Liputan6.com, Solo - Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo belum lama ini menggelar prosesi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung. Adat yang menggunakan kepala kerbau menjadi sesaji utama ini sebagai simbol untuk menjaga keselamatan dan tolak bala.
Prosesi tersebut diawali dengan iring-iringan ratusan abdi dalem Keraton Solo yang keluar dari Dalem Gondorasan (dapur). Para abdi dalem dengan mengenakan busana adat Jawa berjalan kaki menuju Bangsal Siti Hinggil yang berjarak sekitar 250 meter.
Barisan paling depan merupakan prajurit keraton lengkat dengan seragam kebesarannya.
Advertisement
Bau dupa dan kemenyan yang dibakar menyeruak di sepanjang jalan yang dilalui abdi dalem. Mereka membawa aneka sesaji yang akan digunakan untuk prosesi ritual Wilujengan Nagari Mahesa Lawung.
Baca Juga
Dari sekian ubo rampe sesaji yang paling mencolok berupa potongan kepala kerbau yang ditutupi kain putih dan dipikul empat orang abdi dalem.
Sedangkan di barisan kepala kerbau, terdapat berbagai macam sesaji seperti daging, jeroan, ikan, cacing, kelabang, jajan pasar, ayam ingkung, buah-buahan, sayur-sayuran, dan lainnya.
Setibanya di Bangsal Siti Hinggil, semua sesaji itu diletakkan berbaris di bagian tengah. Sementara, para abdi dalem Keraton Solo duduk bersila mengelilingi sesaji.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Prosesi Ritual Mahesa Lawung
Prosesi ritual itu dibuka dengan pembacaan sambutan dengan bahasa Jawa krama inggil oleh Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, GPH Dipokusumo. Para abdi dalem pun terlihat kehidmat mendengarkan sambutan dari putra mendiang Raja Paku Buwono XII.
Prosesi selanjutnya adalah pembacaan doa oleh ulama keraton dan suasana hening pun tercipta.
Setelah semua rangkaian acara di Bangsal Siti Hinggil selesai, selanjutnya satu demi satu sesaji itu diangkat kembali oleh para abdi dalem. Mereka kemudian berjalan kaki menuruni tangga untuk menuju halaman depan yang menjadi parkir bus.
Dengan diangkut bus dan mobil, selanjutnya para abdi dalem serta ubo rampe dibawa menuju Alas Krendhowahono, Kaliyoso, Sragen. Lokasi ini berjarak sekitar 20 kilometer.
Setibanya di hutan tersebut, sesaji kepala kerbau, daging, jeroan dan darah kebau ini dikubur. Menurut kepercayaan, ritual Mahesa lawung dilakukan untuk memberikan sesaji kepada Dewi Kalayuwati, yang dianggap sebagai penunggu Alas Krendhawahono.
Konon, hutan tersebut merupakan pintu masuk keraton dari sisi utara.
Advertisement
Cikal Bakal Ritual
Menurut Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, GPH Dipokusumo, Wilujeng Nagari Mahesa Lawung merupakan ritual yang telah ada sejak zaman Kerajaan Demak. Saat itu ritual digelar karena di Demak sedang terjadi instabilitas persoalan-persoalan yang tidak kunjung selesai.
Oleh sebab itu, para wali dan sultan kemudian mengadakan suatu pembicaraan bahwa sebetulnya dalam masyarakat Jawa itu sudah ada tradisi awal.
Dalam pertemuan itu, terutama pemimpin agama Islam itu diundang semua. "Nah, pada waktu itu, ada saran dari Sunan Kalijaga bahwa ketika zaman Majapahit itu semacam upacara sesaji rojo wedo dan rojo suryo yang intinya adalah upacara doa untuk keselamatan,” jelas dia di Bangsal Siti Hinggil, Keraton Kasunanan Surakarta, Kamis, 15 Maret 2018.
Upacara ini sejatinya sudah ada sebelum Kerajaan Demak itu kemudian namanya diganti menjadi upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung. Prosesi itu selanjutnya dikemas dengan spirit akulturasi budaya Jawa dan Islam."Jadi seorang Sunan Kalijaga itu seorang Jawa yang Islami," jelasnya.
Sesaji Kepala Kerbau
Prosesi ritual Mahesa Lawung harus menyertakan sesaji kepala kerbau. Bahkan, kerbau yang digunakan untuk ritual itu harus memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya kerbau jantan yang belum digunakan oleh petani untuk membajak sawah.
"Mahesa itu artinya kerbau. Sedangkan lawung artinya belum megawe. Dulu petani kalau membajak pakai kerbau, jadi istilahnya kerbau yang siap untuk membajak, tapi belum digunakan," tutur GPH Dipokusumo.
Selain kepala kerbau, ia menyebutkan dalam prosesi itu juga harus menyertakan berbagai sesaji seperti pala kependhem yang terdiri dari ketela, ubi dan lainnya. Sedangkan pala kesampar itu terdiri dari timun, semangka, melon, dan lainnya.
Advertisement
Filosofi Ubo Rampe
Sementara itu, pala gantung meliput buah pepaya dan buah yang tumbuhnya menggantung. Tak hanya itu, dalam prosesi itu ada sesaji kutu-kutu walang ketaga (binatang-binatang kecil) seperti ikan, cacing, nyamuk, jangkrik, kelabang, ayam, burung dan lainnya.
"Pala kependhem itu melambangkan latar belakang kehidupan kita. Selanjutnya, pala kesampar itu melambangkan kehidupan sekarang dan apa yang akan dilakukan. Untuk pala gantung melambangkan pengharapan, tujuan dan doa," ujar GPH Dipokusumo.
Ritual Mahesa Lawung di Krendhawahono digelar di tempat yang diyakini sakral, sisi utara bagi Keraton Kasunanan Surakarta. Mahesa Lawung merupakan ritual memberikan sesaji kepada Dewi Kalayuwati, "penunggu" hutan Krendhawahono.
Kiblat Papat Lima Pancer
Selain di Krendhawahono, keraton setiap tahunnya juga menggelar ritual persembahan di sejumlah lokasi yang diyakini memiliki ikatan dengan keraton, yakni Pantai Selatan, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.
"Ini bagian dari ritual ubo rampe yang salah satunya upacara keraton itu ke Krendhawahono. Kan upacara ritual di keraton itu ada empat, jadi satu kalau ke timur itu Gunung lawu. Selatan itu ke Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Ke barat itu ke Gunung Merapi, Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton. Nah yang ke utara itu Kanjeng Ratu Kalayuwati. Kiblat papat lima pancer," GPH Dipokusumo memaparkan.
Advertisement
Doa dan Harapan Ritual
Dipokusumo menjelaskan pula, ritual Mahesa Lawung itu digelar setiap tahunnya pada hari Senin atau Kamis pada pekan terakhir pada bulan penanggalan hijriyah, Jumadil akhir.
Ritual itu dilakukan untuk mendoakan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan memiliki kegiatan lima tahunan sekali itu mendapatkan keselamatan.
"Doa pengharapan kita agar negara selamat dan wilujeng nir ing sambikala. Tujuan dan doa Wilungan Nagari Mahesa Lawung memang untuk nusantara," harapnya.