang).

Jika sudah menjalankan peran sebagai sarana angkutan umum, maka aplikasi teknologi tersebut wajib tunduk pada UU LLAJ Pasal 139 ayat (4), bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesaktian layanan angkutan berdasarkan aplikasi teknologi itu akan teruji di lapangan setelah mereka mengikuti persyaratan, sebagaimana yang dituntut pada pengelola taksi konvensional, yaitu memiliki izin operasional, punya pool, melaksanakan uji KIR setiap enam bulan sekali, pengemudi wajib mengikuti asuransi tenaga kerja, berpelat kuning, tarif ditentukan oleh pemerintah, dan membayar pajak.

Jika persyaratan yang sama dikenakan pada operator aplikasi teknologi dan tarif mereka masih tetap kompetitif, maka operator taksi  konvensional lah yang dituntut berbenah agar tarifnya lebih kompetitif.

Tapi bila kondisinya seperti sekarang, layanan aplikasi tidak dikenai persyaratan sebagaimana dikenakan pada layanan taksi konvensional, tentu tidak fair. Pemerintah semestinya melindungi operator taksi legal, sesuai UU LLAJ, dan mengingat kita negara hukum.

Jadi solusi atas maraknya layanan angkutan umum berbasis aplikasi teknologi, bukan dengan memblokir atau melarang penggunaan aplikasi tersebut. Tapi memaksa mereka untuk tunduk pada UU LLAJ yang mensyaratkan penyedia layanan angkutan umum berbentuk badan hukum sebagai penyedia angkutan umum.

Masalah taksi Uber dan Grab versus taksi konvensional bukanlah perang teknologi, melainkan persaingan bisnis yang tidak equal. Karena yang satu (Uber/Grab) tidak dikenai kewajiban apa-apa oleh pemerintah, sedangkan yang satunya lagi (taksi konvensional dibebani banyak kewajiban).

Karena masalahnya adalah persaingan bisnis yang tidak equal, maka peran pemerintah adalah membuat persaingan itu equal dengan mengenakan persyaratan yang sama.

Bahaya dari mengikuti desakan untuk merevisi UU LLAJ adalah perkembangan teknologi itu amat dinamis, sangat mungkin dalam waktu lima tahun akan muncul temuan-temuan teknologi baru di dalam sistem transportasi kita.

Bila temuan-temuan tersebut harus diakomodasi dalam UU LLAJ, artinya UU LLAJ setiap saat akan berubah dan kita tidak akan pernah memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum itu diperlukan agar kita memiliki kepastian hukum.

Perlakuan yang berbeda tertuju pada ojek online. Oleh karena kehadiran ojek (pangkalan dan online) itu sebagai anomali dalam sistem transportasi akibat buruknya layanan angkutan umum, maka mereka tidak perlu dilarang dan juga tidak perlu diatur dalam UU LLAJ.

Tugas pemerintah adalah membenahi angkutan umum agar aman, nyaman, selamat, lancar, dan terjangkau. Atau dengan kata lain handal. Bila angkutan umumnya sudah handal, secara otomatis masyarakat akan meninggalkan ojek sebagai moda transportasi umum, dan ojek akan lebih tepat sebagai angkutan kurir (pengantar barang).

Mengatur ojek di dalam UU LLAJ memiliki implikasi yang luas dan kompleks, mengingat data berbicara bahwa 70 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Ini artinya, sepeda motor bukan moda transportasi yang berkeselamatan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya