Terbang Lintas Benua, Burung Migran Berakhir di Penggorengan

Sejak 4 tahun terakhir sudah sangat jarang dijumpai burung migran di kota Semarang.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 07 Nov 2015, 14:59 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2015, 14:59 WIB
Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com
Burung belibis (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

Liputan6.com, Semarang - Azan subuh baru selesai dikumandangkan, 3 sosok laki-laki dengan pakaian cukup rapat berjalan beriringan. Mereka menuju ke rawa-rawa sekitar Pantai Sayung, Demak. 3 Sosok laki-laki itu membawa tali, karung, dan juga jaring.

Jangan salah, mereka tak hendak mencari ikan. Namun mereka berburu burung belibis (dendrocygna). Bulan November merupakan bulan di mana banyak burung belibis melintas, dan biasanya rehat di rawai-rawa serta pantai sepanjang pantai utara (Pantura) Jawa Tengah.

Ya, burung yang mereka buru, bukanlah sembarang burung. Burung-burung yang mereka tangkap adalah burung yang bermigrasi menghindari cuaca dingin di tempat asalnya, Jepang, Korea, China, Rusia, Kanada, bahkan Amerika. Burung-burung itu mengungsi agar bisa bertahan hidup.

Rahayu Budi, salah satu dari mereka mengaku, kegiatannya hanya musiman. Mulai bulan Oktober, burung-burung migran itu sudah berangkat dari habitatnya. Dan biasanya awal November sudah mulai tiba di Indonesia.

"Kami sekedar mencari rezeki untuk keluarga. Tidak ada sedikit pun di pikiran kami mereka akan punah," kata Budi Rahayu kepada Liputan6.com.

Budi dan kedua temannya sangat sulit diajak berdiskusi tentang nasib burung-burung migran itu. Mereka tidak tahu bahwa burung-burung itu sengaja mencari udara lebih panas karena ancaman udara dingin yang mematikan di tempat asalnya.

"Setahu saya, mereka datang pada bulan-bulan itu dan berakhir sekitar Maret. Mungkin karena menetasnya lama. Saya nggak tahu itu burung darimana. Lagipula, apa sih perlunya tahu? Yang penting keluarga bisa makan," ujar dia.

Burung belibis totol (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

Memang burung-burung migran itu dalam perjalanannya sangat rentan keselamatannya. Selain mati karena ganasnya alam, banyak burung migran berakhir di piring menjadi santapan manusia. Beberapa penjual daging burung di Semarang bahkan mengaku masakan unggas ini banyak penggemarnya. Mereka rata-rata mengaku tidak tahu burung yang dijajakannya adalah burung dilindungi.

"Sejak 2000 saya berjualan, tidak ada yang melarang atau memperingatkan. Penjual iwak manuk atau lauk burung seperti saya justru semakin banyak dan laris," kata salah satu penjual burung liar goreng yang tak ingin namanya dikenal di warungnya.

Para pelanggannya juga tetap lahap menyantap daging burung goreng pesanan mereka, tanpa tahu kalau yang mereka santap bisa jadi sudah terbang ribuan kilometer dari Jepang atau Kanada atau negara lainnya yang belum pernah mereka kunjungi.

Berdasarkan monitoring Bird Watching Indonesia Semarang, memang burung-burung itu mulai bermigrasi bulan Oktober dan kembali ke daerah asal sekitar bulan Maret. Mereka bermigrasi bertahap. Karena beberapa jenis burung tidak mampu terbang jauh, mereka singgah di beberapa daerah untuk makan.

Baskoro Karyadi, koordinator Bird Watching Indonesia Semarang menyebutkan, Kota Semarang dan beberapa pesisir Jawa Tengah adalah salah satu tempat favorit persinggahan burung-burung pelintas benua itu. Kebanyakan burung singgah untuk mencari makan saja, bukan daerah tujuan.

"Burung-burung itu terbang melintasi benua, menyeberangi lautan secara naluriah saja. Setiap tahun mereka melakukan hal yang sama. Dan celakanya, manusia menjadikan mereka sebagai incaran perburuan. Rusaknya lingkungan yang menyebabkan burung enggan mampir juga menjadi ancaman tersendiri," kata Baskoro.


Warung 'iwak manuk' di Semarang (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

Baskoro melanjutkan, dulu beberapa burung terlihat mampir di Semarang dan gampang dilihat. Namun sejak 4 tahun terakhir, sudah sangat jarang dijumpai burung migran di kota itu.

"Bagaimana mereka mau mampir di Semarang? Laut dan sungainya sudah tercemar. Tidak ada persediaan ikan. Sawah dan hutan semakin sedikit, membuat burung hanya melewati Semarang menuju tempat lain," kata Baskoro.

Tahun ini komunitas pengamat burung Semarang kembali mengamati dan mendata burung-burung migran itu. Bukan hanya burung air saja, namun juga burung-burung predator karena masih ada singgah di Semarang. Burung-burung itu berasal dari Jepang, Australia, Rusia, dan China.

"Biasanya para pengamat menangkap mereka lalu mengenakan cincin dan melepasnya kembali. Warna cincin yang melingkar di kaki burung menunjukkan asal burung itu. Seandainya tidak ada ancaman, mereka bisa berpopulasi di sini dan menguntungkan kita karena banyak burung langka ikut bermigrasi," kata Baskoro.

Tahun 2015 ini, jumlah burung-burung migran yang melintas di Indonesia berkurang jauh. Baskoro menduga, faktor kebakaran hutan menjadi salah satu penyebab.

"Sebenarnya jumlah burung air yang melintas itu lebih banyak dibanding predator seperti elang. Secara alamiah, itu sudah seimbang sesuai rantai makanan. Burung-burung predator memburu hanya satu dua ekor saja, saat lapar. Justru yang berbahaya adalah perburuan manusia," kata Baskoro.

Menurut dia, Indonesia sudah meratifikasi aturan yang memberi konservasi kawasan. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi tempat transit para penerbang lintas benua itu.

"Isi konvensi tersebut adalah memberikan perlindungan terhadap kawasan yang dilintasi burung migran. Artinya, menjadi kewajiban pemerintah untuk mengawasi dan melindunginya. Tapi di lapangan, semua tidak berdaya," kata Baskoro.

Ironis memang. Saat burung-burung itu mencoba survive dengan bermigrasi mencari udara yang lebih hangat, ternyata ancaman tak berhenti. Dan ancaman terbesar justru dari manusia. Karena memangsa bukan karena lapar, melainkan karena serakah.

Lihat saja di warung-warung yang menjual daging burung liar ini, biasa disebut warung iwak manuk. Meski warungnya sederhana, yang menyantap atau pembelinya didominasi kaum bermobil bagus. Bahkan jejeran mobil premium sekelas Mercedes, Mini Cooper, Porsche, BMW, Lexus juga menjadi pemandangan biasa.


Belibis goreng (Edhie Prayitno Ide/Liputam6.com)

"Beda mas. Saya nggak tahu apa sebabnya. Tapi iwak manuk lebih gurih. Mungkin karena hidup di alam liar ya," kata Adi yang datang ke Warung Iwak Manuk Randugarut bersama istrinya dengan mengendarai Mini Cooper merah maron.

Hal luar biasa akhirnya mudah dimaklumi jika penyantap burung-burung migran itu adalah kaum berduit. Untuk seporsi belibis goreng, tercantum harga antara Rp 60 ribu-Rp 75 ribu. Belum lagi burung jenis bebek alaska. Untuk menu ini, harganya lebih murah karena burung migran ini sudah bisa diternakkan. Demikian juga dengan itik Kamboja.

Tengah hari, biasanya menjadi puncak kepadatan warung-warung iwak manuk itu. Sementara Budi Rahayu sang pemburu belibis, juga sudah mengakhiri perburuannya, untuk kemudian mengulang di senja hari.

"Sekarang susah cari belibis. Tiap tahun jumlahnya terus turun," kata Budi.

Hari ini, Sabtu (7/11/2015), Budi mendapatkan 23 ekor buruan. Menurutnya itu menurun jauh. Namun ia optimis, sore harinya akan mendapat buruan lebih banyak. "Seadanya mas. Nggak harus belibis. Yang penting dapat uang dan keluarga bisa makan," ujar Budi. (Ron/Sun)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya