Liputan6.com, Selayar - Kepulauan Selayar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang terkenal dengan kekayaan alamnya, khususnya di sektor kelautan. Eksotika bawah laut yang begitu memanjakan mata hingga budaya unik masyarakatnya yang masih terjaga hingga saat ini.
Tak hanya itu, pulau yang ditempuh sekitar enam jam dari Kota Makassar itu juga memiliki sejumlah cerita rakyat alias mitos yang hingga saat ini menjadi buruan para pencinta travelling. Di antaranya, kisah keberadaan kampung tertua di pulau yang beribu kota di Benteng.
Kampung tertua itu dikenal dengan sebutan Toa Bitombang. Saat berkunjung ke kampung itu, kita akan menemukan beberapa rumah yang usianya berkisar 500 tahun.
Baca Juga
Advertisement
Selain usia yang tua, bentuk rumahnya pun terbilang sangat unik karena memiliki penyangga hanya dari sebuah batang pohon yang panjangnya dari 4 meter hingga 15 meter.
Meski penyangga rumah dilihat hanya batang pohon, sesungguhnya itu bukan pohon biasa. Peyangga merupakan batang pohon kayu bitti atau holasa yang dikenal masyarakat setempat memiliki kualitas yang sangat baik dan cukup kuat bisa bertahan hingga ratusan tahun.
Keunikan lainnya, rumah berusia ratusan tahun itu juga hanya terbuat dari bambu yang tersusun rapi, sehingga ketika hujan air tak masuk.
Kampung Toa Bitombang ini tepatnya terletak di Desa Toa Bitombang, Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontobangun, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Untuk ke sana, diperlukan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer dari Kota Benteng, Kabupaten Selayar.
Hanya Tinggal 6 Rumah
Perjalanan ke Kampung Toa memang cukup menegangkan karena melalui jalan yang sempit, terjal, dan sedikit mendaki. Hal itu karena letak Kampung Toa yang berada di daerah perbukitan batu.
Menurut Abdul, warga asli setempat, saat ini rumah yang berusia tua dan unik di Kampung Toa hanya tinggal beberapa rumah dari sebelumnya berjumlah ratusan rumah. Hal itu seiring berkembangnya pertumbuhan ekonomi masyarakat di Kampung Toa.
"Jadi, ada beberapa warga setempat yang sudah mapan ekonominya itu sudah mengubah rumahnya menjadi bentuk modern. Sehingga, yang tersisa masih ada sekitar enam unit rumah yang masih menjaga keaslian bentuknya " ucap Abdul, Selasa (11/10/2016).
Tiang rumah yang tinggi atau panjang itu, kata Abdul, dipercaya masyarakat Kampung Toa berpengaruh pada usia. Meski bagi orang lain itu adalah mitos, warga setempat masih meyakini hal itu dengan teguh. Terbukti, penduduk asli Kampung Toa ada yang masih hidup dalam usia berkisar 90 tahunan.
"Rumah adat yang usianya sudah ratusan tahun itu disebut oleh masyarakat dengan nama "Sapo" dan penghuni rumah adat tersebut merupakan keluarga yang turun-temurun," kata Abdul.
Abdul menjelaskan tiang penyangga bagian depan rumah tingginya 3 meter, sementara di bagian belakang, tiang penyangganya setinggi 13 hingga 15 meter, sehingga rumah tampak berada di atas permukaan tanah dengan jarak yang cukup tinggi. Hal itu, kata Abdul, disebabkan topografi Kampung Toa yang berbukit.
Tak hanya ditopang dari tiang penyangga yang berasal dari bahan kayu yang kuat, warga meyakini kekuatan rumah juga ditopang oleh khasiat doa dari warga sekampung.
"Cerita orang tua dulu di sini bahwa rumah di sini itu dibangun dibantu dengan kekuatan mistis. Di mana bila ada seorang warga yang hendak membangun rumah, warga satu kampung akan membantu dan mendoakannya agar tidak runtuh meski dimakan zaman," kata Abdul.
Tak hanya memiliki rumah yang usianya ratusan tahun, masyarakat Kampung Toa rata-rata sudah berusia lanjut. Meski begitu, mereka tetap melaksanakan aktivitas berkebun dan beternak.
"Di sini, meski sudah tua, tapi tetap produktif berkebun seperti pada umumnya," ucap Abdul.
Advertisement