Kisah 2 Petani yang Dedikasikan Hidupnya untuk Kelestarian Burung Maleo

Jaka maupun Madi bukan petugas yang berasal dari suatu lembaga lingkungan milik negara ataupun organisasi konservasi, tapi konsisten menjaga burung Maleo.

oleh Andri Arnold diperbarui 06 Apr 2018, 01:00 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2018, 01:00 WIB
Maleo
Madi & Jaka, dua warga Pinogu mengali lubang yang berisi telur burung maleo untuk dibawa ke lokasi peneluran pohulongo agar tidak menjadi sasaran predator dan pencuri telur maleo (Dok. BalaiTNBNW)

Liputan6.com, Gorontalo - Hari itu Jaka (64) dan rekannya, Madi (41), sibuk memindahkan telur burung maleo (Macrocephalon maleo) dari lubangnya ke lokasi peneluran Pohulongo. Lokasi itu merupakan hutan belantara yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Dengan terampil telur telur Maleo yang berhasil dikumpulkan, mereka memindahkan semua telur maleo ke sebuah bangunan hachery (tempat penetasan).

Baik Jaka maupun Madi bukan petugas yang berasal dari suatu lembaga lingkungan milik negara ataupun organisasi konservasi. Mereka adalah petani dari Desa Pinogu. Sebuah desa di Kecamatan Pinogu dan terletak di tengah kawasan hutan TNBNW.

Keikutsertaan keduanya dalam mengurusi burung maleo berawal dari keprihatinan tentang kondisi burung endemik Sulawesi yang terancam punah kelestariannya. Mereka pun mencari cara bagaimana bisa ikut terlibat dalam upaya penyelamatan dan pelestarian burung dengan ciri khas jambul keras berwarna hitam ini.

"Karena khawatir punah, waktu itu kami berinisiatif untuk menemui Pak Taufik Nadjamudin yang setiap harinya bertugas pengamanan TNBNW wilayah Pingou untuk membicarakan pelestarian Maleo," tutur Madi Rabu, 4 April 2018.

Dari pertemuan itu tercetuslah kesepakatan untuk segera memulai kegiatan konservasi burung maleo. Sejak Desember 2017, mereka mulai mempersiapkan peralatan di lokasi peneluran maleo di Pohulongo.

Tidak mudah mencapai lokasi peneluran Pohulongo di belantara hutan TNBNW. Kedua petani  itupun membuat rakit kecil sebagai alat transportasi menyusuri Sungai Bone. Setiba di lokasi, mereka bergegas untuk membersihkan rerumputan, semak belukar, akar kayu dan rumpun bambu dengan mengunakan alat parang, cangkul, dan sekop.

"Semak dan rerumputan dibersihkan karena menutupi lubang peneluran. Sejauh ini baru 0,2 hektare berhasil dibersihkan dari luas total area peneluran sekitar 1 hektare," ungkap Madi.

 

 

Memabangun Tempat Penetasan

Maleo
Telur Maleo memiliki ukuran 5 kali lebih besar dari telur ayam (Dok. BalaiTNBNW)

Untuk melindungi telur yang dikumpulkan, mereka kemudian membangun sebuah hachery (tempat penetasan). Hachery  darurat berukuran  2 x 2 meter itu digunakan untuk menyimpan telur dari ancaman predator seperti biawak dan perburuan manusia.

"Setelah hachery selesai. Kami mulai melakukan penggalian telur maleo pada 19 Desember 2017," lanjut Jaka.

Penggalian yang dilakukan hingga 31 Desember  2017 itu berhasil mengumpulkan 21 butir telur Maleo. Mereka pun menemukan 2 ekor anakan maleo yang saat itu menetas di alam dan langsung dilepasliarkan. Total telah 97 telur maleo berhasil mereka kumpulkan hingga akhir Februari 2018.

Agar lokasi peneluran maleo tetap aman dari predator dan pencuri, Madi dan Jaka mengatur strategi dengan membagi tugas secara bergiliran seminggu sekali.

"Biasanya pergantian dilakukan setiap Jumat," kata Jaka

Bagus Tri Nugroho Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional 1 Limboto yang menaungi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Gorontalo, mengapresiasi  upaya penyelamatan maleo tersebut. Apa yang dilakukan oleh kedua warga tersebut diakuinya sangat membantu dalam mencegah kepunahan burung maleo.

"Mereka begitu peduli pada konservasi dan bekerjasama dengan kami untuk mencegah kepunahan maleo," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya