Liputan6.com, Sragen - Sodimejo alias Mbah Gotho akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Lelaki asal Sragen, Jawa Tengah, yang diduga berusia 146 tahun, wafat pada Minggu sore tadi.
"Mbah Gotho meninggal tadi sekitar pukul 17.45 WIB," ujar Suryanto, salah satu cucu Mbah Gotho, Minggu (30/4/2017) malam.
Jenazah Mbah Gotho yang disebut sebagai manusia tertua abad 21 itu akan dimakamkan di kampung halamannya. Tepatnya di Dusun Temeng, Desa Segaran, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Baca Juga
"Simbah dimakamkan besok Senin (1 Mei 2017), pukul 11.00 WIB," ucap Suryanto, cucu Mbah Gotho, Minggu (30/4/2017) malam.
Suryanto menjelaskan sejak enam hari terakhir, kakeknya sudah tidak mau makan. Jika disuapi, pasti Mbah Gotho bilang akan ambil makan sendiri jika memang ingin makan.
Cucu Mbah Gotho itu menambahkan, sekalipun kakeknya tidak mau makan, tapi masih bisa berkomunikasi.
Advertisement
Tak Betah Dirawat di RS
Mbah Gotho sebelumnya dibawa ke rumah sakit pada Rabu, 12 April 2017. Warga Segaran, Cemeng, Sambungmacan, Sragen, tersebut sempat memberontak ketika hendak dirawat di rumah sakit.
Cucu Mbah Gotho, Suryanto, menjelaskan sang kakek biasanya hanya masuk angin. Lazimnya ia hanya dikerok oleh keluarga. Baru kali ini Mbah Gotho dilarikan ke rumah sakit.
"Ini pertama kalinya dalam hidup simbah berurusan dengan jarum suntik dan infus," ujar Suryanto kepada Liputan6.com di ruang kamar perawatan Mbah Gotho di Bangsal Wijaya Kusuma RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen, Kamis, 14 April 2017.
Karena itu, Mbah Gotho sempat beberapa kali memberontak. Ia benar-benar merasa tak nyaman dengan jarum suntik dan infus. Bahkan saking frustrasinya, ia meminta kepada Suryanto untuk membunuhnya dengan membuangnya ke Bengawan Solo.
Mbah Gotho akhirnya pulang dari rumah sakit pada Senin siang, 17 April 2017. Lelaki berusia 146 tahun itu memaksa pulang meski kesehatannya belum paripurna.
Suwarni, istri salah satu cucu Mbah Gotho mengatakan, kakeknya terus memaksa ingin pulang. Walau dokter belum mengizinkan pulang, dokter tak bisa menahan Mbah Gotho lebih lama di rumah sakit.
"Simbah pulang tadi siang, sekitar jam 12.00 WIB, " kata Suwarni, istri Suryanto, cucu Mbah Gotho kepada Liputan6.com.
Mbah Gotho dirawat di kamar nomor X bangsal Wijayakusuma RSUD Soehadi Prijonegoro, Sragen, karena mengalami melena karena kurangnya asupan makanan.
Suwarni menjelaskan, selama dirawat di rumah sakit, Mbah Gotho menghabiskan tujuh kantong darah golongan O. Lelaki yang gemar merokok itu ditransfusi darah lantaran kondisinya menurun.
Advertisement
Disebut Manusia Tertua Abad 21
Mbah Gotho dikenal lantaran disebut sebagai manusia tertua di abad 21. Dalam kartu tanda penduduk yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Sragen, Sodimejo lahir pada 31 Desember 1870. Ini berarti, Mbah Gotho sudah lebih dulu lahir sekitar 7,5 dekade sebelum Presiden Soekarno mengumandangkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Ihwal tahun kelahiran Mbah Gotho, kata Suryanto, itu dituliskan petugas. Kepala Dinas Dukcapil Kabupaten Sragen Wahyu Lwiyanto tak menampik soal itu. Dia mengaku, ada alasan kenapa Mbah Gotho dituliskan lahir pada 1870. Wahyu menyebut, pembangunan pabrik gula Gondang menjadi dasar tahun kelahiran Mbah Gotho.
"Beliaunya menceritakan saat berusia 10 tahun, dia menunggui pembangunan pabrik gula Gondang. Pabrik gula itu sendiri dibangun tahun 1880," ucap Wahyu kepada Liputan6.com, pertengahan September 2016.
Pencatatan tahun dalam KTP Mbah Gotho, memang belum diverifikasi lebih lanjut. Namun Bupati Sragen Yuni Sukowati mengaku dirinya justru bangga dengan keberadaan Mbah Gotho. Dia pun bersyukur Mbah Gotho masih sehat wal afiat. Apalagi, kabar soal Mbah Gotho kini sudah mendunia dan menyedot perhatian banyak pihak.
Bagi Yuni, keberadaan Mbah Gotho memberikan angin segar untuk Sragen, Menurut dia, Mbah Gotho menjadi pembuka langkah Pemerintah Kabupaten Sragen untuk menata sejumlah hal, termasuk aspek pariwisata, yang diprediksi naik lantaran kabar keberadaan orang tertua di dunia. "Sekarang diawali dengan adanya Mbah Gotho. Ini suatu langkah yang baik," ujar Yuni kepada Liputan6.com di Kantor Bupati Sragen, Jalan Sukowati, Sragen, Jawa Tengah, Selasa, 13 September 2016.
Namun di sisi lain, Yuni menyadari, pengakuan tentang usia ini bisa jadi polemik. Menurut Yuni, perlu ada verifikasi atas keterangan yang disampaikan Mbah Gotho soal usianya. "Untuk melihat sejauh mana kebenarannya beliau ini benar berusia 145 tahun," ujar Yuni.
Yuni menyadari, banyak hal yang dilupakan Mbah Gotho. Seperti letusan Gunung Lawu yang terjadi pada 1885. Jika merujuk ke tahun lahir, Mbah Gotho berusia 15 tahun kala itu. Sebaliknya, Mbah Gotho hanya mengingat peristiwa berdirinya pabrik gula Gondang, pada 1880. Ini menjadi masalah buat Yuni. Sebab, dirinya berkeinginan mendaftarkan Mbah Gotho sebagai orang tertua di dunia ke lembaga pencatat rekor tingkat dunia, The Guiness Book of World Records.
Keinginan Yuni ini sejalan dengan keinginan Museum Rekor Indonesia (MURI). Senior Manager MURI, Yusuf Ngadri, mendukung langkah Pemkab Sragen memverifikasi usia Mbah Gotho. Menurut Yusuf Ngadri, pihaknya bersedia memberikan sertifikat orang tertua di Indonesia kepada Mbah Gotho, asalkan ada catatan atau bukti yang menguatkan usia tersebut. "Kami butuh verifikasi," kata Yusuf Ngadri.
Terkait pencatatan tahun kelahiran, Kadis Dukcapil Kabupaten Sragen Wahyu Lwiyanto, mengakui pencatatan tak dilakukan sembarangan. Menurut Wahyu, pihaknya sudah memverifikasi keterangan Mbah Gotho dengan keterangan dari sejumlah warga sekitar. Apalagi, Mbah Gotho punya pengakuan berusia 10 tahun saat Pabrik Gula Gondang dibangun. "Itu menjadi dasar kami, jadi kami bisa menerbitkan sebagai alat administrasi kependudukan, data real kependudukan Mbah Gotho," kata Wahyu.
4 Kali Menikah
Selama masa hidupnya, Mbah Gotho sudah empat kali menikah. Dia memiliki lima anak dan 17 cucu. Sebelum tahun 1993, Mbah Gotho dirawat Sukinem, anak dari istri keempatnya, Rayem. Sukinem kemudian meninggal pada 1993. Saat itu, Mbah Gotho nyaris hidup sebatang kara. Hingga, Suryanto yang merupakan anak Sukinem datang memutuskan untuk menjaga Mbah Gotho.
Suryanto tak merasa keberatan untuk menjaga kakeknya. Menurut dia, dirinya bersama istri dan dua anaknya sangat senang bisa merawat Mbah Gotho. Apalagi, kata dia, Mbah Gotho tak pernah sakit dan sangat mandiri. Suryanto ingat pengalaman pertama saat membawa Mbah Gotho ke rumahnya. Dia bilang, kakeknya kerap jalan-jalan sendirian atau mengurus pekarangan buat sekadar mengisi waktu kosong. "Waktu pertama kali Si Mbah tinggal sama saya, kondisi fisiknya masih sehat, prima. Dia orang yang kuat," tutur Suryanto.
Saat dijumpai dokter bersama Liputan6.com, Mbah Gotho tampak sehat. Meski staminanya sudah menurun, Mbah Gotho masih lancar berkomunikasi, makan es krim, dan merokok. Hanya saja, fisiknya tak dapat berbohong. Lelaki tua ini sudah kehilangan penglihatan, mengalami keterbatasan pendengaran, dan tidak mampu berjalan jauh.
Seperti perawakan lansia pada umumnya, tulang punggung Mbah Gotho tak lagi tegap. Setiap ingin berdiri atau berjalan, dia harus menggenggam erat tongkat kayu sepanjang satu meter, untuk menopang berat tubuhnya. Ini sedikit membuat Suryanto dan Suwarni, istrinya, khawatir. Keduanya takut jika kakeknya terjatuh. "Karena penglihatannya berkurang, Mbah jadi harus dibantu kalau mau apa-apa," ujar Suryanto.
Setiap pagi, Mbah Gotho memulai aktivitas dengan mandi pagi sekitar pukul 07.00 WIB. Lantaran sudah renta, Mbah Gotho harus dimandikan Suryanto dan Suwarni. Selepas mandi, Mbah Gotho akan duduk di depan rumah untuk merokok dan mengobrol dengan tetangga. Mbah Gotho pun tak marah jika dirinya harus ditinggal seorang diri di rumah. Sebab, Suryanto dan Suwarni harus pergi ke pasar untuk berjualan dan dua cicitnya, Anisa dan Erika, harus bersekolah.
Lelaki tua yang punya hobi menyelam di masa mudanya ini, akan menunggu mereka pulang. Biasanya, banyak tetangga yang datang saat Mbah Gotho berdiam sendirian. Menurut Suryanto, kedatangan tetangga jadi kesenangan tersendiri buat kakeknya. Sebab, Mbah Gotho sangat senang jika ada tamu yang datang buat mengajaknya ngobrol. Ini kadang jadi masalah buat Suryanto dan Suwarni.
"Kalau dia tahu ada banyak orang, ya kita suruh, 'Ayo Mbah, mandi atau istirahat’, tidak mau. Katanya tidak sopan, masih ada tamu. Makanya kadang kami bohongin saja, 'Tamu’e wis muleh (tamunya sudah pulang), Mbah'. Kalau tidak ya tidak mau mandi atau istirahat," kata Suryanto. (Mufti Sholih/Tim Journal Liputan6.com)
Â
Advertisement