Liputan6.com, Makassar - Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Di Sulawesi Selatan ada suatu peristiwa bersejarah yang hingga kini senantiasa dikenang, yakni tragedi pembantaian terhadap 40 ribu pejuang dan warga oleh militer Belanda pada 11 Desember 1946.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan itu pun digelar di Kota Makassar. Hanya saja, peringatan tahun ini diisi dengan pemberian sembako kepada 120 keluarga pejuang yang gugur saat pembantaian pasukan Belanda.
Para keluarga pejuang tampak gembira. Kendati, pemberian sembako tersebut tak sepadan dengan jasa para pejuang yang berkorban nyawa melawan penindasan militer Belanda yang dipimpin Kapten KNIL Reymond Paul Pierre Westerling kala itu.
"Ini saja sudah cukup nak. Alhamdulillah kami keluarga para pejuang masih diperhatikan meski kebutuhan kami belum terpenuhi seluruhnya," ucap salah seorang keluarga pejuang yang tak mau disebutkan namanya usai mengikuti peringatan di Monumen Korban 40.000 Jiwa di Kota Makassar, Minggu, 11 Desember 2016.
Advertisement
Baca Juga
Dalam peringatan pembantaian massal itu, sebanyak 120 keluarga para pejuang korban 40.000 jiwa menerima bantuan berupa mi instan, susu, gula pasir, dan minyak goreng.
Bantuan simbolis tersebut diserahkan langsung Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu'mang, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto, dan Wakil Wali Kota Makassar Syamsu Rijal MI.
"Ada 120 keluarga pejuang korban 40.000 jiwa kita beri bantuan sembako," kata Kepala Dinas Kota Makassar Mukhtar Tahir.
Menurut dia, pemberian bantuan tersebut untuk menghargai jasa para pejuang yang telah merelakan nyawanya demi kemerdekaan dan kebebasan. Selain itu, sekaligus sebagai motivasi kepada seluruh generasi untuk tetap semangat berjuang walaupun perjuangan bukan dengan fisik.
Kekejaman Pasukan Westerling
Hari Korban 40.000 Jiwa diperingati setiap 11 Desember untuk mengenang pembantaian rakyat Sulawesi Selatan oleh serdadu Belanda di bawah pimpinan Kapten KNIL Reymond Paul Pierre Westerling.
Aksi brutal Belanda itu dimulai pada 11 Desember 1946 setelah Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook, memaklumkan keadaan darurat perang di sebagian besar daerah Sulawesi Selatan, meliputi kota praja Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain (Bantaeng), Parepare, dan Mandar.
Atas perintah Jenderal S Poor, Panglima KNIL di Jakarta, maka Komandan KNIL di Sulawesi Selatan, Kolonel HJ de Vries mengeluarkan surat perintah harian pada 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara Belanda di bawah komandonya agar serentak menjalankan operasi pengamanan.
Operasi dilakukan berdasarkan keadaan darurat perang dengan melakukan tindakan tegas, cepat dan keras, tanpa kenal ampun dengan melaksanakan tembak di tempat tanpa proses.
Operasi pembersihan dan pembunuhan yang dipimpin Westerling berlangsung selama kurang lebih lima bulan, sampai ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan pada 22 Mei 1947.
Diperkirakan sekitar 40.000 rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, sehingga peristiwa itu disebut Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan.
Advertisement