OPINI: Bisnis Halo-Halo kala Coronanomics

Berubahnya perilaku masyarakat ke arah digital tentunya bisa dianggap peluang, terutama bagi operator telekomunikasi di masa Coronanomics.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Mar 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2020, 12:00 WIB
Doni Ismanto Darwin, Founder IndoTelko Forum
Doni Ismanto Darwin, Founder IndoTelko Forum. Liputan6.com/Triyasni

Liputan6.com, Jakarta - Senin, 16 Maret 2020 bisa menjadi salah satu hari yang penting dicatat dalam sejarah pemerintahan Indonesia.

Mengutip unggahan foto yang disebarkan Sekretaris Kabinet Pramono Anung di instagramnya @pramonoanungw, terlihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (16/3/2020) melakukan rapat terbatas terkait percepatan ekonomi menghadapi tekanan virus corona (Covid-19) secara virtual.

Dalam foto tersebut terlihat Jokowi yang fotonya berada di baris tiga komputer memimpin rapat telekonferensi yang diikuti 41 anggota kabinet.

Ratas secara virtual ini bisa dikatakan cara Jokowi untuk menunjukkan ke masyarakat agar melakukan social distancing tanpa mengurangi produktivitas pasca Covid-19 telah menjadi pandemi global, seperti diumumkan World Health Organization (WHO) pada Rabu (11/3/2020).

Penetapan itu didasarkan pada persebaran virus secara geografi yang telah mencapai 114 negara. Skema bekerja dari rumah (work from home/WFH) atau belajar dari rumah (distance learning) pun terus didengungkan pemerintah agar masyarakat bisa melakukan social distancing untuk meminimalisir penyebaran Covid-19.

Munculnya dua istilah ini tentu tak bisa dilepaskan penetrasi internet yang lumayan tinggi di Indonesia.

Dari jumlah penduduknya sebesar 272,1 juta jiwa, Indonesia memiliki pengguna internet mencapai 175,4 juta, di mana sekitar 160 juta diantaranya aktif bermedia sosial di tahun 2019.

Data We are social 2020 yang dikeluarkan Hootsuite menyatakan smartphone menjadi andalan bagi masyarakat Indonesia untuk mengakes internet.

Masyarakat Indonesia menggunakan internet pada 2019 per hari sekitar 7 jam 59 menit, di mana 3 jam 26 menit dihabiskan untuk bermedia sosial.

Selama berselancar di internet, pengguna banyak mengakses online video, menonton vlog, mendengarkan streaming musik dan radio, hingga Podcast. 

Selama work from home, aplikasi seperti Zoom, Slack, atau WhatsApp makin akrab digunakan untuk berkomunikasi. Sementara platform Ruangguru, Zenius, dan Quipper bisa diandalkan agar anak tetap belajar di rumah. 

Bagi korporasi, mungkin sudah saatnya mempercepat adopsi solusi Unified Communications (UC) agar karyawan tetap produktif, tetapi berkomunikasinya lebih aman. 

Unified Communication adalah solusi yang menggabungkan fungsi tradisional seperti teleponi, mobile VoIP, messaging dan konferensi dengan inovasi seperti kolaborasi workstream, artificial intelligence dan virtual asssistant.

Beberapa nama besar sudah memiliki solusi UC, seperti Telkom, Cisco, atau Ribbon.

 

Keamanan

Seiring WFH kian didengungkan, jangan lupakan isu keamanan dan pertahanan siber.

Setiap elemen di negara ini harus menyadari domain digital yang tidak memiliki batas fisik menjadikan medan perang tersaji setiap saat dalam rangka memperebutkan sumber daya sebuah negara.

Serangan siber, kampanye disinformasi, dan berita palsu adalah beberapa cara yang sekarang banyak digunakan untuk memecah belah hingga melemahkan ideologi guna merebut pengaruh ekonomi di sebuah negara.

Temuan dari Kaspersky baru-baru ini telah membuka kedok para pelaku kejahatan siber yang dan masih beroperasi di wilayah Asia Tenggara.

Kaspersky mengungkap terjadinya peningkatan aktivitas kelompok-kelompok Advanced Persistent Threats (APT) utama yang melancarkan kegiatan cyber espionage canggih di kawasan Asia Tenggara.

Cyber espionage adalah tindakan atau praktek memperoleh rahasia tanpa izin dari pemegang informasi.

Kaspersky menyatakan para kelompok APT meluncurkan alat serangan baru, termasuk memata-matai malware ponsel demi mencapai tujuannya yaitu mencuri informasi dari entitas, organisasi pemerintah, militer, dan organisasi di wilayah Asia Tenggara.

Motivasi serangan utama adalah melakukan pengumpulan intelijen ekonomi dan geopolitik. Tak pelak, korban utama kebanyakan adalah organisasi pemerintah, entitas diplomatik, dan partai politik.

Ngerinya, dari semua jenis kelompok APT dan malware yang aktif menyerang, terungkap Indonesia selalu menjadi salah satu target utama dari serangan.

Membaca paparan di atas, tentunya sangat disarankan bagi penyelenggara negara untuk tidak sembarangan memanfaatkan aplikasi dalam menjalankan protokol WFH.

Tak terbayang bagi saya, jika rapat kabinet virtual yang dilakukan Kabinet Indonesia Maju, materinya bisa keluar semua ke publik secara real time.

Sementara bagi masyarakat juga diminta hati-hati dalam membuka tautan dokumen karena banyak digunakan sebagai penyamaran untuk melakukan phishing oleh penjahat siber.

Tantangan

Berubahnya perilaku masyarakat ke arah digital tentunya bisa dianggap peluang, terutama bagi operator telekomunikasi di masa Coronanomics (dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh virus corona).

Operator yang selama ini identik dengan penyelenggara jaringan internet tentu akan mendapatkan lonjakan trafik data. Selain itu, bagi pemilik platform atau solusi tentu juga menjadi momentum untuk scale up bisnisnya.

Tetapi benarkah semulus itu? Jawabannya tidak. Operator bisa dikatakan belum lolos dari efek gunting di era data di mana beban dan marjin dalam menyelenggarakan layanan data belum ideal di Indonesia.

Saat ini operator bisa dikatakan mengandalkan pendapatan dari menjual paket data. Sementara pendapatan dari penggunaan panggilan telepon dan pesan singkat (SMS) dipastikan menurun karena aplikasi Over The Top (OTT) yang banyak disediakan aplikator asing. 

Operator di Indonesia hanya untuk frekuensi bisa mengeluarkan biaya hak penggunaan (BHP) minimal sebesar Rp 1,2 triliun. Belum lagi sumbangan Universal Service Obligation (USO) yang dipotong 1,25 persen dari total pendapatan setiap tahun.

Harap diingat, dua kewajiban itu tetap harus dibayar tak peduli operator untung atau rugi. Padahal, operator masih harus berinvestasi menggelar kabel optik, menambah jaringan, belanja bandwitdh, dan lainnya untuk menyelenggarakan layanan.

Bagaimana dengan pesaingnya, OTT asing? Bisa dikatakan OTT seperti Google, Facebook, dan lainnya tak ada kewajiban membayar BHP dan sumbangan USO.

Tetapi senyap namun pasti, pemain seperti Google dan Facebook telah menjelma menjadi operator entah disadari atau tidak oleh pemerintah.

Tak percaya? Lihat saja Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) dan kabel optik atau data center yang dimiliki keduanya, bisa jadi sudah mengalahkan kemampuan dari operator Tier-2 di Indonesia.

 

Insentif

Melihat situasi ini tentu tak ada salahnya pemerintah memberikan insentif bagi operator dan pemain lokal yang mengembangkan platform WFH atau distance learning saat Coronanomics ini.

Misal, jika pemerintah meminta adanya akses gratis diberikan bagi platform belajar online, jangan segan memberikan subsidi langsung ke operator untuk belanja bandwitdh. Atau jika ingin mendorong adanya akses gratis ke platform yang mendukung WFH atau distance learning, pilihlah mitra lokal yang telah memenuhi aturan di negeri ini.

Insentif lain tentunya adalah pemerintah harus berani mengubah mindset dalam setoran BHP atau USO agar dua komponen ini tak menjadi beban yang terus menggelayuti pundak operator.

Dua setoran tersebut adalah Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi jika terus menerus diperlakukan sebagai sumber keuntungan dan tak dikembalikan secara utuh ke sektor telekomunikasi tentu sudah menjadi hal yang harus dikoreksi di masa depan.

Terakhir, Coronanomics ini bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah menata ulang bisnis teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) agar benar-benar potensi ekonomi digital digunakan dan dirasakan oleh semua komponen anak bangsa.

Pemerintah sebagai regulator harus bisa menciptakan hubungan yang seimbang antara penyedia jaringan, konten, dan perangkat. Ketimpangan yang terjadi seperti sekarang ini harus diakhiri segara dengan merevisi Undang-undang Telekomunikasi yang sudah ketinggalan zaman.

Saat ini tanpa disadari regulator di bidang TIK terkesan "akomodatif" dalam memenuhi keinginan pemain asing atas nama investasi. P

adahal, jika regulator mampu memproduksi regulasi yang pro lokal dan menjaga kedaulatan digital, tentu ekosistem akan tumbuh lebih sehat karena memiliki kepastian hukum yang jelas bukan "fleksibel" sesuai selera pasar.

Saatnya negara hadir untuk melindungi kepentingan pelaku ekonomi digital lokal agar daya tahannya kuat menghadapi masa Coronanomics.

Ingat, disrupsi bukan harus dipuja, tetapi dikendalikan menjadi transformasi yang positif agar menguntungkan pelaku industri TIK nasional.  

**Penulis adalah Doni Ismanto Darwin, Founder IndoTelko Forum

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya