Gelatik, Alarm Kekerasan Anak ala Fatayat NU

Lewat program Gelatik, seluruh anggota Fatayat NU bisa bergerak ketika mendengar atau melihat tindakan kekerasan terhadap anak.

oleh Fajar Eko Nugroho diperbarui 14 Des 2016, 18:31 WIB
Diterbitkan 14 Des 2016, 18:31 WIB
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)

Liputan6.com, Brebes - Melihat kasus kekerasan terhadap anak di berbagai strata atau lapisan masyarakat, Fatayat NU menggaungkan Gerakan Perlindungan Anak Indonesia dari Tindak Kekerasan (Gelatik).  

Terbukti grafik tindak kekerasan terhadap anak setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi demikian menjadi keprihatinan Fatayat NU sebagai organisasi wanita muda di Nahdlatul Ulama.

Ketua Pimpinan Pusat Fatayat NU Anggia Ermarini menjelaskan, sepanjang kurun waktu 2011-2014, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 11.623 pengaduan kasus kekerasan pada anak dengan klaster yang berbeda.

"Angka yang paling tinggi berupa kekerasan dari keluarga dan pengasuhnya sebanyak 2.219 dan kekerasan seksual mencapai 2.124 kasus," ucap Anggia Ermani di Brebes, Jawa Tengah, Selasa, 13 Desember 2016.

Lewat program Gelatik, seluruh anggota Fatayat NU bisa bergerak ketika mendengar atau melihat tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, Gelatik menjadi alarm saat kekerasan terhadap anak terjadi.

Menurut dia, partisipasi Fatayat dan seluruh elemen untuk menanggulangi masalah kekerasan bisa menjadi solusi mengurangi kasus ini. Kesadaran untuk menjaga anak sebenarnya menjadi tanggung jawab bersama sehingga harus bersinergi.

"Selama ini, masalah-masalah anak terjadi karena orangtua kurang peduli, anak yang tak mampu memahami situasi hingga kurangnya komunikasi antar keluarga," Anggia menambahkan.

Dia mengatakan pula, sekitar 90 persen tindak kekerasan terhadap anak dilakukan orangtua sendiri. Untuk itu perlu ditanamkan sikap dan sifat bahwa perlindungan tidak hanya untuk anak biologisnya sendiri, tetapi semua anak di sekitar komunitas.

"Ayo, semua menjadi penjaga dan pelindung anak," ujar Anggia.

Ia pun menyarankan agar semua pihak selalu mendeteksi dini terhadap tindak kekerasan pada anak. Ini mengingat berat bagi seorang ibu bila menanggung sendiri beban tugas ini.

"Apalagi ketika anak mulai belajar dan mampu membedakan manis asam pahit. Tentu, kita harus mendidik maksimal dengan akhlak mulia. Seorang ibu, paling berbakat membentuk anak yang berakhlak mulia," kata Anggia.

4 Zona Merah

Fatayat NU
Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini memaparkan soal kekerasan terhadap anak. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Ketua PP Fatayat NU Anggia Ermarini mengungkapkan pula, angka kekerasan terhadap anak sangat tinggi di Jawa Tengah. Lantaran itulah, Fatayat wajib hukumnya untuk bergerak sama-sama peduli terhadap anak.

Dia memaparkan ada empat daerah yang tindak kekerasannya tinggi sebagai zona merah, yakni di Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Wonosobo.

"Fatayat Jateng, bertekad jadi garda terdepan, dalam gerakan kampanye anti kekerasan terhadap anak," ujar Anggia.

Melindungi dan menjaga anak, kata dia, bukan berarti memanjakan anak. Memastikan, kalau anak-anak dan lingkungan anak dalam keadaan aman. Sebab, anak menjadi aset bangsa yang nilainya tak tertandingi.

"Seorang anak tidak bisa putus dalam tali keluarga, kendati suami atau istri bisa terputus karena perceraian," Ketum Fatayat NU itu memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya