Kesaksian Ibunda Eko Si Bocah SD Tulang Punggung Keluarga

Sambil menangis Dewi meminta agar Eko menjadi anak yang pandai, agar kelak hidupnya tak sengsara seperti dirinya.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 09 Feb 2016, 16:02 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2016, 16:02 WIB
Ini Penuturan Ibunda Eko si Bocah SD yang Menghidupi Keluarganya
Sambil menangis Dewi meminta agar Eko menjadi anak yang pandai, agar kelak hidupnya tak sengsara seperti dirinya.

Liputan6.com, Semarang - Sebelum berjualan makaroni goreng keliling dengan sepeda, Eko Adi Prasetyo (9) adalah bocah kelas 2 SD biasa. Sebagaimana bocah seumurannya, ia suka bermain-main mencari ikan Gobi di got-got perumahan, mengejar layangan putus, atau bermain sepak bola di jalan.

Masa kanak-kanak Eko mendadak sirna saat ibu kandungnya, Dewi (30), menderita penyakit batu ginjal. Ia tak lagi bisa bermain-main atau menemani ibunya berjualan keliling.

Ia kini menjadi tulang punggung keluarga untuk mempertahankan hidup ibu dan adiknya yang masih berusia 2 tahun. Satu-satunya cara yang dilakukan adalah berkeliling menjajakan makroni goreng untuk menopang hidup keluarganya.

Kepada Liputan6.com, Dewi menuturkan, setelah ayah Eko meninggal dunia, ia berusaha mencarikan sosok ayah yang bertanggungjawab agar Eko bisa berkembang dengan kasih sayang ayah dan ibu. Maka, ia pun menikah lagi.

Malangnya, ketika ia mengandung, ternyata suaminya malah pergi tanpa pesan dan tanpa pamit. Barangkali karena tak mau mengingat lelaki yang dianggap menyengsarakan itu, Dewi tak bersedia menyebutkan nama suami keduanya.

Sejak itu Dewi bertekad hidup mandiri sebagai single parent. Ia memilih berjualan makanan ringan secara berkeliling.

"Saya kemudian berjualan. Itu sudah sejak 2 tahun lalu, saat adiknya Eko lahir," kata Dewi di rumah kostnya yang sempit di Jalan Pedurungan Tengah IX RT 07 RW 02, Pedurungan Tengah, Semarang.

 

Dewi yang matanya beberapa kali berkaca-kaca menahan tangis, menuturkan kisah sakitnya. Enam bulan lalu, sepulang berjualan, ia merasa lemas, nafasnya terengah-engah.

Kemudian saat buang air kecil, ia merasa kesakitan yang sangat. Berbekal uang yang ada, ia berobat ke Puskesmas. Oleh dokter disampaikan bahwa ia menderita infeksi saluran kandung kemih.

"Saya tetap mencoba berjualan tapi ternyata kok semakin sakit. Jalan sebentar juga sakit. Setelah ke rumah sakit (RSUD Kota Semarang) dikasih itu (hasil rontgen) tapi saya tidak bisa bacanya. Ternyata batu ginjal," kata Dewi.

Ketika kondisinya sangat drop, ia nyaris putus asa. Malam sebelum tidur sambil mengelus-elus kepala Eko, Dewi menceritakan penyakitnya kepada anak sulungnya itu.

Detik-detik Mengharukan Ibu dan Anak

Inti ceritanya, ia meminta agar Eko menjadi anak yang pandai, agar kelak hidupnya tak sengsara seperti dirinya. Selain itu ia mengajak Eko lebih giat berhemat karena sudah tidak bisa lagi berjualan keliling.

"Saya bilang, 'nggak perlu sedih, karena kita masih bisa jualan di rumah'. Saya juga menyampaikan, tentu hasilnya tidak sebanyak kalau keliling," kata Dewi.

Saat diceritakan itu Eko diam memperhatikan. Namun tiba-tiba ia meminta izin ibunya untuk berjualan keliling, menggantikan tugas sang ibu. Merasa anaknya masih terlalu kecil, Dewi berusaha melarang.

"Dia bilang saya tidak perlu jualan keliling, terus bilang, 'saya saja yang jualan, bu'. Saya kaget dan terharu. Saya sudah sempat melarang dan mengatakan kalau nanti banyak yang mengira saya memanfaatkan dia. tapi ternyata dia tetap ngotot, dia bilang enggak apa-apa," kata Dewi.

Saat ibunya bercerita, Eko sibuk membungkus makaroni goreng yang hendak dijual. Namun ketika mendengar ibunya bercerita bahwa Eko tak diberi izin berjualan Eko menyahut.

"Kan buat makan, buat bantu ibu, ingin buat berobat ibu," kata Eko.

Beruntunglah Eko. Saat dulu menemani ibunya berjualan, ia sempat diberi sepeda mini bekas oleh salah seorang pelanggannya. Akhirnya sepeda itupun dimodifikasi sendiri menggunakan papan yang diikat kawat, sebagai bagasi guna menaruh kardus bekas di stang bagian depan.

Kardus itulah yang digunakan untuk membawa makaroni goreng yang ia jajakan ke perkampungan di Pedurungan Tengah.

"Awalnya, tiga hari berturut habis terus, tapi setelah itu ya sisa-sisa sedikit. Dia pulang sekitar jam 17.00, kalau dia Maghrib belum pulang saya khawatir sekali," kata Dewi.

Makroni yang dijual Eko Rp 1.000 per bungkusnya itu memang tidak bisa menopang banyak untuk kehidupan mereka. Dewi pun tidak lantas bertopang dagu, ia tetap berjualan beberapa bahan makanan di kamar kosnya.

Dewi juga bersyukur beberapa orang baik terkadang datang memberi bantuan termasuk tentang sekolah Eko.

"Seharusnya Eko kelas 3, tapi dulu setelah dari Madrasah Iptidaiyah (MI) nganggur setahun. Terus ada guru SDN Pedurungan Tengah 02 yang datang dan minta Eko sekolah. Semua gratis," kata Dewi.

Setelah kisahnya ditulis oleh Ika Yulianti di akun facebook, saat ini bantuan mulai berdatangan. Rata-rata mereka mencari Dewi dan Eko sekedar berbagi rejeki untuk memperpanjang hari-harinya.

"Mbak Ika yang menolong kami. Sejak beliau berkunjung dua kali, alhamdulillah dagangan saya makin variatif. Eko juga tak harus berjualan tiap hari, apalagi ini musim hujan," kata Dewi.

Kepada Liputan6.com, Ika Yulianti berkirim pesan, ia menulis kisah Eko, tidak dimaksudkan untuk menggalang dana atau sejenisnya. Ia hanya ingin berbagi kisah, masih ada anak kecil yang pantang menyerah.

"Semoga kisah saya menginspirasi banyak orang. Jika kemudian mendatangkan manfaat bagi dik Eko, saya turut bersyukur," kata Ika.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya