Liputan6.com, Bandung – Saung Angklung Udjo merupakan warisan penting Udjo Ngalagena tak hanya bagi keluarga, tetapi juga dunia. Di tempat yang berlokasi di Jalan Padasuka Nomor 118, Kota Bandung itu, pengunjung bisa belajar mengenal dan mencintai angklung.
Sam Udjo, anak kedua dari 10 bersaudara itu bercerita, sang ayah menyukai angklung sejak masih anak-anak. Selain angklung, Udjo Ngalagena juga menyukai calung. Ia mempelajari alat musik dari bambu itu dari pengamen angklung yang dikenal dengan sebutan Panja Repot.
Beranjak remaja, Udjo memperdalam wawasannya soal angklung, baik terkait teori maupun teknik memainkannya. Iaa belajar langsung dari pembuat angklung, yakni Daeng Soetigna. Pertemuannya dengan Daeng itu membukakan jalan bagi Udjo untuk menggeluti bidang angklung.
Baca Juga
Advertisement
"Saat itu, bapak murid sekolah di SGA (Sekolah Guru bagian A) dan Pak Daeng pengajarnya. Bapak ditugaskan Pak Daeng untuk dibuatkan angklung tangga nada daerah ke diatonis untuk kegiatan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955," kata Sam Udjo saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa, 25 April 2017.
Angklung pada masa itu lebih dikenal sebagai pengiring acara ritual. Udjo Ngalagena yang semakin menggeluti angklung melaraskannya dengan gamelan. "Bapak mengajak tetangga sekitar untuk bermain angklung," tutur Sam Udjo.
Menurut Sam Udjo, sebagian pendapatan bapaknya disisihkan untuk membuat angklung karena mimpinya untuk mewujudkan angklung mendunia. Sedangkan untuk pendidikan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, keluarga besar itu mengandalkan gaji istri Udjo Ngalagena, Uum Sumiyati.
Mimpi Udjo perlahan mulai terwujud dengan berdirinya sanggar di Jalan Padasuka yang menjadi cikal bakal SAU pada 1966. Dua tahun kemudian, enam turis mancanegara pertama berkunjung ke SAU. Mereka berasal dari Prancis.
"Mereka (turis) dibawa oleh biro perjalanan Nitour. SAU sendiri kondisinya masih sangat sederhana," tutur Sam Udjo.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang mengunjungi SAU. Kesabaran Udjo Ngalagena dalam menggeluti angklung membuahkan hasil. Pada 1973, Yayasan SAU didirikan. Setahun kemudian, SAU berubah menjadi Commanditaire Vennootschap atau CV.
"Untuk mewujudkan mimpinya, bapak sampai mengajar sambil sekolah. Bapak juga memproduksi angklung sendiri," ujarnya.
Saung Angklung Udjo Jadi PT
Perjalanan panjang dan konsisten itu dibarengi dengan kesederhanaan yang selalu ditunjukkan Udjo. Seiring dengan berkembangnya SAU, Udjo pun terus memperkenalkan angklung hingga ke luar negeri, termasuk melatih angklung.
"Saya salut sama bapak karena bermental baja. Semata apa yang beliau lakukan bukan untuk tujuan komersil, tapi karena sudah menyenangi angklung itu sendiri," kata Sam Udjo.
Seiring waktu, dukungan pada SAU semakin bertambah. Tidak hanya masyarakat, pemerintah setempat juga melihat Saung Angklung Udjo sudah semakin matang. Tahun 1992, SAU sudah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Putra-putri Udjo Ngalagena lah yang saat ini mengurusi SAU.
Tempat pertunjukan yang dulunya kecil, kini sudah menjadi lebih luas dengan daya tampung 400 orang. Selain itu terdapat toko suvenir, kantor, ruang serba guna, ruang workshop, ruang perajin, kantin dan halaman parkir.
"Rata-rata per hari pengunjung sekitar 300 orang. Sebagian besarnya siswa-siswi sekolah," ujar Sam Udjo.
SAU juga telah mewujudkan mimpi untuk membawa angklung mendunia. Rombongan Saung Angklung Udjo pernah mementaskan pertunjukan angklung di berbagai kota di Eropa, Amerika dan Asia.
"Kepada kami bapak meminta agar SAU tetap dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya. Beliau juga berpesan agar pendidikan jangan sampai dilupakan," kata Sam Udjo.
Advertisement