Kisah Pilu Maestro Seni Sakral di Jembrana

Saat era penjajahan sampai masa Jepang, tari Berko sangat fenomenal. Maestronya kini prihatin.

oleh Dewi Divianta diperbarui 22 Mar 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2016, 09:00 WIB
Kisah Pilu Maestro Seni Sakral di Jembrana
Saat era penjajahan sampai masa Jepang, tari Berko sangat fenomenal. Maestronya kini prihatin.

Liputan6.com, Jembrana - Penyandang gelar maestro tari Berko (seni sakral dan langka) di Jembrana yakni pasangan suami istri Nengah Tuntun (95) dan Ni Ketut Nepa (90) sangat memilukan hati. Pasangan ini masih harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pasutri asal Lingkungan Pancar Dawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana itu adalah merupakan seniman berko yang masih ada.

‎Kesenian Berko merupakan kesenian tua dan sakral dari daerah Jembrana. Kesenian itu memadukan gamelan dari bambu dan gamelan perunggu yang dipadukan dengan indahnya sebuah tarian.

"Dulu waktu zaman penjajahan, sekitar tahun 1925‎ kesenian ini sempat berjaya. Saya bersama suami sering tampil keliling ke desa-desa. Bahkan sampai ke Puri (kerajaan) dan kadang diundang oleh pemerintah Jepang kala itu," kenang Nepa di kediamannya, Jembrana, Senin (21/3/2016).

 



Pada saat Jepang berjaya di negara Indonesia pada tahun 1942 hingga 1945 para tentara Nippon sangat menggemari kesenian tersebut. Nepa mengaku bersama suami kala itu adalah seniman terlaris.

"Pada jaman itu, kami tidak memikirkan upah penari. Bagi kami bisa tampil menari kami puas. Tapi kadang-kadang ada yang memberi kami uang atau beras sebagai imbalan,". Tutur Nepa.

Saat itu seni beko sangat fenomenal, sehingga Nepa dan suaminya memutuskan menekuninya. Sehingga keduanya sempat mengajarkan seni tersebut kepada generasi muda dan menelurkan seniman baru bermunculan.

Namun, pada tahun 70-an seni berko mulai meredup dan puncaknya tahun 1980 seni ini tenggelam karena tidak ada perhatian dari pemerintah.

"Tapi kami berdua di rumah masih suka mengajarkan tari berko ini kepada anak-anak muda disini (Jembrana), walaupun tidak dibayar. Kami hanya ingin kesenian berko ini bangkit lagi," harapnya.

Sementara itu, pasangan ini di hari tuanya terbelenggu dengan kemiskinan‎. Kondisi rumah yang ditinggal Nepa dan suaminya di rumah berukuran 4x6 meter.

Dimana, dinding rumahnya pun masih terbuat dari bilik bambu dan lantai rumah dari Semen yang sudah sangat rusak.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya