Liputan6.com, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencermati, ada tren dana hibah dan bantuan sosial (bansos) cenderung naik, terutama menjelang pelaksanaan pilkada. Namun setelah pilkada usai, dana populis tersebut justru turun.
"Berdasarkan realita bahwa dari tahun ke tahun menjelang pilkada, dana bansos dan hibah itu selalu naik,"‎ ujar Sekjen Fitra Yenny Sucipto di kantornya, Mampang, Jakarta Selatan, Senin 14 September 2015.
‎Yenny menuturkan, kenaikan dana bansos mulai terlihat 3 tahun menjelang pelaksanaan pilkada. Kenaikan tersebut relatif sama di sejumlah daerah antara 1 hingga 5 persen. Kenaikan lebih terlihat pada tahun terakhir menjelang pelaksanaan pesta demokrasi tersebut.
"Saya pikir biasanya 3 tahun sebelumnya kenaikannya cukup kelihatan. Umpamanya di 2013 ke 2014 naik 2%. Kemudian naik lagi 3-5% di 2015 menjelang pilkada. Pos-pos itu kenapa naik, karena diskresinya cukup luas. Nah itu leluasa digunakan untuk kepala daerah," tutur dia.
Fitra melihat, ada potensi penyelewengan dana bansos menjelang pilkada. Potensi penyalahgunaan itu terutama dilakukan oleh petahana atau incumbent yang kembali bertarung di pilkada. Apalagi petahana memiliki cukup banyak ruang untuk melakukan manipulasi penggunaan dana.
"Cukup banyak ruang manipulasi yang digunakan di sini cukup tinggi. Ruang untuk menentukan siapa penerima dana hibah dan bansos itu sesuai keinginan kepala daerah, karena itu diatur pada Permen No 39 Tahun 2012 Pasal 30 dan 30a," kata Yenny.
Fitra mengungkap modus yang digunakan para petahana memanfaatkan dana populis itu untuk keperluan politisnya. Mereka mempunyai potensi membuat laporan fiktif. Terlebih jika tidak ada kontrol dan pengawasan dari DPRD dan sejumlah komponen masyarakat.
"Biasanya kan ada 3 kali pencairan, tapi ada yang cair cuma sekali, tapi tanda tangannya 3 kali. Ada juga penyunatan, misalnya harus dapat Rp 300 juta cuma dapat Rp 50 juta. Kemudian laporan fiktif itu ternyata diberikan kepada relasi yang cukup dekat seperti tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama, masjid atau gereja misalnya yang punya basis massa," beber dia.
Ingatkan Pemerintah
Fitra juga mengingatkan kepada pemerintah untuk mengevaluasi penggunaan dana hibah dan bansos. Pihaknya meminta agar Permendagri No 39 Tahun 2012 Pasal 30 dan 30 a tentang bantuan sosial untuk direvisi. Dalam pasal itu, Fitra menilai ada cukup banyak ruang yang bisa dimanfaatkan penguasa daerah untuk menyelewengkan dana hibah dan bansos.‎
"Berdasarkan data BPK dari 2005-2014, ada Rp 300 triliun dana hibah dan bansos digunakan menjelang pilkada. Kita tidak inginkan lagi kalau nanti ada kabupaten atau kota yang akan ikuti pilkada pasti dana bansosnya akan naik juga," terang Yenny.
"Makanya kami minta pada Kemendagri untuk lakukan kajian Permendagri No 39 Tahun 2012 mengaca pada data 2005-2014. Jelas bansos harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, tapi ini digunakan sebagai alat mobilisasi oleh kepala daerah, terutama petahana," sambung dia.
Memang belum ada bukti konkret petahan melakukan kecurangan ini. Namun potensi penyelewengan dana sosial untuk pilkada itu cukup tinggi dilakukan para penguasa daerah itu.
‎"Belum (ada indikasi), makanya kami minta Kemendagri untuk melakukan monitoring pada kuartal II. Karena bansos itu sudah direalisasikan di kuartal I. Lah teman-teman di Kemendagri sudah bisa lakukan monitoring duitnya ke arah mana saja," pungkas Yenny. (Mvi/Ans)
Advertisement