Harga Garam Naik, Industri Jaket Garut Terancam

Kebutuhan garam untuk industri penyamakan kulit di Garut, bisa mencapai 120 ton per bulan.

oleh Dian KurniawanJayadi Supriadin diperbarui 31 Jul 2017, 20:00 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2017, 20:00 WIB
Garam
Harga garam mengancam industri penyamakan kulit (Liputan6.com / Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Ratusan perajin penyamakan kulit Sukaregang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, mulai menjerit akibat kenaikan harga garam yang terjadi akhir-akhir ini. Garam menjadi bahan utama untuk menyamak dan mengawetkan kulit.

Wakil Ketua Bidang Pemerintahan Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Kabupaten Garut, Sukandar, mengatakan kenaikan harga garam terjadi sejak Juni lalu. Dalam waktu kurang dari dua bulan biaya produksi pembelian garam dari Cirebon naik hingga 400 persen.

"Sejak bulan Juni harganya naik. Asalnya cuma Rp 1.100 per kilogram, sekarang jadi Rp 5.000 per kilogram," ujarnya di sentra kulit Sukaregang, Jalan Sudirman, Kecamatan Garut Kota, pekan lalu.

Menurut dia, manfaat garam bagi industri penyamakan kulit belum bisa digantikan, meskipun ada beberapa bahan alternatif seperti penggunaan getah dan lainnya. Namun, hingga kini, penggunaan garam dianggap lebih efektif untuk mengurai bakteri dan menghindari kulit dari kebusukan.

"Mohon agar pemerintah segera mencari solusi," kata dia.

Saat ini, pengusaha penyamakan kulit Sukaregang, Garut, berjumlah sekitar 320 orang, sedangkan pegawai penyamakan kulit sekitar 1.300 orang. Kebutuhan garam bisa mencapai 120 ton per bulan, bahkan jumlah itu akan meningkat signifikan saat memasuki hari raya Idul Adha.

"Kebutuhan garam saat Idul Adha bisa meningkat hingga tiga kali lipat. Tapi kalau garamnya mahal, apalagi sampai tidak ada barang, tentu jadi masalah," ia mengungkapkan.

Sukandar menyatakan, kenaikan garam saat ini di luar prediksi pengusaha, selain mahal garam yang dibutuhkan sulit dibeli. "Tahun-tahun sebelumnya kalau naik juga paling tinggi Rp 1.500. Itu juga tidak lama naiknya. Sekarang sampai Rp 5.000 juga bikin heran," ujar dia.

Akibat fluktuasi harga garam yang terlalu tinggi, penjual garam di sentra Cirebon enggan membuka harga bagi perajin kulit. "Harga naik tidak masalah kalau barangnya ada, sekarang malah sulit dan mereka malah balik nanya berani bayar berapa," ucap Sukandar.

Saat ini, harga beli garam di tingkat petani di Cirebon, mencapai Rp 5.000 per kilogram. Angka itu belum termasuk ongkos kirim Rp 500 per kilogram, jadi harga sampai tujuan di Garut, mencapai Rp 5.500 per kilogram.

"Dampaknya harga kulit jadi naik. Tapi kan konsumen tidak mau dinaikkan harganya, akhirnya keuntungan penyamak berkurang," ujarnya.

Untuk menyiasati minimnya pasokan garam, para perajin penyamakan kulit di Garut, akhirnya terpaksa menggunakan garam bekas meskipun kualitasnya jauh menurun.

"Kalau dibiarkan produksi bisa berkurang hingga setengahnya dari sekarang, kalau ada garam diproses kalau tak ada ya kami berhenti berhenti," tutur dia.

Senjakala Industri Kulit Gresik

Garam
Lonjakan harga garam mengancam industru penyamakan kulit (Liputan6.com / Dian Kurniawan)

Kelangkaan garam juga membuat beberapa industri di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kelimpungan. Salah satunya yang terimbas adalah industri penyamakan kulit milik Mad Haji yang berada di Desa Roomo, Jalan Maduran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik.

Pengusaha yang berumur 55 tahun itu mengakui, jika kelangkaan garam di Kabupaten Gresik, membuat usahanya merugi, bahkan hingga harus merumahkan beberapa karyawannya.

"Saya terpaksa menyiasati kelangkaan garam dengan mengurangi jumlah karyawan yang bekerja. Yang sudah dirumahkan 10 orang dan sekarang hanya tinggal tujuh pegawai saja," tutur Mad Haji saat ditemui Liputan6.com, Jumat pekan lalu.

Menurut dia, pengurangan karyawan dengan jalan dirumahkan sudah berlangsung selama tiga bulan ini. Tidak menutup kemungkinan jika terus menerus keadaannya seperti ini maka sudah bisa dipastikan usahanya akan tutup.

Ia menjabarkan, kebutuhan garam yang digunakan untuk usaha penyamakan kulitnya mencapai 10 ton per minggu. Dia berharap, Pemerintah Kabupaten Gresik maupun Pemerintah Provinsi Jatim dapat memberikan bantuan dengan menyediakan garam untuk kebutuhan usahanya.

Mad Haji mengaku, jika selama ini dirinya mengambil kulit sapi dari RPH Pegirian, RPH Kedurus, dan RPH Krian. Per harinya dulu, ia mampu mengambil per hari 150 lembar kulit sebelum dikirim ke pabrik bila sudah kering.

"Namun sekarang kami hanya mengambil 50 lembar. Itu pun jika ada garam sisa-sisa saja. Karena bila kering dan kulit akan membusuk," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya