Riwayat Gedung Saksi Bisu Perundingan RI-Belanda di Kaki Ciremai

Objek wisata sejarah yang erat hubungannya dengan kemerdekaan RI ini banyak didatangi pengunjung seperti saat liburan Lebaran.

oleh Panji Prayitno diperbarui 07 Jul 2016, 19:47 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2016, 19:47 WIB
Lingarjati
Objek wisata Gedung Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Kuningan - Hari kedua Lebaran, banyak warga mengisi dengan kegiatan liburan ke sejumlah objek wisata, baik yang memiliki nilai sejarah maupun kekayaan alam.

Salah satunya di objek wisata sejarah Gedung Perundingan Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Objek wisata di kaki Gunung Ciremai yang erat hubungannya dengan kemerdekaan Republik Indonesia ini banyak dikunjungi wisatawan baik dari dalam maupun luar Kabupaten Kuningan.

Ketika itu tepatnya 11-13 November 1946, Gedung Linggarjati menjadi saksi bisu pertemuan antara delegasi Indonesia dan Belanda. Para pejuang kemerdekaan Indonesia berunding untuk dapat diakui kemerdekaannya oleh Belanda hingga menghasilkan Naskah Persetujuan Linggarjati -- dua hari kemudian naskah damai ini ditandatangani di Jakarta.

Empat anggota delegasi dari pemerintahan Belanda dan empat wakil pemerintahan Indonesia berunding di gedung seluas 800 meter persegi ini. Mereka menginap di gedung ini selama tiga hari.

"Saya dari dulu di sini memimpin keprajuritan, jadi dibedakan urusan kelembagaan dan personal," ujar dia, Kamis (7/7/2016).

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili Sutan Syahrir, Amir Sjarifuddin, Moh Roem, AK Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, dan Soedarsono. Sementara Belanda mengutus tim yang disebut Komisi Jenderal dan dipimpin Wim Schermerhorn dengan anggota di antaranya HJ van Mook. Sedangkan Lord Killearn dari Inggris menjadi moderator.

Di lahan seluas 2 hektare ini Liputan6.com mencoba mengulas tentang ruang inap para delegator dan riwayat gedung perundingan. Selama perundingan berlangsung, para delegator menginap di dalam gedung perundingan.

Objek wisata Gedung Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Ada tersedia 8 kamar dengan masing-masing tersedia dua tempat tidur masing-masing hanya cukup untuk satu orang, wastafel dan lemari. Delapan kamar tersebut posisinya saling berhadapan.

Di antara delapan kamar delegator, masing-masing tidak memiliki kamar mandi dalam seperti halnya hotel-hotel yang ada saat ini. Hanya ada satu kamar yang ditempati Lord Killearn, utusan Inggris yang ditugaskan sebagai penengah dalam perundingan itu.

Semua fasilitas yang ada di kamar para delegator itu terbuat dari kayu jati. Hanya saja, rata-rata tempat tidur para delegator yang saat ini dipamerkan merupakan duplikat.

Selain kamar tidur, terdapat ruangan khusus untuk pertemuan kecil yang dilakukan Presiden pertama Indonesia Soekarno dengan delegasi Belanda.

Ketua Pengelola Gedung Perundingan Linggarjati Saom menyebutkan, bangunan bersejarah tersebut sejatinya adalah Hotel Merdeka milik pemerintah Indonesia saat itu.

"Bisa dibilang hotel ini merupakan saksi sejarah perkembangan Indonesia maupun Kuningan. Karena pengelolaannya sejak zaman Belanda sampai Jepang sebelum perundingan Linggarjati digelar," ucap dia, Kamis (7/6/2016).

Objek wisata Gedung Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Sejatinya pada 1918, dia menuturkan, gedung itu adalah rumah milik warga bernama Jasitem. Namun pada 1921, gedung tersebut dirombak oleh warga berkebangsaan Belanda bernama Tersana (Mergen) yang juga suami dari Jasitem.

"Pada tahun 1930 dibangun permanen dan menjadi rumah tinggal Jacobus (Koos) van Os warga berkebangsaan Belanda," lanjut dia.

Masuk di tahun 1935, gedung ini dikontrak oleh warga berkebangsaan Belanda Heiker dan resmi menjadi hotel bernama Rustoord. Hingga pada tahun 1942, Hotel Rustoord diambil alih tentara Jepang dan diganti nama menjadi Hotel Hokay Ryokan.

"Nah tahun 1945 ketika Indonesia merdeka hotel tersebut berhasil direbut oleh pejuang Indonesia dan diberi nama hotel Merdeka," ujar Saom.

Hingga memasuki tahun 1976, gedung tersebut resmi dikelola pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan museum.

"Saya tidak tahu kelanjutan pemilik asli gedung ini bagaimana. Sampai sekarang tidak ada kabarnya dan pemerintah sudah menganggap gedung ini sebagai bangunan cagar budaya dan milik negara," ia menegaskan.

Dan setiap libur Lebaran, jumlah kunjungan ke gedung Perundingan Linggarjati di Kuningan, penuh. Jumlahnya mencapai minimal 1.000 orang. Peningkatan pengunjung tersebut berbeda dengan hari biasa yang hanya mencapai 100 orang. "Bahkan kurang pengunjung kalau di hari biasanya," sebut Saom.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya