Liputan6.com, Medan - Dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional yang jatuh pada 9 Desember 2016, Sentra Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR) Indonesia memberikan catatan penting. Menurut lembaga swadaya masyarakat atau LSM tersebut, tanda merah untuk Sumatera Utara (Sumut) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata bukan sekadar pertanda "membara".
Divisi Monitoring Korporasi SAHdaR David Jaka Handara mengatakan, karena selalu berulangnya permasalahan korupsi di Sumut, tidak lain karena di provinsi itu begitu kuat "intervensi" dalam hal perencanaan kegiatan dan penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta bantuan dana hibah dan sosial.
SAHdaR menemukan fakta bahwa dari banyaknya kasus korupsi yang terungkap, Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) menjadi "juara" pertama selama kurun waktu 2011 sampai 2016. Sebanyak 367 Perkara PBJ disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), diikuti dengan perkara non-PBJ sebanyak 175 perkara, di urutan kedua, pendapatan sebanyak 45 perkara, 10 perkara merupakan kasus suap/gratifikasi, dan terakhir diikuti oleh pelayanan umum sebanyak tujuh perkara.
"Hal ini bisa terungkap bukan karena hebatnya penegak hukum atau hebatnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, tetapi lebih dikarenakan sektor belanja lebih mudah diawasi dari pada sektor pendapatan," ucap David di Medan, Jumat, 9 Desember 2016.
Baca Juga
Menurut David, angkanya dan peruntukannya sudah jelas, tercantum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Berbeda dengan sektor pendapatan, angka tidak jelas dan sangat sulit menentukan angka pasti kerugian yang ditimbulkan. Hal ini menjadi salah satu jalan "bermain" seperti terungkap dalam kasus Panitia Khusus Pendapatan Asli Daerah (Pansus PAD) Sumut.
Ia menjelaskan, kerugian negara atau daerah yang diderita akibat terjadinya korupsi di sektor PBJ selama kurun waktu 2011 sampai 2016 Semester I juga cukup fantastis, sebesar Rp 359.445.521.516. Sedangkan kerugian dari sektor non-PBJ sebesar Rp 343.190.987.276, sektor pendapatan Rp 163.901.673.553 dan terakhir di sektor pelayanan publik Rp 9.929.383.040. Alhasil, total kerugian akibat tindak pidana korupsi dari empat sektor di atas selama enam tahun terakhir ini berjumlah Rp 876.467.565.385.
"Dua jumlah ini merupakan nilai riil kerugian yang diakibatkan oleh kasus korupsi," ujar dia.
Sementara itu, lanjut dia, jumlah potensial kerugian keuangan negara akibat adanya kasus-kasus korupsi di atas adalah sebesar Rp 5.426.659.686.574. Nilai ini menjadi sangat besar karena akibat kerugian riil yang timbul dari kasus korupsi tersebut, berdampak secara langsung kepada kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Sektor-sektor teratas sepanjang 2011 hingga 2016 yang paling terdampak akibat korupsi PBJ adalah Pekerjaan Umum sebanyak dua puluh tujuh (27) kasus dengan total kerugian Rp 136.079.173.001, Kesehatan dua puluh tiga (23) kasus dengan total kerugian Rp 117.453.721.573, diikuti dengan Pendidikan sebanyak enam kasus dengan total kerugian Rp 3.659.688.699.
"Kesemuanyan telah diungkap dan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan," David menjelaskan.
Advertisement
Modus Selalu Sama
David juga berpendapat, pola korupsi dalam PBJ yang ditemukan dengan modus yang umum terjadi di semua tempat di Indonesia. Belum ada cara "baru" untuk merampok uang negara melalui sektor PBJ.
"Artinya memang tidak terjadi kreativitas dan inofasi dalam korupsi," sebut dia.
Semuanya, sebut David, dimulai dari tahapan perencanaan, di mana banyak terjadi lobi yang dilakukan oleh rekanan kepada Kuasa Pengguna Anggaran, sehingga banyak proyek PBJ tidak berbasis kebutuhan.
Masalah di panitia lelang, misalnya, tiga peserta yang tidak memenuhi kualifikasi, Harga Perkiraan Sementara (HPS) bermasalah dan permainan harga, dan ditahap penyerahan barang dan jasa terjadi permainan mark down. Terakhir permasalahan tim pengawas lapangan.
"Selain permasalahan tersebut, ditemukan masalah lain seperti "mencincang" anggaran agar terhindar dari proses lelang, dan "permainan" penunjukan langsung yang tidak sesuai aturan," ia membeberkan.
Lebih lanjut David mengungkapkan, Kuasa di Penggunaan Anggaran juga menjadi catatan tersendiri dalam kasus PBJ. Sebab dalam kasus korupsi di sektor ini, SAHdaR menemukan bahwa penentuan pemenang lelang sangat ditentukan kuasa dari bupati/wali kota (conflict of interest).
"Walaupun sistemnya telah terbuka, tetapi sektor ini menjadi sektor yang paling rentan dikorupsi, karena kurangnya pengawasan, akuntabilitas, integritas, dan pengetahuan dalam kegiatan pengadaan. Di samping permasalahan tersebut, juga tidak terlepas dari peran kepala daerah yang memiliki conflict of interest dalam proses PBJ," David menyebutkan.
Dan terakhir, SAHdaR menyoroti kinerja Badan Pemeriksa Keuangan yang "senang" memberikan label WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Namun faktanya, pada waktu yang bersamaan di tempat itu justru terungkap kasus korupsi.
"Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pertama, perlu dilakukan revisi terhadap Perpres No 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Perpres No 54 Tahun 2010 agar memuat pencegahan conflict of interest. Kedua, perlu dilakukan evaluasi terhadap metode pelatihan dan sertifikasi PBJ. Ketiga, implementasi aplikasi E-Budgeting, E-Monitoring, E-Planning, E-Proceurement. Keempat adalah penguatan sistem pelayanan terpadu satu pintu. Serta Reformasi di tubuh BPK RI dan BPKP," David memungkasi.
Advertisement
KPK Sebut Daerah Darurat Korupsi
KPK menganggap Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Banten menjadi daerah yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Dengan koordinasi dan supervisi (korsup) bidang pencegahan dan penindakan yang terintegrasi, KPK mendampingi agar provinsi tersebut bisa melepaskan diri dari jerat korupsi.
Jika tingkat korupsi ditandai warna merah, bisa jadi peta ketiga provinsi akan sangat menyala. Sumatera Utara, Riau, dan Banten, saat ini dalam kondisi "membara". Kasus demi kasus korupsi menerpa pejabat di ketiga provinsi. KPK pun mencatatnya sebagai daerah dengan darurat korupsi.
Dalam konteks itulah, KPK melakukan koordinasi dan supervisi. Namun tidak seperti korsup pencegahan tahun-tahun sebelumnya, agar lebih efektif maka kali ini korsup dilakukan terintegrasi antara bidang pencegahan dan penindakan.
"Yang tahu persoalan utama sebuah kasus adalah bidang penindakan. Nah, hasil temuan bidang penindakan tersebut, akhirnya menjadi acuan bidang pencegahan," kata Ketua Tim Korsup KPK Wilayah Sumut Adlinsyah M Nasution, beberapa waktu lalu, yang dikutip Liputan6.com dari laman resmi KPK, kpk.go.id, Minggu (11/12/2016).
Perbedaan pola korsup tentu menimbulkan perbedaan pelaksanaan. Pada korsup pencegahan sebelumnya, KPK hanya melakukan satu kegiatan, yakni bekerja sama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ketika itu, BPKP yang melakukan review dan menyampaikan rencana aksi dari hasil review tersebut masing-masing wilayah.
Swkarang, menurut Adlinsyah M, pada korsup kali ini yang melakukan review adalah KPK. Dari review awal tersebut, KPK mengeluarkan rekomendasi dan rencana aksi. Selanjutnya, pemprov harus melaksanakan rencana aksi dan KPK memonitor pelaksanaannya.